Rabu, 26 November 2008

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL

Jozua Sabandar

PENDAHULUAN
Pembelajaran matematika di sekolah akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan akan
pendekatan pembelajaran yang bernuansa konstruktifisme. Artinya, bahwa materi
matematika yang telah guru siapkan untuk disajikan di kelas tidak akan disajikan dalam
bentuk yang sudah jadi, dengan cara “top-down”. Konsep-konsep atau materi matematika
tersebut harus harus secara bottom-up dikenalkan untuk kemudian dibangun atau
dikonstruksi oleh siswa dengan panduan dan arahan dari guru yang berperan sebagai
fasilitator dan tidak sebagai penyampai informasi dalam bentuk jadi
Dalam hal mengkonstruksi tersebut, siswa tentu diberikan peluang untuk
menkonstruksi pengetahuan serta pemahaman matematikanya secara radikal pada awal
proses belajar, namun selanjutnya aspek radikal tersebut menjadi berkurang dengan
munculnya aktifitas belajar yang interaktif sehingga aspek sosial dalam proses
pembentukan pengetahuan tersebut (socio-constructivism) mulai berperan. Dalam situasi
belajar mengajar seperti ini, peranan guru sebagai penceramah atau orang yang
mentransferkan pengetahuan yang sudah disiapkannya akan beralih dari teacher telling
ke situasi student learning.
Dengan demikian, mengawali suatu proses pembelajaran matematika yang
mengutamakan aspek konstruktifisme di kelas sesungguhnya guru sudah harus
mempersiapkan tugas serta aktifitas belajar siswa dan mengantisipasi setiap respons dan
pertanyaan yang mungkin dikemukakan siswa. Hal ini akan lebih terasa dan nampak jelas
ketika terhadap suatu konsep matematika yang akan diajarkan di kelas, proses
pembelajaran diawali dengan menyajikan suatu stuasi masalah yang bermakna bagi
siswa, atau situasi yang kontekstual bagi siswa. Dengan demikian siswa akan
berkesempatan untuk memberdayakan kemampuan serta pengalaman yang dimilikinya.
Dengan mempertimbangkan bahwa kemampuan matematika siswa berada pada
level yang beragam, karena itu, soal-soal yang disajikan ketika guru mengawali suatu
kegiatan belajar hendaknya dapat mengakomodasi keberagaman level pengetahuan siswa
dan membuka peluang untuk mereka berpartisipasi dalam mengkonstruksi pengetahuan
mereka. Demikian juga dengan mempertimbangkan bahwa konsep matematika adalah
sesuatu (pengetahuan) yang abstrak dan untuk menuju pada keabstrakan tersebut
pebelajar harus berpijak pada sesuatu (pengetahuan ) yang konkrit yang dimilikinya.
Pemanfaatan terhadap pengetahuan yang dimiliki siswa sesungguhnya membuka
kesempatan kepada mereka untuk berperan aktif dalam kegiatan belajar, apakah bertanya,
mengemukakan pendapat atau bekerja sama dengan temannya dalam kelompok belajar.
Dengan kata lain pembelajaran matematika di kelas janganlah “kering” dan “sepi” tetapi
melibatkan siswa secara aktif adalah suatu yang dipandang perlu dan penting.

Soal Kontekstual
Soal – soal kontekstual dimaknai secara umum sebagai suatu situasi yang memuat
masalah yang dapat dijangkau oleh pikiran siswa. Hal ini dimaksudkan agar siswa segera
terlibat dalam proses belajar Soal seperti ini tidaklah sekedar berkaitan dengan konteks
kehidupan keseharian, tetapi juga dapat sesuatu yang fiktif namun dapat dijangkau oleh
akal manusia, ataupun sesuatu yang kontekstual secara matematika.(Freudenthal, 19973
dalam van den Heuvel Pan Huizen, 1999) Yang terakhir ini, maksudnya bentuk
matematika yang masih dapat dipahami atau bermakna bagi siswa.
Selain daripada itu, diharapkan bahwa soal-soal yang dipilih itu dapat
diselesaikan dengan menggunakan lebih dari satu cara atau strategi serta melibatkan lebih
dari satu aktifitas berpikir tingkat tinggi. Sehingga siswa merasa tertarik dan sadar akan
betapa kayanya cara dalam matematika dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Diharapkan akan timbul penghargaan siswa tentang peranan matematika dalam
kehidupan dan dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan.
Berdasarkan peluang yang disediakan oleh soal kontekstual bagi terbentuknya
pengetahuan matematika, soal-soal kontekstual memuat konteks yang bertingkat dimulai
dengan menyajikan terjemahan dari soal matematika yang disajikan dalam bentuk teks,
menyajikan kesempatan bagi terjadinya matematisasi, serta memberikan peluang bagi
siswa untuk menemukan konsep baru dalam matematika.
Dengan disediakannya soal-soal kontekstual seperti ini maka peluang untuk siswa
menemukan kembali (reinvention) gagasan-gagasan matematika menjadi lebih baik.

Proses
Umumnya konsep-konsep matematika berawal dari pengalaman dan kejadian dalam
kehidupan manusia. Sehingga, ketika orang diharapkan mempelajari matematika agar
mengerti maknanya, sebaiknya ia dapat kenal dan memahami akan adanya situasi atau
konteks yang memuat serta melahirkan konsep matematika tertentu yang akan dipelajari
siswa. Oleh karena itu, sekalipun pada bagian akhir dari pembelajaran matematika akan
menghasilkan siswa yang telah memahami dan menguasai konsep matematika yang
pada mulanya abstrak baginya, siswa harus diberi kesempatan untuk menjalani suatu
tahap konkrit. Pengertian konkrit disini, tidak hanya sebatas bahwa siswa bisa melihat,
meraba akan model konkrit dari konsep yang akan dipelajari, tetapi juga bahwa siswa
dapat menangkap akan adanya situasi yang konkrit bagi siswa. (Gravemeijer, 1994)
misalnya konsep matematika yang telah dikenalnya namun terkait dengan konsep yang
akan dipelajari. Ini berarti, suatu konsep yang sekarang ini abstrak bagi siswa, nantinya
tidak lagi abstrak setelah ia menjalani proses pembelajaran yang disiapkan guru.
Jika kegiatan belajar dipandang tidak hanya sejauh mengenalkan suatu pengetahuan yang
baru kepada siswa, tetapi juga sebagai suatu upaya untuk memberdayakan serta
memperkuat pengetahuan yang sudah dimiliki siswa, maka dalam proses belajar tersebut
perlu disediakan aktifitas untuk memberdayakan pengetahuan yang sudah dimiliki itu
agar siswa memahami dan menguasai pengetahuan yang baru, sekaligus memperkokoh
pengetahuan yang sudah ada sebelumnya pada siswa.
Karena siswa akan menjalani suatu proses yang memampukannya membangun
pengetahuannya dengan bantuan fasilitas dari guru, maka keterlibatannya dalam proses
belajar haruslah nampak. Keterlibatan siswa dalam proses belajar ini antara lain adalah :
(a) melakukan observasi , (b) melakukan eksplorasi, (c) melakukan inkuiri, (d) membuat
hipotesis, (e) membuat konjektur, (f) membuat generalisasi, dan (g) menerapkan.
Keterlibatan siswa seperti ini dalam proses belajar diharapkan dalam memunculkan dan
mengembangkan kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki siswa dalam belajar
matematika, yaitu penalaran, komunikasi, koneksi, repsesentasi dan pemecahan masalah.

a. Observasi. Manakala pembelajaran terhadap suatu konsep matematika yang pada
mulanya abstrak bagi siswa, diharapkan sudut pandang atau aspek konkrit yang
ada pada siswa perlu diberdayakan.. Hal ini dapat diwujudkan dalam bentuk
pengamatan terhadap fenomena-fenomena yang sama yang selalu muncul dalam
matematika, sehingga siswa dapat memperhatikan hal-hal yang mencolok yang
melekat pada fenomena-fenomena tersebut. Hal-hal yang mencolok itu dapat
berupa bentuk matematika, pola bilangan, kedudukan suatu unsur dalam
fenomena ini yang dapat menimbulkan pertanyaan atau rasa ingin tahu ataupun
jawaban sementara atau tebakan atau perkiraan terhadap pertanyan yang mungkin
tentang fenomena itu..

b. Eksplorasi biasanya terjadi pada mereka yang memiliki rasa ingin tahu terhadap
sesuatu yang relatif masih baru dan yang menarik perhatiannya, misalnya, apa
yang amat spesifik dari yang teramati olehnya. Tentu saja, hasil dari eksplorasi
bisa bervariasi, sebab hal ini amat bergantung pada ketertarikan individu terhadap
fenomena yang dihadapinya, sekalipun fenomena itu sama dihadapan individuindividu.

c. Inkuiri. Explorasi serta observasi akan menimbulkan rasa ingin tahu yang lebih
jauh pada individu untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan yang muncul.
Dalam inkuiri, individu mengajukan pertanyaan dan mencari informasi yang
cukup dengan mengkaji dan menganalisa informasi tadi untuk menjawab
pertanyaan yang dimunculkan.

d. Hipotesis. Tentu saja dari hasil inkuiri itu, dapat saja dihasilkan jawaban
sementara (hipotetsis) terhadap pertanyaan yang dikemukakan. Namun, diterima
atau ditolaknya hipotesis itu, amat terganung pengujian secara matematik
terhadap kebenaran hipotesis itu. Tindakan menduga atau menebak dapat
dipandang sebagai bentuk sederhana dari pengujian akan kebenaran hipotesis itu.

e. Konjektur. Suatu pernyataan matematika yang benar yang dihasilkan berdasarkan
pengamatan atau eksplorasi, percobaan, namun belum dibuktikan kebenarannya
secara formal adalah suatu bentuk kesimpulan secara umum, tetapi tidak formal.
Ketika pernyataan ini dibuktikan secara matematika, maka konjektur tadi berubah
namanya menjadi suatu teorema. Dalam hal ini tentu dipahami bahwa bahwa
proses berpikir induktif yang telah berperan..

f. Generalisasi. Dengan menerapkan cara berpikir deduktif, maka kebenaran dari
konjektur itu dibuktikan. Dan sifat yang telah dibuktikan itu akan berlaku secara
umum.

g. Aplikasi. Kegunaan matematika sudahlah jelas yaitu antara lain agar dapat
digunakan dalam berbagai bidang keilmuan atau dalam menyelesaikan berbagai
masalah yang dijumpai dalam kehidupan keseharian.
Mengajarkan Matematika
Mengajarkan matematika sesungguhnya tidaklah sekedar bahwa guru menyiapkan dan
menyampaikan aturan-aturan dan definisi-definisi, serta prosedur bagi para siswa untuk
mereka hafalkan , akan tetapi termasuk dalam mengajarkan matematika adalah
bagaimana guru melibatkan siswa sebagai peserta - peserta yang aktif dalam proses
belajar sebagai upaya untuk mendorong mereka membangun atau mengkonstruksi
pengetahuan mereka. Dalam proses belajar tersebut, hendaknya diingat bahwa diakhir
dari suatu rangkaian kegiatan belajar dan mengajar, kompetensi-kompetensi penalaran,
koneksi, komunikasi, representasi harus sudah nampak sebagai hasil belajar siswa.
Karena itu dalam proses pembelajaran hendaknya kegiatan belajar diarahkan untuk
munculnya kompetensi-kompetensi tersebut yang dianjurkan agar kegiatan tersebut dapat
terjadi pada setiap jenjang pendidikan (NCTM, 2000).
Representasi matematika yang merupakan salah satu kompetensi adalah suatu
aspek yang selalu hadir dalam pembelajaran matematika. Representasi atau model dari
suatu situasi atau konsep matematika jika disajikan dalam bentuk yang sudah jadi
sesungguhnya dapat dipandang telah mengurangkan atau meniadakan kesempatan bagi
siswa untuk berpikir kreatif dan menemukan sejak awal konsep matematika yang
terkandung dalam suatu situasi masalah. Representasi matematika terhadap suatu situasi
atau suatu konsep dapat muncul dalam berbagai cara, konkrit (benda nyata), semi konkrit,
benda tiruan atau gambar, semi abstrak (sketsa, atau lambang yang siswa buat sendiri)
serta abstrak yang berbentuk simbol-simbol resmi dan rumus. Dengan
demikianrepresentasi atau model matematika juga dapat dipandang bertransisi dan
merupakan jembatan yang menghubungkan bagian konkrit dan abstrak dalam
pembelajaran matematika. (Gravemeijer, 1994). Kehadiran representasi dalam
pembelajaran matematika akan memicu juga timbulnya kemampuan untuk mengaitkan
ide-ide matematika dalam berbagai topik ataupun dengan situasi keseharian, ataupun
memunculkan kemampuan siswa untuk bernalar serta berkomunikasi. Artinya dengan
beragam representasi yang siswa munculkan mereka diharapkan dapat
mengkomunikasikan gagasan atau strategi mereka kepada temannya saat mereka
berinteraksi di kelas. Sesungguhnya kompetensi-kompetensