Sabtu, 22 November 2008

ETHNOMATEMATICS

ETHNOMATEMATICS
(TERJEMAHAN DARI ETHNOMATHEMATICS AND EVERYDAY COGNITION)


Pendahuluan:
Orang memahami matematika tidak hanya dari sekolah saja, tetapi juga dari lingkungan yang dipengaruhi budaya. Sebutan ethnomatematika dikemukakan oleh D’Ambrosio (1984) dalam artikelnya berjudul Ethnomathematics yang disampaikan pada pembukaan konferensi internasional pendidikan matematika di Adelaide Australia, dan dalam jurnal (D’Ambrosio, 1985) berjudul Ethnomathematics and iits place in the history and pedagogy of mathematics. For the learning of mathematics 5(1), 44-48. Ethnomathematics untuk menyebut bentuk matematika yang berbeda dengan matematika sekolah sebagai akibat pengaruh kegiatan yang ada di lingkungan yang dipengaruhi oleh budaya. Terjemahan ini dari artikel ilmiah karya Terenzinha Nunes (The Institute of Education of London) berjudul Ethnomathematics and everyday Cognition yang termuat dalam buku Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning (editor: Douglass A. Groows, penerbit: Macmillan, New York tahun 1992). Tulisan ini menyajikan dua pandangan berbeda pengaruh kebudayaan terhadap kegiatan matematika dan pemecahan masalah matematika.

a. Dua Pandangan tentang Budaya dan Matematika
Bertahun-tahun para pendidikan dan peneliti pendidikan matematika terfokus pada kegiatan di kelas sebagai seting utama dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan hasil Survey (Cockcroft, 1986) dan analisis pengetahuan matematika anak (Carraher, Carraher & Schliemann, 1985, 1987; Ginburg, 1977; Ginburg, Posner & Russel, 1981; Hughes, 1986; Resnick, 1984) menunjukkan bahwa banyak pengetahuan matematika diperoleh di luar sekolah. Kenyataan bahwa pengetahuan matematika dapat diperoleh di luar sekolah memunculkan variabel baru dalam analisis pembelajaran matematika. D’Ambrosio (1984, 1985) menggunakan istilah “ethnomathematics” untuk menyebut bentuk matematika yang berbeda dengan matematika di sekolah sebagai akibat kegiatan di lingkungan yang dikelilingi pengaruh budaya. Tujuan dari penggunaan matematika di lingkungan yang dipengaruhi budaya berbeda dengan matematika di kelas yang penekananya pada belajar untuk mengetahui sesuatu (learning to know about), belajar melakukan (learning to do), belajar menjiwai (learning to be), belajar bagaimana seharusnya belajar (learning to learn), dan belajar bersosialisasi sesama teman (learning to live together).

Penggunaan matematika di luar sekolah jelas berkaitan dengan lingkungan, misalnya membangun rumah, menukar uang di Bank, menimbang hasil produksi, menentukan pola-pola geometri yang serasi, menjual dan membeli barang, dan sebagainya. Penerapan matematika seperti ini sering sangat berbeda dengan matematika yang dipelajari di sekolah. Dalam kehidupan sehari-hari di rumah, di dapur ibu-ibu sering mengukur isi dengan sendok atau cangkir, sedangkan di sekolah mengukur isi secara khusus dengan liter atau meter kubik. Di samping itu matematika dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai berbeda antara daerah satu dengan lainnya misalnya dalam sistem numerasi atau alat-alat hitung yang digunakan. Perbedaan-perbedaan dalam penggunaan matematika ini dapat dilihat secara mendalam atau yang tampak di struktur permukaan bergantung dari pandangan apa yang digunakan dari pengetahuan matematika.
Dua pendekatan berbeda dalam mengkaji pengaruh budaya pada pengetahuan matematika dapat diindentifikasi dari literature. Pandangan pertama menganut Stigler dan Baranes (1988) yang menyatakan bahwa matematika tidak bersifat universal, domain formal dari pengetahuan tetapi sebagai rakitan perwakilan-perwakilan simbolik terbentuk oleh pengaruh budaya dan prosedur-prosedur untuk memanipulasi perwakilan-perwakilan itu. Misalnya dalam perkembangan anak, mereka menggabungkan perwakilan-perwakilan dan prosedur-prosedur ke dalam sistem kognitif mereka, dan proses yang terjadi dalam konteks sosial membentuk kegiatan-kegiatan. Keterampilan matematik yang dipelajari anak di sekolah tidak terbentuk secara logis pada basis struktur kognitif abstrak, tetapi menempa di luar kombinasi pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh terdahulu, dan masukan budaya baru. Pandangan kedua (Nunes, 1992) menyatakan bahwa pengertian pengaruh budaya pada pembelajaran matematika harus melibatkan keduanya baik analisa perbedaan antar solusi-solusi khusus pada realita matematik maupun pengakuan pada ketetapan-ketetapan logika (logical invariants) yang mendasari perbedaan-perbedaan itu. Perbedaan budaya ada tidak hanya dikarenakan berseberangan dalam kebudayaan. Di dalam suatu kebudayaan, berbeda dalam penggunaan matematika bergantung pada tujuannya. Penelitian dalam pendidikan matematika dapat mengambil makna dari analisa berbagai solusi pada masalah sama yang serempak ada dalam suatu kebudayaan tunggal. Dalam suatu kebudayaan terdapat penyajian tertulis maupun lesan, ini seperti dua praktek dalam aritmetika secara bersamaan (Red & Lave, 1981). Penelitian menunjukkan bahwa dalam menggunakan matematika dalam satu budaya yang sama berbeda dalam cara tetapi semacam dalam lainnya dan perbedaan lainnya pada kaitan antara penyajian dan penggunaan ketetapan-ketetapan dalam penerapan matematika.

b. Prinsip-prinsip Menghitung dan Konstribusi Budaya dalam Perkembangan Sistem Menghitung
Menghitung dan mengukur adalah cara untuk menyajikan aspek terseleksi dari obyek dan situasi. Agar orang dapat mengukur perlu memilih dimensi apa yang akan dijadikan sebagai besaran, misalnya sekelompok obyek yang akan dihitung atau nilai panjang atau berat ketika diukur. Kegiatan menghitung dan mengukur biasanya mengarah pada tujuan yang lebih luas. Misalnya orang menghitung uang di saku Anda untuk memastikan apakah cukup tersedia uang untuk membeli sesuatu. Orang mengukur meja untuk menentukan taplak meja yang akan dipilih untuk menutupinya. Kegiatan-kegiatan seperti ini yang menjadikan menghitung dan mengukur bermakna dalam kehidupan sehari-hari.
Berbagai kegiatan meghitung dan mengukur pada dasarnya berbeda, namun keduanya tampaknya berdasar pada logika. Melalui analisa bagaimana anak mengembangkan keterampilan menghitung, Gelman dan Galistel (1978) menyatakan empat prinsip logika yang harus dipenuhi bila suatu kegiatan akan diklasifikasikan sebagai kegiatan menghitung. Prinsip-prinsip ini sebagai berikut: (1) menetapkan korespondensi satu-satu antara benda-benda yang dihitung dan label-label untuk menghitung; (2) mengatur label-label untuk menghitung dalam urutan tetap; (3) mengenali urutan yang tak relevan dari urutan yang obyek-obyeknya dihitung; dan (4) menggunakan prinsip kekardinalan, yakni menggunakan label terakhir untuk menyajikan banyaknya obyek dalam himpunan. Keempat prinsip ini dinyatakan sebagai logika kuat, dan dianggap bebas dari budaya dan kemungkinan merupakan pembawaan sejak lahir.
Sistem yang menggunakan prinsip-prinsip logika ini mengakibatkan penggunaan menjadi terbatas. Ketidakhadiran sistem numerasi yang terorganisir secara budaya, orang akan kesulitan dalam mentaati keempat prinsip ini. Berapa banyak label yang dapat diingat orang dalam urutan yang tetap (prinsip ke-2). Tanpa sistem numerasi kegiatan menghitung akan terbatas pada bilangan-bilangan kecil dan dengan sistem numerasi dapat menuju ketakhinggaan.
Meskipun prinsip-2 perhitungan mungkin bebas secara budaya, sistem-2 bilangan khusus tergabtung secara dalam kebudayaan. Kerja penting dari Lancy (1983), Save (1991), dan orang-orang yang lainnya menjelaskan bagaimana perbedaan budaya dialamatkan pada masalah pemanggilan memori dalam perhitungan. Kewa dan Oksagmin dari Papuanugini mengembangkan sistem pembilangan yang memnabtu mereka mengatur urutan yang tetap dengan menggunakan nama-nama bagian tubuh dalam label perhitungan. Sebagai contoh ibu jari menunjuk satu, jari telunjuk menunjukkan dua, jari tengah menunjukkan bilangan 3, dan seterusnya. Penggunaan dari bagian-bagian tubuh untuk perhitungan sebagai budaya solusi konvensional pada masalah pemanggilan memori. Bagian-bagian tubuh dinamai dan urutan yang digunakan harus disepakati. Beberapa bagian tubuh dipilih tidak memiliki label identitas yang jelas dalam budaya barat. Seperti tiga lokasi pada lengan dan enam lokasi antara pundak dan leher. Penggunaan kedua bagian ini dilabelkan secara sistematik dan perhitungan ini bisa sampai 68.
Ini tidak berarti solusi satu-satunya dan terbaik dalam masalah ini. Di Inggris solusi masalah pemanggilan memori ini menggunakan sistem dasar label-label bilangan yang dibangun. Jumlah kata-kata yang digunakan di Inggris disediakan dalam urutan yang asli oleh generasi dalam kombinasi-kombinasi sistematik. Jumlah kata-kata tidak berhubungan satu dengan yang lain sampai 12. Tetapi setelah 13 terdapat label yang membantu labelr-label berurutan yang tetap. Mulai bilangan 13 ada isyarat-isyarat yang membangun label-label berikutnya. Isyarat-isyarat ini bahkan lebih jelas mulai 21, apabila digunakan secara rekursif untuk menghasilkan perhitungan jumlah kata-kata. Perumuman kata-kata hitungan dalam pertunjukkan ini berkaitan pada pengenalan suatu dasar sistem perhitungan.
Berdasarkan sistem pembilangan dalam suatu pengelompokkan scema digunakan untuk mengatur kembali perhitungan. Untuk mendifinisikan suatu dasar dalam sistem bilangan adalah memilih suatu sistem satuan kesepakatan ( beberapa satuan-satuan konvensional untuk sebuah sistem dasar campuran) digunakan dalam perhitungan. Menurut Luria (1969) suatu sistem dasar numerasi melibatkan perhitungan obyek-obyek alami mengorganisasikan dalam kelompok-2 dalam konvensional yang menjadi satuan-satuan perhitungan baru. Dan berpegang pada struktur semantik yang kompleks berdasarkan pada sistem numerasi. Bilangan 343 menyatakan terdapat 3 kelompok seratusan, 4 kelompok puluhan, dan kelompok satuan. Agar menangkap arti dan memperumum label bilangan sampai tak hingga subyek harus tidak berpikir tentang obyek-obyek alam yang hanya dipikirkan terbilang. Mereka juga harus mengerti arti struktur makna dalam sistem bilangan. Mereka memberi atribut kepentingan besar pada perbedaan ini bahwa menghitung obyek-2 alami tanpa mengerti sistem dasar dikerjakan oleh wilayah otak kanan. Dimana pengertian berdasarkan sistem dasar dikontrol oleh sistem otak kiri. Sebagai ringkasan sistem perhitungan meletakkan pada keduanya pada suatu logika prinsip-prinsip invarian dan pada bagian secara khusus pada budaya untuk implementasi dari prinsip-2 ini. Tidak semua kebudayaan menemukan solusi yang sama untuk tantangan untuk menjaga label-2 bilangan dalam urutan tetap. Perbedaan solusi bermacam-macam dalam kecakapan mereka berhubungan dengan bilangan-bilangan besar. Pembilangan secara sistematik dengan bagian-bagian tubuh adalah salah satu tipe solusi untuk menjaga kata-kata untuk menghitung dalam urutan yang tetap. Tetapi bagian ini memiliki rentangan terbatas. Penggunaan pada suatu sistem pembilangan adalah suatu bagian budaya yang dapat memecahkan masalah pemanggilan memori dalam perhitungan. Berdasarkan sistem mengijinkan untuk menghitung tak berhingga, suatu kemustahilan dengan tidak ada dasar menggunakan sistem-sistem bagian tubuh. Dari pandangan psikologi, pengenalan dari menghitung berdasarkan melibatkan konsep-konsep satuan-satuan hitung. Dalam suatu sistem dasar satuan-satuan hitung bukan hanya sekedar obyek alami tetapi juga merupakan kelompok-kelomnpok konsvensional dari obyek-obyek yang tunjukkan oleh dasar dalam sistem. Disamping bergantung secara budaya sifat dari sumber kita sebut suatu dasar, penggunaan satuan-2 hitung tidak begitu sederhana secara konvensional hampa dari logika. Sistem penghitungan dasar didukung oleh konsep satuan yang merupakan persekutan keduanya perhitungan dan ukuran.

Macam-macam Budaya dan dasar logika dari konsep satuan-satuan.
Terdapat beberapa konteks konsep satuan digunakan dalam kegiatan sehari-hari di budaya barat. Dalam sistem bilangan kita memiliki satuan-satuan hitungan. Satuan, puluhan, ratusan dan sebagainya untuk pengukuran kita gunakan sistem metrik dalam penukaran uang kita gunakan koin dan catatan berbagai nilai-2 yang berbeda-beda. Untuk setiap konteks-konteks ini konsep konsep-2 satuan digunakan tetapi dapatkah dipelajari secara efektif dalam praktek sehari-hari tanpa pengajaran sistematik.
Dua tipe penelitian kognisi sehari-hari penggunaan satuan-2 dalam perhitungan dan pengukuran akan didiskusikan.
Pertama menjelaskan peringatan kelompok-kelompok perhitungan yang model-modelnya dihitung. Kedua menggali pengaruh yang membuat tentang satuan-satuan dari ukuran-ukuran yang berbeda.
Menemukan kembali satuan-satuan hitung khusus.
Dua penelitian dilaksanakan pada obyek dari bagian-bagian berbeda di dunia menunjuk orang-orang dapat menemukan kembali konsep satuan-2 dalam konteks kegiatan sehari-hari. Penelitain ini dihubungkan dengan Saxel (1982,1985) Oksakmin, dan oleh Scriner dkk (Fahrmeier, 1984; Scritner, 1984). Diantara pekerja-pekerja dalam suatu pabrik harian di U.S..
Saxe (1982) menjelaskan bagaimana kegiatan sosial baru, keadaan bahasa ekonomi mempengaruhi penggunaan Oksakmin dalam keberadaan sistem numerasi mereka. Oksamin tidak memiliki ekonomi keuangan di masa lalu. Karena itu mereka hanya memiliki sedikit untuk perhitungan sebelum mereka berhubungan dengan Barat. Keadaan bahaya ekonomi ini dimulai melalui kontak mereka dengan misionaris dan pertanian-pertanian and marked change were observed in the the way that adults who become involved with commerce used their indigenous system (dan menandai perubahan diamati di (dalam) . yang jalan/cara [yang] bahwa orang dewasa yang menjadi dilibatkan dengan perdagangan menggunakan sistem berasal dari/pribumi mereka).
Karena hanya besaran-besaran terbatas yang dinyatakan oleh Oksakmin,, komunikasi tentang peristiwa-peristiwa kelompok kecil yang disajikan saat ini betul-betul masalah serius> Adaptasi yang membahayakan salah satu yang mempersatukan struktur dasar sistem peredaran uang Australia dalam masyarakat lokal. Sistem penyesuaian dari pada menggunakan 27 bagian badan dalam penghitungan, suatu individu sampai siku dalam sisi tubuh (20) dan menyebutnya satu putaran, atau satu pon. Refleksi adri pengaturan sistem peredaran uang Australia. Jika seseorang melanjutkan menghitung, ia atau dia mulai lagi pada jempol dari satu tangan (dari pada meneruskan pada lengan (21).
Kemudian sistem adaptasi mempunyai struktur dasar yangh merupakan cermin struktur dasar sistem peredaran uang Australia permulaan. Tetapi tidaklah demikian perkembangan sistem standar masyarakat lokal. Penemuan kembali ini pengelompokkan satuan yang dikenalkan sistem masyarakat lokal dan bahwa kelompok paralel satuan sistem keuangan pendatang merupakan contoh model yang jelas.
Kerja Skitner dan koleganya menyelidiki penggunaan berbagai macam metode pengelompokkan untuk perhitungan yang diwujudkan oleh aktifitas sehari-hari. Fahmir (1984) menjelaskan peletakan inventaris dalam pabrik susu di U.S mengutamakan besaran-besaran seratus produk simpanan dalam mesin pendingin .
Perhitungan setiap produk memerlukan satu atau dua persen jarak kesalahan terbesar dihasilkan dalam kelebihan produksi. Produk disimpan sangat dekat satu sama lainya yang petugas inventaris berjalan di ruang terbatas untuk menghitung secara jelas sekitar deretan itu. Mereka menyelidiki kembali dari mana dapat dimulai perhitungan itu.
Kadang harus naik untuk melihat seluruhnya barisan depan aturan deretan, dengan gerakan ini hampir seluruhnya bagian atas tetapi tidak untuk kasus yang dibawah untuk waktu yang lama. Kemudian untuk waktu yang lama mereka menghitung deretan yang memuat yang tidak kelihatan.
Farmeyer menunjuk keadaan ini membuat perhitungan berbeda dari mengambil uitem-item dan label-label bilangan dalam korespondensi satu-satu. Meskipun prinsip-prinsip perhitungan harus dipertimbangkan untuk perhitungan yang benar untuk dicapai mereka tidak dapat bekerja secara benar. Farmeyer menjelaskan 5 strategi bahwa bahaya dalam inventaris yang diambil di bawah keadaan ini, semuanya melibatkan penggunaan satuan-satuan baru berbasis pada kelompok yang terpisah-pisah tumpukan yang diketahui tingginya dalam sejumlah peti-peti dengan representasi peti-peti dalam tumpukan yang diketahui tingginya dan menggunakan tumpukan-2 sebagai satuan baru dalam perhitungan. Masalah menjadi terselesaikan tanpa batas waktu dan ketelitian yang diperlukan oleh pekerjaan. Suatu sistem tradisional dari perhitungan lebih baik dipegang persyaratan aktifitas dengan bersama-sama dari tumpukan sebagai dasar untuk prosedur perhitungan. Scritner (1984) menjelaskan kasus seruipa menggunakan satuan baru dalam suatu kelompok prosuk suatu perusahaan dalam pabrik yang sama yang satuannya suatu peti dengan 16 quarts a number that requires awkward maneuvers (like crrying) whn it is repeatedly added in the decimal numeration system (suatu nomor;jumlah yang memerlukan perang-perangan canggung ( [seperti;suka] yang crrying) whn [itu] berulang-kali ditambahkan sistim desimal itu numeration sistem).
Membuat Kesimpulan tentang Satuan
Mungkin lebih jauh mengkaji satuan konvensional dari pada melihat secara denga mudah pencacahan. Orang dapat merancang tugas-tugas yang menguji apakah orang membuat kekonsistenan kesimpulan Matematika ketika berpikir satuan dalam praktek sehari-hari. Empat contoh tentang membuat kesimpulan tentang satuan disajikan berikut ini, pertama dalam gambaran formal dan kemudian dalam konteks riset.
Contoh pertama adalah kasus kesimpulan transitif sederhana:
(1) Jika A = B dan BB, maka untuk setiap bilangan positif x berlaku Ax>Bx.
Kedua contoh ini merujuk ke logika satuan dan tidak melibatkan pengkuantitasan yang tepat dari hubungan antara satuan. Contoh berikut berkaitan dengan pengkuantitasan dari relasi antar unit. Yang pertama kelihatan jelas(trivial) tetapi ini tidak sederhana bagi anak (lihat Carraher & Schliemann, 1990):
(3) Jika A dan B menyatakan satuan berbeda dari ukuran untuk suatu variable dan A=Bx, maka A>(x-1)B dan ini benar walaupun lebih besar secara numeric dari (x-1)B.
Contoh terakhir dari pembuatan kesimpulan berikut menggunakan pengkuantitasan dari hubungan antara satuan melibatkan pengetahuan komposisi penjumlahan dari ukuran:
(4) Jika A dan B menyatakan satuan berbeda dari ukuran untuk suatu variable dan A=Bx, maka sebarang nilai variable di A dapat dinyatakan dalam nilai B, dan sebarang nilai B lebih besar A dapat dinyatakan dalam A ditambah sisa dai B.

Saxe dan Moylan (1982) menganalisis kemampuan anak dan remaja Oksapmin untuk membuat kesimpulan tipe 1 dan pengaru bersekolah pada kemampuan ini ketika anaka menggunakan system ukuran pribumi mereka untuk menentukan panjang. Sistem mereka menggunakan bagian tubuh untuk menyatakan ukuran tergantung pada ukuran bagian tubuh yang mana berbeda-beda setiap orang. Remaja-remaja, dan lima anak-anak dan orang tua Oksapmin memakai tali tas yang diukur dengan meletakkan tangan ke dalam tas dan mendeskripsikan ini yang dikembang sebagai ukuran seperti persendian, pergelangan tangan, siku bawah, siku dalam, lengan atas atau pundak.
Sistem ukuran membuat masalah dalam pembuatan kesimpulan. Tas yang sama bisa terukur berbeda oleh anak dan remaja. Saxe dan Moylan mengkaji apakah anak-naka Oksapmin dan remaja yang tidak bersekolah mengetahui kevariabelan dari satuan mereka dan apakah sekolah memberikan kontribusi ke pengetahuan ini.
Mereka memberi permasalahan mereka dua kelompok tugas. Kelompok pertama, satuan dari ukuran (bagian tubuh) digunakan secara tetap. Subyek menentukan mana tas A dan C mereka tidak membandingkan secara langsung. Dimana ukuran yang sama oleh pengukurannya melawan tubuhnya bagian B. Dalam tugas ini struktur masalah dipengaruhi oleh sifat transitif. A = B, C > B; jadi C>A. Dalam tugas kelompok kedua satuan ukuran dibedakan Subyek menceritakan bahwa kedua tas telah diukur oleh anak dan mereka ditanyakan untuk menduga tas yang mana yang dicapai oleh bagian tubuh yang sama pada orang dewasa. Representasi dari lengan anak-anak B adalah lengan orang dewasa dan C tas. Struktur problem adalah A = C, A < B jadi C < B.
Kecakapan untuk membuat perbandingan. Dua tas mengukurnya melawan suatu satuan tetap dengan jelas ditunjukkan oleh anak-anak sekolah dan orang-orang dewasa yang tidak sekolah. Anak-anak tak bersekolah membuatn kesalahan-kesalahan yang sama dan hanya sekitar separoh dari padanya secara seragam mengahsilkan respon yang benar. Sebagai ringkasan pengaruh transitif berdasar pada pengukuran dan satu satuan yang tetap telah diamati pada sejumlah subyek dengan atau tidaksekolah, meskipun bersekolah tampaknya lebih cepat prosesnya dalam pengembangan kecakapan untuk membuat pengaruh transitif terhadap keadaan ini. Variasi yang lebih besar dalam penampilan telah diobservasi pada kelompok kedua dari tugas-tugas menggunakan satuan-satuan berbeda ukuran. Orang dewasa tak bersekolah di luar penampilan anak-anak sekolah hanya seperti anak-anak 6 tahun yang bersekolah. Penemuan ini menunjukkan bersekolah bukan merupakan variable utama dlam kecakapan untuk membuat pengaruh transitif menggunakan satuan-satuan dalam ukuran-ukuran berbeda. Akan tetapi orang-orang dewasa tak bersekolah tidak menunjukkan tingkat atas diantara anak-anak dewasa bersekolah 64% membuat 3 atau 4 dugaan yang benar dalam merespon 4 pertanyaan, 18% membuat hanya 1 atau 2 dugaan benar dan sisanya 18% membuat prediksi yang tidak benar sama sekali. Penelitian ini mem,berikan bukti yang jelas untuk perkembangan di luar sekolah dari penalaran dan membuat pengaruh tentang satuan-satuan yang berbeda. Juga menunjukkan bahwa bersekolah memajukan perkembangan dalam tugas yang lebih sederhana tetapi tidak yang lebih kompleks. Carraher (1985,1989) juga menguji yang mana orang dewasa Brasil buta huruf dapat membuat pengaruh tipe 2 dan tipe 1 dalam konteks system keuangan tanpa pengajaran terlebih dahulu dalam menulis bilangan. System keuangan melibatkan semua pembuatan kesimpulan tentang satuan-satuan sebelumnya yang dijelaskan. Kesimpulan tipe 2 telah dievaluasi dengan menanyakan orang dewasa suatu pertanyaan sederhana apabila seseorang memiliki 5 tagihan pajak dari 10 cruzados (sataun orang Brazil saat itu) dan orang kedua memiliki tagihan pajak 10 cruzados apakah mereka memiliki tagihan pajak yang sama?
Keputusan-2 tipe 4 telah diuji dengan menannyakan subyek bagaimana mereka harus membayangkan yang harus dibayar sejumlah uang (besaran dalam ratusan) dengan hanya menggunakan tagihan pajak 100, 10, dan 1 cruzados dan kemungkinan membayar tagihan lebih kecil., Semua subyek telah merespon dengan benar pada pertanyaan keputusan kedua beberapa variable dalam penampilan diperoleh pada kelompok kedua dari pertanyaan yang melibatkan keputusan tipe 4.
Disamping kenyataan orang dewasa tidak dapat menampilkan tingkat yang tinggi pada tugas kedua hasil menunjukkan kecakapan mengetahui dekomposisi suatu nilai dalam ratusan, puluhan, dan satuan dapat dikembangkan melalui praktek sehari-hari. Tugas tentang membayangkan sejumlah uang dan melibatkan pembatasan yang tidak menggunakan system keuangan (tugas hanya menggunakan uang ratusan, puluhan, dan satuan) meskipun system memiliki nilai uang 500, 50, dan 5 yang dapat digunakan bukan merupakan tugas sehari-hari tetapi lebih tugas transfer yang lebih kompleks. Bahkan 70% subyek menunjukkan pada tingkat atas.
Sebagai ringkasan penelitian pada perhitungan dan ukuran dalam aktifitas sehari-hari menunjukkan bahwa subyek dapat menemukan konsep pengelompokkan dalam satuan-2 untuk menghitung dalam cara yang sesuai dalam kegiatan mereka. Lebih jauh, kecakapan ini bebas dari kehadiran dari truktur dasar dalam system pembilangan khusus. Praktek keseharian juga menciptakan keuntungan pada individu-individu untuk membuat kesimpulan khusus dari kegiatan Matematika di kelas.

ETNOMATHEMATICS tentang OPERASI ARITMETIKA: BERBAGAI ARITMETIKA LESAN DAN TULISAN

Pada bagian sebelum ini kita membahas hanya representasi lisan dari bilangan-bilangan. Dalam bagian ini kita ingin melihat secara singkat berbagai system untuk menulis bilangan-bilangan setelah membahas cara quantitas dan penggunaan system bilangan untuk pengukuran dan membuat perbandingan kuantitatif, kita akan kembali pada kegunaan bilangan untuk perhitungan dengan menguji perbedaan antara menghitung dan memecahkan masalah aritmetika. Akhirnya perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan antara aritmetika lisan dan tulisan akan dibahas.

Bilangan-bilangan lisan dan tulisan.
Mem,bicarakan bilangan mungkin terlupakan. System menulis secara budaya terbagi berarti untuk memegang masalah pemanggilan memori. Seperti pada penghitungan secara lisan, menulis bilangan-bilangan secara tunggal direpresentasikan oleh budaya-budaya local. Orang Romania mengembangkan system pembilangan tertulis berdasar 5 cara dalam merepresentasikan bilangan. (a) variasi bentuk (I untuk satu, V untuk lima), (b) pengulangan (III untuk tiga), (c) penambahan (VII untuk tujuh, yang dihasilkan dari penambahan V dan II), (d) pengurangan (XL untuk 40, yang dihasilkan dari pengurangan X dari L), dan (e) aturan-aturan pembatasan (V idak dapat digunakan dengan pengulangan (I dan X digunakan untuk pengurangan tetapi V dan I tidak digunakan) system ini adalah sifat local tetapi tidak terlalu bermanfaat seperti system hindu arab yang digunakan sehari-hari. Sistem Hindu Arab berdasar pada dua macam konsep utama dalam bentuk (sepuluh digit, masing-masng dengan arti yang tunggal) dan nilai tempat. Dalam system nilai tempat, nilairelatif dari suatu digit ditunjukkan oleh posisinya. Tidak ada kebutuhan untuk menyatakan secara explicit nilainya dalam arti suatu dasar. Sebagai contoh orang tidak harus mengindikasikan bahwa dua dalam 23 memiliki arti bilangan puluhan. Sebaliknya representasi penulisan bilangan bangsa CINA sekarang menggunakan representasi eksplisit untuk pengelompokan atau dasar. Representasi untuk bilangan puluhan diikuti oleh tanda 10 dan representasi bilangan ratusan oleh 100 (referensi eksplisit ini berdasar atau suatu pangkat dari dasar dalam representasi tulisan mungkin memfasilitasi pengertian dari arti bilangan-bilangan tertulis, tetapi saya tahu tidak ada penelitian yang menyelidiki isu ini).
Seperti system numerasi lisan lebih efisien untuk penghitungan dan pengukuran dari pada lain-lainnya, beberapa system representasi tulisan mungkin lebih efisien untuk perhitungan dari pada lain-lainnya. Menurut MENMINGER (1969) bilangan-bilangan Roma digunakan mencatat nilai-nilai tetapi tidak untuk perhitungan. Perhitungan orang Roman dengan menghitung dan menggunakan bentuk-bentuk berbeda dari Abacus system notasi mereka tidak memfasilitasi perhitungan. Sebaliknya system Hindu Arab dijelaskan oleh Fibonaci dipikirkan sebagai mesin perhitungan (De’ Ambrocio, 1986) karena membuat kolom matematik sederhana melalui notasi posisional dan penggunaan nol sebagai pegangan tempat.
Sistem pembilangan tertulis berbagai macam sepanjang waktu dan budaya. Beberapa- system tertulis muncul untuk membuat perhitungan lebih mudah melalui aritmetika kolom: dimana lain-lainnya tidak bermanfaat untuk perhitungan. Ketika tipe yang terakhir dari system pembilangan tertulis digunakan, perhitungan cenderung dikerjakan dengan menghitung, lintas budaya, perbedaan individu-individu menggunakan manipulasi-manipulasi konkrit untuk menghitung atau dengan mendasartkan perhitungan pada symbol tertulis. Adakah persekutuan kesimpulan logika berdasarkan keduanya baik aritmetika lisan maupun tertulis, atau apakah setiap prosedur yang sangat radikal membedakan proses-proses yang mendasari?
Menghitung dan Pemecahan Masalah
Ketika siswa memecahkan masalah penjumlahan dengan mengambil himpunan-himpunan secara bersamaan dan menghitung seluruh anggotanya, apakah mereka melakukan penyederhanaan menghitung atau membentuk operasi arimetika? Apabila obyek-obyek diwakili oleh jari-jari tangan atau kerikil dan perwakilan itu bergeser peran menjadi menghitung dan menyatakan operasi (misalnya, meletakkan obyek-obyek bersama menyatakan operasi penjumlahan, atau memisah-misahkan obyek menyatakan operasi pembagian), apakah obyek-obyek itu dihitung atau dioperasikan?
Memperoleh gambaran perbedaan antara menghitung dan menyelesaikan masalah penjumlahan tidak mudah dilakukan. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tak semua orang yang dapat menghitung mampu menyelesaikan masalah penjumlahan. Kecakapan menggunakan kemampuan menghitung dan membagi untuk menyelesaikan masalah penjumlahan dan pembagian meningkat sesuai pertambahan usianya, berbeda-beda sesuai dengan situasi, dan dipengaruhi oleh bersekolah (Carpenter dan Moser, 1982; Fuson, 1982; Hughes, 1986; Saxe, 1985; Steffe, Van Glasersfeld, Richards, dan Cobb, 1983). Studi-studi ini menunjukkan bahwa suatu kegiatan berlangsung lebih dari sekedar menghitung apabila subyek menggunakan suatu strategi menghitung dalam menyelesaikan masalah. Dalam menyelesaikan suatu masalah dengan menggunakan jari-jari tangan untuk menghitung, subyek mengasumsikan (minimal secara implicit) bahwa apapun hasil akibat menerapkan menerapkan menghitung dengan jari-jari tangan juga akan berlaku pada situasi obyek mula-mula. Dalam kegiatan kerja perintisan tentang matematika sehari-hari yang dilakukan Kpelle, Menurut Gay dan Cole (1967) Kpelle telah menyelesaikan masalah dengan meletakkan obyek-obyek secara bersama, mengambil obyek-obyek dari himpunan-himpunan, meletakkan secara bersama membentuk himpunan, dan memisahkan obyek-obyek, namun “mereka menyatakan tak ada operasi aritmetika yang abstrak seperti itu”. Gay dan Cole memperhalus ungkapan bahasa Kpelle untuk penjumlahan (misalnya, suatu ungkapan bermakna: “dua anak ayam mengikuti tiga anak ayam adalah lima anak ayam”), untuk pengurangan (misalnya, “memindahkan dua anak ayak dari sekelompok tiga anak ayam tinggal satu anak ayam”), untuk pembagian (misalnya, meletakkan sepuluh pisang dalam lima tempat yang sama menghasilkan dua pisang pada setiap tempat”). Gay dan Cole mengatakan prosedur normal untuk menyelesaikan masalah ini menggunakan jari-jari tangan atau kerikil sebagai perwakilan dari obyek-obyek, selanjutnya menghitung dengan menggunakan perwakilan-perwakilan itu. Ternyata prosedur ini akurat bila menggunakan bilangan-bilangan kecil. Untuk menyelesaikan masalah yang melibatkan bilangan-bilangan besar prosedur menjadi sulit dilakukan dan subyek menjadi bosan, sehingga subyek cenderung menebak jawaban.
Gay dan Cole menyarankan pada Kpelle “jangan sering bekerja dengan angka, atau mereka dapat berpikir dengan angka?”. Semua matematika terikat dengan situasi kongkrit, Kpelle dapat menyatakan suatu penjumlahan misalnya “dua darinya ditambahkan pada tiga darinya adalah lima darinya”, akan tetapi jangan “dua dan tiga adalah lima”. Pernyataan yang terakhir ini menyatakan bilangan-bilangan berperan sebagai modifier dan tidak dapat digunakan secara abstrak. Hughes (1986) menyatakan seorang anak dari Inggris mengajukan pertanyaan “jika ada satu batu bata dalam kotak dan saya menambah dua lagi, ada berapa batu bata di kotak itu?”, ini sangat berbeda dengan pertanyaan “berapa satu dan dua lagi?”.
Data yang dikemukakan oleh Gay dan Cole (1967) dan oleh Hughes (1986) diinterpretasikan sebagai petunjuk bahwa terhadap angka-angka beberapa orang memiliki kecakapan kongkrit tetapi tidak dalam penalaran abstrak. Penggunaan jari-jari tangan atau kerikil sebagai perwakilan benda-benda kongkrit seperti anak ayam atau batu bata mendemontrasikan suatu abstraksi. Penggunaan perwakilan-perwakilan ini menunjukkan apa saja hasil dari penggabungan x jari tangan dan y jari tangan juga akan diperoleh hasil yang sama bila menggabung x anak ayam dan y anak ayam, dengan x dan y masing-masing mewakili bilangan-bilangan dalam kedua situasi itu. Ini suatu contoh yang meyakinkan dari transfer dan abstraksi yang menerangkan bahwa jika suatu teknik berlaku pada suatu konteks tertentu dapat digunakan untuk memecahkan masalah pada konteks lainnya. Strategi menghitung yang digunakan untuk menyelesaikan masalah dapat dipandang sebagai suatu bentuk abstraksi dan ini berbeda dengan prosedur yang digunakan untuk menuliskan perhitungan.
Dalam berbagai sumber bacaan (literature), dikotomi antara kongkrit dan abstraks tentang operasi arimetika umum terjadi di berbagai kebudayaan. Reed dan Lave (1981) menyarankan cara baru dalam menaggapi isu ini. Penelitiannya memuat tentang analisis detail pemecahan masalah arimetika sejumlah penjahit di Liberia. Ia mulai mengamati partisipan dan melakukan wawancara informat di tempat pemjahit. Reed dan Lave menjelaskan dua tipe strategi dasar yang diamati untuk memecahkan masalah.
Terdapat dua kelas strategi untuk membentuk operasi aritmetika, yakni banyak besaran sebagai nama-nama bilangan. Strategi yang dikerjakan dengan besaran bersifat universal dan mencerminkan dirinya sebagai menghitung dengan jari, memanipulasi kerikil dan semacamnya, atau menggunakan abacus. Penjahjt membuat penggunaan ekstensif dalam menghitung. Reed dan Lave mengamati bahwa perbedaan tipe-tipe kesalahan dihasilkan dari masing-masing dua strategi ini. Penjahit menggunakanmemanipulasi besaran (manipulation-of-quantity) dilakukan dengan jumlah kecil ketika menghitung bilangan kecil tetapi mengalami kesulitan bila bilangan-bilangan besar dilibatkan (model dengan kerikil bila bilangan besar dilibatkan menjadikan prosedur kurang termanage). Penjahit-penjahit yang bersekolah lagi menunjukkan ke algoritma barat membuat kesalahan-kesalahan dalam meyimpan dan meminjam, dan juga sepersepuluh atau seperseratus, tetapi mereka menunjukkan pertanda berbeda dalam kecakapan mereka menghitung menggunakan bilangan-bilangan kecil dan besar. Reed dan Lave menyimpulkan bahwa bukti tak mendukung suatu perbedaan antara kongkrit dan abstraks, tetapi tidak mendemontrasikan eksistensi sistem perkalian matematika dalam budaya tunggal.
Carraher, dkk (1985), sebagaimana Reed dan Lave juga dapat mendokumentasikan eksistensi sistem perkalian aritmetika dalam budaya tunggal. Mereka mulai dengan pengamatan bahwa anak-anak dari keluarga berpendapatan rendah sering dilibatkan (digolongkan) ekonomi informal di kota-kota besar di Brazil, yakni anak-anak ini bekerja seperti mencuci mobil, menyemir sepatu, atau menjual permen, atau kerja dengan upah rendah. Dalam seting ini, tampaknya anak-anak berkepentingan bekerja dengan perhitungan matematika. Sebaliknya anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah sering gagal dalam matematik sekolah bila berpikir tentang sistem dan operasi-operasi matematika formal. Agar dapat mendokumentasi perbedaan ini: Carraher dan kolehganya menukar dengan 5 anak menjual buah-buahan atau sayur-sayuran di jalan-jalan pasar. Memberi masalah pada mereka yang meliputi penjumlahan, pengurangan dan perkalian. Minggu berikutnya, peneliti memberikan kepada anak-anak soal masalah kata-kata dan latihan perhitungan melibatkan bilangan-bilangan yang sama selama interaksi menjual. Penyajian dua masalah berbeda mengidentifikasikan dua sistem aritmetika dan tampaknya terdapat fungsi-fungsi yang bebas. Tak hanya rata-rata respon benar secara signifikan berbeda terhadap persentasi, tetapi juga prosedur yang digunakan anak-anak sangatlah berbeda. Carraher dan teman-temannya menganalisa naskah asli, juga menunjukkan suatu perbedaan kualitas antara dua strategi yang digunakan. Sebagai penjaja subyek memecahkan masalah secara lesan; bertindak sebagai siswa-siswa, mereka memecahkan dengan pensil dan kertas. Carraher menghubungkan kedua studi yang diperoleh strategi lebih baik dari strategi-strategi yang digunakan dalam perhitungan. Studi ini melibatkan anak-anak tingkat-tiga memecahkan tiga tipe masalah: (1) masalah disajikan dalam simulasi toko, anak-anak berperan sebagai penjaja, dan pencoba berperan sebagai tamu; (2) masalah kata-kata; dan (3) praktek perhitungan. Sekali lagi penampilan mereka berbeda dengan penyajian, dan dua perbedaan sistem dari pratek aritmetika diamati.
Carraher dkk (1987) menganalisa praktek lesan secara rinci dan menjelaskan strategi umum yang digunakan untuk memecahkan masalah-masalah penjumlahan dan pengurangan (dekomposisi) dan satu strategi untuk memecahkan masalah perkalian dan pembagian (repeated grouping). Ada dua strategi untuk praktek lesan yang telah didokumentasikan oleh Ginsburg dkk (1981), Hunter (1977), dan Plumkert (1979) yang analisis dalam istilah berdasarkan pada sifat-sifat matematika. Contoh sederhana dari dekomposisi dapat dilihat dari naskah asli berikut ketika anak memecahkan masalah 200 – 35: “jika dikurangi 30, maka hasilnya 70. Tetapi ini 35. Jadi 65; jadi ini 165”. Mendiskusikan hal ini, Carraher dan Schliemann menyarankan hal berikut. Anak-anak mendekomposisikan masalah 200 – 35 dalam langkah-langkah yang tampaknya sebagai berikut: (1) 200 sama dengan 100 + 100; (2) 100 – 30 adalah 70; 93) 70 –5 adalah 65; akhirnya (4) menambah dengan 100 yang oleh anak sebagai “set aside”; … menyatakan 165. Prinsip-prinsip yang didasarkan pada strategi tertulis (algoritma) dan lesan tampaknya sama. Dengan perkataan lain, algoritma tertulis yang diajarkan di sekolah dan dekomposisi yang digunakan dalam praktek lesan berlangsung pada sifat-sifat sama dari penjumlahan, sifat asosiatif, menunjuk pada fakta bahwa cara yang dijumlah dikelompokkan tak mempengaruhi jumlah. Dengan cara sama Carraher dan Schliemann (1988) mengajukan bahwa strategi pengulangan, pengelompokan khusus, perkalian dan pembagian dalam praktek lesan dan pengajaran algoritma di sekolah pada operasi-operasi ini memakai sifat-sifat matematika yang sama, distributif. Penggunaan distributif dari contoh berikut daripembagian; perhatikan masalah kata-kata yang anak mencoba menggambarkan berapa kelereng yang diperoleh setiap ketiga anak jika 120 kelereng didistribusikan secara sama rata. Setiap anak mendapat 30; ada yang tertinggal. Tiga kali tiga puluh adalah sembilan puluh, yang tertinggal …….(E: tertinggal berapa?) Setiap anak mendapat 30 dan teringgal 30, kemudian lima lagi yakni lima belas. Yang tertinggal 15, danlima lagi yakni lima belas. Setiap anak mendapat 30 dan 10 yakni 40. Carraher dan Schlieman (1988) juga menunjukkan di samping kesamaan pada prinsip-prinsip yang mendasari , juga ada perbedaan antara praktek lesan dan tertulis, misalnya praktek lesan mempertahankan nilai relatif bagian-bagian bilangan yang dioperasikan, seratus dipertahankan seratus, sepuluh sebagai sepuluh. Dalam algoritma tertulis, nilai relatif adalah “set aside” dan digit dimanipulasi sebagai satuan-satuan. Pernyataan menyimpan satu adalah sama bergantung pada nilai tempat yang dimaksud, satu sebagai puluhan atau sebagai ratusan. Praktek lesan menjelsakan berdasarkan makna (meaning-based) dan algoritma menjelaskan berdasar aturan (rule-based).
Karakteristik praktek lesan tak terbatas hanya di Brazil. Resnik (1984) dalam studinya terhdap anak-anak di Amerika, menemukan prosedur untuk penjumlahan dan pengurangan sebagai berikut. Naskah asli berikut mendeskripsikan metode anak-anak ketika menjumlah 152 dan 149 sebagai berikut; Saya memiliki dua ratusan, sama dengan 200. Dan Saya punya 50 dan 40, sama dengan 90. Jadi Saya punya 290. Lalu tambah 9 dari 49 dan 2 dari 52 sama dengan 11. Dan 1 ditambah 90 plus 11 sama dengan 102 (I: 101?), 101. Jadi Saya ambil 200 dan 101, sama dengan 301.
Sebagai ringkasan, perubahan dari menggunakan bilangan-bilangan untuk menghitung ke untuk memecahkan operasi aritmetika tidaklah sesederhana yang disangka orang. Tak semua orang yang dapat menghitung dapat memecahkan masalah-msalah aritmetika, meskipun solusi masalah aritmetika yang sangat sederhana dapat diperoleh dengan pemodelan situasi masalah dengan materi-materi kongkrit dan kemudian menghitungnya. Meskipun kenyataan bahwa jari-jari tangan atau kemampuan memenipulasi perwakilan sering digunakan oleh anak-anak dan orang dewasa yang tak sekolah dalam memecahkan masalah, mungkin tak cocok memikirkan maslah ini sebagai penalaran kongkrit. Mereka merepresentasikan bahwa contoh modeling yang selalu melibatkan beberapa tingkat abstraksi. Ketika model diselesaikan sebagai korespondensi satu-satu dan bilangan-bilangan dalam puluhan yang tinggi dan ratusan-ratusan, prosedur perhitungan menjadi membingungkan dan membosankan, tingkat efisiensi menurun. Praktek lesan digunakan oleh anak-anak Brazil tak menggunakan konsep korespondensi satu-satu sederhana, akibatnya dapat mencapai hasil yangbagus dengan bilangan-bilangan besar. Pratek-praktek seperti ini jelas merupakan refleksi suatu pengertian beberapa beberapa sifat dasar operasi-operasi aritmetika di samping perbedaan-perbedaaan yang dihasilkan dari penggunaan perwakilan media.

Pemodelan Ethnomatematik: berbagai kefleksibelan dalam pemecahan masalah
Nune berpendapat bahwa pemodelan sehari-hari dengan melakukan manipulasi melibatkan suatu proses abstraksi. Ketika suatu situasi secara langsung dimodelkan, keduanya relesi-relasi bilangan umum dan beberapa aspek khusus dari situasi diwakili oleh suatu model. Sebagai contoh, untuk mencari berapa banyak anak ayam yang tinggal jika sembilan anak ayam yang baru menetas enam dari padanya lari. Ini memungkinkan menyatakan sembilan anak ayam dengan jari-jari tangan dan menyatakan enam anak ayam yang lari dengan menyembunyikan enam, jari-jari tangan. Pemodelan secara langsung seperti itubukanlah prosedur khusus yang fleksibel untuk memecahkan masalah. Sebagai contoh lain, misalkan petugas inventaris barang ditanya apakah ia dapat memenuhi pesanan kemasan susu 893 quart (quart adalah ukuran isi setara dengan 0,9463 liter). Petugas inventaris pergi ke kotak penyimpanan dan menemukan ada kemasan susu 379. Selanjutnya berusaha membayangkan berapa kemasan susu untuk mencapai 893. Suatu model langsungdarisituasi ini mensyaratkan padanya menyatakan 379 kemasan susu di stok, untuk menambah sejumlah kemasan susu ke sini sehingga mencapai 893, dan menghitung berapa kemasan susu yang telah ditambahkan. Hitungan terakhir menginformasikan kepadanya jumlah kemasan susu yang harus ditambahkan. Dalam peristilahan formal, model langsung dari masalah ini menghasilkan pernyataan 379 + x = 893. Tentu saja dapat menyelesaikan dengan cepat masalah ini dengan pengurangan (893 – 379 = x). Pemecahan masalah ini memerlukan langkah-langkah kognitif yang berbeda dengan prosedur pemodelan langsung. Kesulitan menyelesaikan pengurangan terletak pada fakta bahwa memerlukan subyek untuk membalik pernyataan pada situasi actual. Yang ia ketahui adalah bahwa ia punya 379 kemasan susu di tempat penyimpanan dan ia perlu berapa lagi (ia butuh untuk menambah sebanyak berapa) agar mencapai 893 kemasan susu. Memikirkan 893 sebagai yang pertama dan kemudian diikuti 379 di tempat penyimpanan diperlukan suatu pembalikan (inversion), diperlukan penerapan suatu operasi – yakni kebalikan dari apa yang ia inginkan untuk dicapai yaitu menambah sejumlah kemasan susu diperlukan untuk melengkapi permintaan 893 kemasan susu.
Dalam berbagai situasi kehidupan sehari-hari, masalah memiliki arah tetap. Misalnya anak-anak bisasanya tahu berapa kelereng yang mereka miliki sebelum bermain dan berapa kelereng mereka menang dalam permainan itu. Di akhir permainan mereka menghitung berapa kelereng yang mereka miliki sekarang. Pembalikan situasi, menurut De Cone dan Verschaffel (1987) memciptakan kesulitan dari keduanya: relasi-relasi kognitif dan pandangan makna sosial. Representasi yang dibangun dalam kehidupan sehari-hari mengacu pada keduanya yaitu relasi-relasi bilangan dan pada situasi actual. Akibatnya dengan adanya representasi ganda ini mengakibatkan pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari menjadi tidak felksibel.
Pengalaman-pengalaman kebudayaan yang berbeda mungkin menyebabkan perbedaan derajat kefleksibelan bagi prosedur-prosedur yang dipelajari oleh partisipan. Pada suatu situasi, hubungan mungkin dapat diamati secara konsisten dalam satu arah: lainnya, pembalikan mungkin dipraktekkan. Di antara berbagai situasi-situasi budaya sebagaimana budaya barat, bersekolah mungkin mengungkapkan secara individu untuk membalik kebanyakan kebiasaan sistematik. Di sekolah, siswa tidak bekerja dengan perubahan aktual, sekedar mengacu padanya. Kalimat-kalimat numerik sering ditulis ketika masalah aritmetika dipecahkan. Guru sering mengharuskan siswanya menulis kalimat matematik yang menunjukkan operasi matematika mengarah pada jawaban benar. Dalam kasus mendapat pesanan 893 kemasan susu, misalnya 893 – 379 akan diperkirakan dengan kalimat penyelesaian. Akibat dari penekanan ini di sekolah dalam pemecahan masalah melalui operasi kebalikan menyatakan bahwa bersekolah amat kuat berpengaruh perkembangan pengertian dari kebalikan. .
Bagian berikur ini akan meninjau penelitian menunjang pada pertanyaan kefleksibelan dalam pemecahan masalah dan kecakapan memecahkan masalah menggunakan keterbalikan. Grup pertama mengkaji analisis pemecahan masalah kata di sekolah dan dalam situasi lapangan. Grup kedua menganalisis pemecahan masalah oleh orang dewasa dalam membayangkan situasi-situasi yang berkaitan dengan pengalaman kerja mereka sehari-hari.

Pemecahan masalah kata secara langsung dan pembalikan: akibat bersekolah.
Carraher (1988) melakukan dua studi berkaitan dengan kecakapan orang dewasa memcahkan masalah melalui kebelaikan operasii dianalisis sebagai suatu fungsi bersekolah dan besarnya bilangan yang ada dalam masalah. Timbul di pikiran kemungkinan adanya perbedaan kesulitan antara masalah dengan bilangan kecil dan besar. Carraher membuat dua prediksi tentang penampilan orang dewasa. Yang pertama adalah jika pengajaran di sekolah memainkan peranan penting dalam menggunakan operasi kebalikan, maka orang dewasa yang tak bersekolah secara signifikan akan lebih baik dalam mengerjakan masalah langsung dari pada masalah kebalikan, perbedaan ini akan lebih tampak pada masalah dengan bilangan-bilangan besar. Ini bukan suatu pernyataan trivial bahwa sesuatu itu lebih sulit dari lainnya atau bahwa orang-orang dewasa yang tak bersekolah memiliki kesulitan pada aritmetika. Orang-orang dewasa Brazil yang tak bersekolah diperkirakan membentuk pada tingkat atas dalam dalammenggunakan model langsung untuk keduanya bilangan-bilangan kecil maupun besar karena mereka mudah mengungkapkan matematika lesan dalam menyelesaikan masalah-masalah dengan bilangan besar. Karena perhitungan tidak menjadi sumber kesulitan bagi orang-orang dewasa yang tak bersekolah, penampilan mereka pada masalah langsung diperkirakan tinggi. Jika bersekolah memainkan peran krusial dalam menggunakan operasi kebalikan untuk pemecahan masalah, orang-orang dewasa yang tak bersekolah diperkirakan pada tingkat rendah pada masalah kebalikan bahkan dengan bilangan-bilangan kecil.
Penampilan yang memprihatinkan dalam masalah kebalikan ini berseberangan dengan kecakapan yang ditunjukkan oleh anak-anak Amerika pada tingkat tiga (third grade), 80% dari padanya benar dalam memecahkan serangkaian masalah kebalikan penjumlahan dan pengurangan dengan bilangan-bilangan kecil (Riley Greeno dan Heller, 1983). Studi yang dilakukan Riley dkk (1983), meskipun secara ekstrim menarik, tidak melayani kemungkinan efek pemisahan perkembangan kognitif dan bersekolah, yang berkorelasi dalam sampelnya. Mereka juga menggunakan bilangan-bilangan kecil, suatu metodologi yang membuat kesulitan dalam mencari perbedaan yang antara masalah langsung dan kebalikan.
Prediksi kedua dalam studinya Carraher menyatakan bahwa jika bersekolah memegang peran penting dalam memahami (understanding) masalah yang akan dipecahkan melalui operasi kebalikan, maka efek signifikan bersekolah pada penampilan harus diperoleh untuk kebalikan tetapi tidak untuk masalah-masalah langsung.
Agar dapat menguji perkiraan pertama, 60 orang dewasa diikutkan dalam program melek huruf (literacy) (dengan sangat sedikit pembelajaran matematika) diinterview dab disuruh menyelesaikan enam masalah kata, tiga dapat dengan mudah diselesaikan melalui pemodelan langsung dan tiga lebih mudah diselesaikan dengan operasi kebalikan. Pada masalah langsung, yang dua memerlukan penjumlahan dan yang satu memerlukan pengurangan. Lawan kantanya benar bagi masalah kebalikan, yang merupakan kebalikan cerita dari masalah langsung. Subyek memecahkan masalah dengan bilangan-bilangan kecil (dibawah 20) dan bilangan-bilangan besar (diatas 30). Menggunakan kalkulator diijinkan, dan semua subyek tahu bagaimana menggunakannya untuk setiap operasi arimetika sebelum mereka mulai bekerja pada masalah-masalah kata. Pada subyek ini hasilnya menunjukkan masalah langsung secara konsisten lebih mudah dari pada masalah kebalikan, dan masalah langsung dengan bilangan-bilangan besar pada level kesulitan yang sama dengan masalah kebalikan dengan bilangan-bilangan kecil. Prediksi pertama telah dikonfirmasi.
Prediksi kedua, bahwa bersekolah menunjukkan kemajuan secara signifikan dalam menyelesaikan masalah-masalah kebalikan, telah diuji melalui studi dengan 90 orang dewasa mengikuti kelas yang berlangsung malam hari. Kelas ini ekivalen dengan satu dari tiga level bersekolah: tingkat satu (pengajaran dasar melek huruf), tingkat tiga, atau tingkat lima. Pengajaran pada algoritma-algoritma tertulis untuk empat operasi secara lengkap diberikan pada tingkat tiga, ketika siswa terlibat dengan pemecahan masalah kata. Semua masalah kata dalam studi ini melibatkan bilangan-bilangan besar. Menggunakan kalkulator diijinkan dan penggunaannya telah didemontrasikan. Hasil dariprediksi kedua ini bahwa masalah langsung masih lebih mudah dari masalah kebalikan, bahkan pada pengajaran sekolah, tetapi efek dari bersekolah dalam memecahkan masalah menggunakan operasi kebalikan signifikan. Dengan bersekolah, pemecahan masalah-masalah kata menjadi lebih fleksibel, dan pembalikan dipenuhi dengan persentase besar yang sekolah dari pada yang tidak sekolah.

Generalisasi teoritik
Tiga konsep diambil dari teori-teori saat ini berkaitan dengan perkembangan kognitif berguna untuk mengetahui hasil yang telah kita diskusikan.

Penguat-penguat budaya (cultural amplifiers)
Pertama kita perlu meninjau konsep penguat budaya, awalnya dikemukakan oleh La Barre (1954) dan dikenalkan dalam pesikologi perkembangan oleh Bruner (1966). Menurut konsep ini, perubahan terbesar yang menentukan adaptasi orang-orang pada setengah juta tahun terakhir ini sejak otak manusia yang diperoleh ukuran penyajiannya dan morfologi secara budaya terbagi bermakna untuk memperkuat aksi manusia (seperti mobil dan palu), system sensori (seperti radar), dan keterampilan-keteampilan nalar (seperti bahasa dan perwakilan matematika). Sebagaimana di tulis terdahulu, system numerasi memperkuat kapasitas manusia untuk menghitung dan menyatakan bilangan-bilangan memiliki batas-batas pemberdayaan oleh memori manusia. Sistem-sistem nilai tempat meningkatkan jangkauan membilang dan menghitung memiliki apa yang mungkin melalui manipulasi perhitungan obyek-obyek atau lesan. Sistem perwakilan-perwakilan matematik tidak menyederhanakan pernyataan berarti bahwa orang-orang masih menyimpan di pikiran. Sistem-sisten\m ini mempertinggi pengetahuan manusia melalui penggunaan budaya mendefinisikan kesepakatan-kesepakatan dan mendasarkan pada struktur logika.
Budaya mendefinisikan kesepakatan-kesepakatan dapat bermacam-macam lintas budaya-budaya dan situasi-situasi dalam budaya yang sama. Sebagai contoh , sistem ukuran dengan organisasi-organisasi berbeda keduanya dalam dan lintas budaya. Perbedaan-perbedaan ini mempengaruhi bagaimana orang berpikir tentang dimensi ukuran dan relasi-relasi bilangan yang mereka kenal. Jarak dipikirkan dalam istilah mile di negara-negara yang ukuran dengan mile dan dalam istilah kilometer di negara-negara yang menggunakan kilometer.
Kesamaan berdasarkan sistem perwakilan-perwakilan dalam matematika mungkin lebih penting dari pada perbedaan-perbedaan. Semua sistem pengukuran, misalnya, menggunakan konsep satuan dan membolehkan pengaruh-pengaruh bentuk yang sama berdasarkan konsep satuan, tak memperhatikan ukuran dari satuan, dan hubungan-hubungannya dengan satuan lain dalam pengukuran. Akhirnya, apa yang lebih penting yaitu bahwa semua system-sistem simbolik konvensional ini bekerja sebagai penguat budaya bagi para penggunanya, memperkuat kecakapan mereka kurang lebih sebagai fungsi dari sistem-sistem itu sendiri.

Sosialisasi pemikiran
Ide penting kedua diambil dari diambil dari studi perkembangan kognitif yang membantu menganalisa kaitan antara kebudayaan dan berpikir matematika yang telah dilakukan Piaget (1962) dan Vygotsky (1978), yang menyadarkan sosialisasi aturan sistem-sistem representasi konvensional dalam analisis terhadap bahasa sehari-hari mereka. Representasi matematika seperti bahasa sehari-hari mereka, yakni suatu sistem konvensional dan kolektif dari pemeberian arti, pengertian harus diberikan oleh subyek. Memperhatikan bahasa. Piaget menyatakan: “representasi merupakan gabungan “pemberian makna” yang dapat dipanggil kembali, sesuatu yang “termaknai” disediakan dengan berpikir. Dalam hal ini, penetapan kolektif dari bahasa merupakan faktor utama keduanya representasi-representasi pembentukan maupun sosialisasi, tetapi kecakapan anak-anak menggunakan tanda-tanda verbal bergantung kepada kemajuan dari pikirannya sendiri (Piaget, 1962: 273).
Sosialisasi dari representasi-representasi dalam penalaran matematika melibatkan keduanya penggunaan simbol-simbol yang sama (sistem-numerasi sama, notasi aljabar sama, dan sebagainya) dan penggunaan batasan-batasan yang sama untuk klasifikasi konsep-konsep (aturan sama dari situasi-situasi diklasifikasikan, misalnya, sebagai “masalah-masalah penjumlahan”). Luria (1966) menekankan peranan bahasa untuk menetapkan batasan-batasan persekutuan untuk konsep-konsep dengan indikasi sebagai berikut: jika ibu menunjuk suatu obyek dan mengatakan dengan suatu kata untuk menyebutnya, maka obyek itu menjadi suatu gambaran lagi terhadap latar belakang. Dalam proses ini, sifat fungsional yang esensi dari obyek menjadi lebih menonjol seperti ini bertempat di kategori yang sama sebagai obyek-obyek lain dinyatakan dengan kata sama. Anak-anak harus memberikan arti untuk pemberian makna seperti + (tambah) dan – (kurang) dengan menemukan sifat-sifat matematik yang bersekutu dengan situasi-situasi yang dinyatakan dengan pemberian makna. Tetapi, seperti Resnick (1984) menunjukkan obyek-obyek matematik tidak dapat ditunjuk sebagai pertalian antara konsep-konsep bahasa sehari-hari (kursi, cangkir, dan sebagainya) sering terjadi. Anda dapat menunjuk tiga kursi dan mengatakan “tiga” atau menunjuk pada symbol 3 dan mengatakan “tiga”, tetapi ini tidak untuk menunjukkan suatu pertalian pengertian dari konsep bilangan. Tugas pendidik-pendidik matematika adalah harus menyempurnakan sosialisasi penalaran matematik. Ini semacam dengan tugas ibunya dalam sosialisasi representasi-representasi anak melalui bahasa sehari-hari, hanya lebih sulit.
Makna suatu konsep matematik selalu abstrak, dan memperolehnya direpresentasikan dengan pengertian dari relasi-relasi dan invariant-invarian, tidak dengan pengakuan terhadap obyek-obyek fisik. Sebagai contoh, masalah-masalah perbandingan mungkin melibatkan situasi-situasi secara subtansi beragam dari sudut pandang isinya. Masalah-masalah ini mungkin melibatkan hubungan antara banyaknya buah kelapa yang dibeli dan harganya, atau hubungan antara udang mentah dengan pemrosesan udang, atau hubungan antara resep makanan dengan banyaknya tepung dan susu. Pada permukaan , situasi-situasi ini sangat berbeda, kemudian mereka mencari kesamaan logika yang mendasarinya. Semua masalah ini melibatkan dua variable, jika salah satu variabel berfluktuasi maka yang lainnya berfluktuasi secara proporsional dalam satu-ke-banyak korespondensi. Agar menangkap makna pernyataan masalah proporsional murid-murid harus mengerti apa yang menjadi persekutuan pada situasi-situasi ini, apa yang menjadi invarian dalam hubungan antara variabel-variabel memperhatikan nilai-nilainya. Pengertian invarian dalam situasi-situasi proporsional menyajikan makna inti masalah-masalah proporsi. Jika pengertian ini telah dicapai individu dapat merubah dalam nilai-nilai variabel-variabel tanpa diikuti dengan hubungannya. Sebagai contoh, pembelanja dapat membeli tambahan buah kelapa tanpa merubah hubungan satuan harga, atau juru masak dapat merubah jumlah bahan-bahan dalam suatu resep agar dapat melayani tamu lebih banyak.

Kognisi dan metakignisi
Manfaat keguanaan konsep ketiga dalam sumber bacaan tentang perkembangan konsep-konsep matematik berkaitan dengan perbedaan antara kognisi dan metakognisi. Perbedaan ini digunakan dalam berbagai konteks, misalnya perbedaan dibentuk antara memori dan metamemori (Flavel dan Wellman, 1977) dan antara pengetahuan bahasa dan metabahasa (Sinclair, Jarvella dan Levelt, 1976). Secara umum, konsep sederhana menunjuk pada kecakapan bahwa subyek harus menggunakan tipe khusus dari pengetahuan sebagai alat, metakonsep menunjuk pada kecakapan subyek menggunakan bahwa bagain yang sama dari pengetahuan sebagai suatu obyek di dalam pemikiran. Misalnya pembicara dengan bahasa pribumi membuat perbedaan menurut bunyi dari bahasanya ketika berbicara dan mendengarkan. Mereka menggunakan bunyi sebagai alat karena bunyi merupakan unit abstrak dari cara pengucapan. Mereka mengetahui distorsi terkecil dalam membunyikan ketika, misalnya, diucapkan oleh orang asing. Tetapi kecakapan untuk mengisolasi dan menghitung bunyi dalam suku kata tak dapat diasumsikan oleh semua bahasa pembicara pribumi. Perkembangan dari pengetahuan metabahasa hampir dikaitkan tidak dengan ketika bicara dan mendengarkan tetapi dengan praktek budaya lainnya, seperti belajar tentang irama dan dengan melalui bahasa tulisan. Konsep-konsep sederhana dan metakonsep-metakonsep tampak berkembang dalam kaitannya dengan tipe-tipe berbeda dari praktek budaya.
Konsep-konsep matematika telah disubyekkan ke suatu perbedaan alat-obyek oleh Douady (1985). Sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari konsep-konsep matematika digunakan dalam proses penyetrukturan situasi-situasi eksternal sebagai subyek yang cicoba diketahui relasi-relasi matematik dilibatkan dalam situasi-situasi ini. Tetapi konsep tetap dalam arti transparan ketika mereka menggunakan sebagai alat-alat. Subyek berpikir tentang situasi, juga tentang konsep matematik. Dalam pandangan ini, konsep-konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari tak dibatasi pada pemikiran kongkrit dan tidak hanya replikasi prosedur-prosedur tanpa pengertian.
Sebagai obyek pembelajaran, konsep-konsep matematika difokuskan menarik dikelas. Murid-murid diperkirakan belajar, berpikir tentang sesuatu, dan mencoba merepresentasikan konsep-konsep oleh mereka sendiri. Ini berarti, matematika sehari-hari dan pendidikan matematika jelas berbeda. Konsep-konsep matematika adalah alat-alat dalam kehidupan sehari-hari dan obyek-obyek di dalam kelas. Konsep-konsep matematika kadang-kadang digunakan sebagai alat dai dalam kelas dalam masalah-masalh kata dan soal aplikasi lainnya, tetapi fokus perhatian termasuk dalam soal aplikasi adalah konsep matematik, bukan situasi khusus.

Implikasi bagi pendidikan
Apakah perbedaan antara pengetahuan matematika sehari-hari dan sekolah berarti bahwa matematika sehari-hari dilarang digunakan untuk pembelajaran di kelas? Tentu saja tidak. Menurut ahli psikologi perkembangan, agar berhasil dalam mempelajari konsep matematika sebagai suatu obyek, subyek harus senantiasa memiliki akses dari konsep sebagai alat. Karmilloff-Smith (1988) yang menghubungkan kepentingan pada keterkaitan antara kognisi dan metakognisi dalam perkembangan kognisi, membuat pandangan ini jelas.
Akhirnya, Saya (Nunes) ingin menyimpulkan bahwa pikiran manusia tidak hanya mencoba mencocokkan kenyataan-kenyataan eksternal, yakni awalnya menyusun untuk mengeluarkan dan merepresentasikan, tetapi juga untuk mencocokkan kenyataan-kenyataan internya yang dimilikinya. Yang saya maksud dengan ini adalah pikiran manusia merepresentasikan kembali (re-represents) secara rekursif: representasi internal yang dimilikinya. Dengan demikian, menciptakan metaprosedur-metaprosedur dan metarepresentasi-metarepresentasi secara umum. Dalam jangka waktu yang panjang, saya telah berargumentasi ini adalah kapasitas rekursif (recursive capacity) untuk menyajikan representasi-representasi yang dimiliki seseorang yang membangun manusia bagian dari spesies-spesies.
Jika kita menerima pandangan dari tesis ini yakni metapengetahuan adalah representasi kenyataan-kenyataan internal yang dimiliki seseorang dan konsep-konsep harus yang pertama digunakan dalam representasi kenyataan-kenyataan eksternal agar supaya ditransfer ke metakonsep, beberapa arah dapat disarikan untuk pendidikan matematika dari analisis praktek-praktek budaya menyisip dalam pengetahuan matematika. Apabila guru menghadapi kelas dengan tujuan mengajar suatu konsep khusus guru harus menandai yang mana murid-murid yang telah menggunakan konsep-konsep dalam kehidupan sehari-hari sampai ada lagi penelitian digunakan pada subyek guru akan memberi tugas mencari penggunaan-penggunaan konsep dalam sehari-hari dan mencobanya menganalisa invarian-invarian logik yang mendasari konsep-konsep dan prosedur-prosedur sehari-hari. Prosedur setiap hari sering berbeda dengan prosedur pemelajaran di sekolah dan guru-guru perlu melihat yang lebih mendalam untuk mengetahui invarian-2 yang menarik yang digunakan dalam praktek sehari-hari. Saya berharap bahwa tinjauan ulang studi di sini dapat memberikan model untuk keberanian usaha ini.
Setelah mengidentifikasi suatu situasi sehari-hari di tempat konsep digunakan guru perlu mengetahui bagaimana menggunakan situasi untuk mempromosikan suatu kesadaran dan pengertian penggunaan konsep. Dalam proses ini jarang. Saran-saran didapat dari literatur dalam 2 tipe. Pertama adalah model perumuman abstraksi dapat disebut dalam bermain dalam pembelajaran untuk belajar konteks (Cole, 1977). Atau dalam pendekatan kognitif masa belajar (cognitive apprenticeship approach) (lihat Brown, Collins, dan Duguid, 1989). Dasar pendekatan ini adalah bahwa pengertian beberapa situasi yang berbeda melibatkan invarian yang sama mengarah pada abstraksi dan generalisasi dari inti konsep (invariant), dan untuk memperkaya konsep dengan memperluas pengaturan situasi yang digunakannya. Sebaliknya untuk menyajikan praktek, model pembelajaran dianjurkan anak-anak memecahkan beberapa situasi masalah menyisipkan konsep yang sama kemudian kembali kepada konsep seperti itu. Sebagai contoh murid-murid diberi beberapa masalah tentang pecahan tanpa diajari bagaimana untuk mewakilkan pecahan-pecahan dan kemudian mereka boleh mengkaitkan makna atau arti dikembangkan di cara ini pada representasi matematika. Model pembelajaran ini telah dicobakan dengan sukses oleh Lima (1989) dalam konteks pecahan.
Kedua representasi dari situasi asli melalui bahasa alami dapat membantu transisi perubahan suatu konsep dari alat ke obyek. Dalam kasus ini situasi-situasi menjadi data untuk dibicarakan dari pada masalah-masalah untuk dipecahkan. Carraher dan Ruiz (1985) mencoba metode seperti itu dalam studi perkembangan konsep dari perbandingan-perbandingan. Dalam prosedur mereka anak-anak bekerja dalam grup kecil untuk memecahkan masalah tentang proporsi (perbandingan). Mereka mencweritakan bahwa kelompok kedua dari murid-murid akan menyelesaikan masalah identik dengan bilangan-bilangan berbeda. Mereka disuruh menulis suatu pesan kepada kelompok kedua ini mengatakan padanya bagaimana memecahkan masalah itu. Tetapi karena mereka tidak tahu bilangan-bilangan apa yang ada pada masalah kelompok lain. Mereka telah menjelaskan prosedur tanpa menyebut bilangan-bilangan. Mereka menceritakan bahwa kesuksesannya dalam tugas tak terjadi bilamana mereka memecahkan masalah yang pesannya digunakan oleh grup lain. Dibawah keadaan ini murid-murid menyadari bahwa pesan telah menjadi sesuatu yang umum tentang kaitannya antar variabel-2 bukan pembelajaran khusus untuk perhitungan seperti "perkalian 2 dengan 13 dan dibagi oleh 3". Hampir semua murid mencoba pesan umum dalam bahasa alami; beberapa mencoba membagi rumus dengan menulis pesan seperti " make x your number of rings on the scale and y the number of the peg on which you put your rings" (membuat x cincin jumlah mu pada [atas] skala dan y banyaknya pancang yang di atasnya kamu meletakkan cincin mu ) (diterjemahkan dengan transtool). Tidak semua grup yang dapat menyelesaikan masalah dapat menulis pesan secara sukses; yang menunjukkan bahwa representasi masalah tidak mudah. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan efek dari tipe rekonstruksi ini dari masalah yang mungkin dimiliki pada pengertian anak dari konsep matematika.
Sebagai ringkasan dalam bab ini untuk menunjukkan kegiatan matematika dapat diobservasi sebagai jalinan dengan praktek sehari-hari di luar pengaturan akademik. Obyek-obyek yang dimatematikakan dan situasi-situasi dalam kegiatan sehari-hari memiliki arti merepresentasikannya dalam berbagai cara yang mengijinkan mensarikan lebih jauh informasi tentang obyek-obyek. Informasi-informasi lebih dalam tentang obyek atau situasi-2 berdasarkan representasi-2 tanpa kebutuhan verivikasi lebih jauh dengan menggambarkan pada obyek-obyek yang direpresentasikan , Tiga topik dianalisis secara detail dalam peninjauan ulang dalam penelitian: a. menghitung dan mengukur, b. pemecahan masalah dan perhitungan, dan c. pemodelan dan pembalikan. Konsep-konsep ini merupakan pusat dari tipe-tipe kegiatan-2 matematika mulai dikerjakan oleh anak-anak di tingkat sekolah dasar. Mereka juga berkepentingan besar untuk kehidupan mereka dan menjadi jalinan dalam kegiatan sehari-hari dalam bermacam-macam bentuk. Beberapa konsep-konsep ini mungkin diperoleh tanpa bersekolah tapi tidak berarti pembelajaran matematika harus meninggalkan belajar konsep-konsep ini pada masa mereka belajar mengenal sekolah. Ini adalah kepentingan dari konsep-konsep ini. Baik Kegiatan matematika maupun kehidupan sehari-hari ia menyarankan kebutuhan untuk tetap memberikan perhatian yang besar kepadanya dalam pembelajaran matematika. Dengan mempromosikan pengertian mereka disekolah guru-guru mungkin dapat membantu anak mengenali banyak matematika yang mereka pelajari dan gunakan di luar sekolah, mungkin juga menolong siswa memindahkan konsep-konsepo yang mereka ketahui digunakan sebagai alat-alat dalam meta-meta konsep mereka dapat menggunakan untuk generalisasi; dalam proses ini mungkin mereka akan belajar bagaimana seharusnya belajar dan menikmatinya

Tidak ada komentar: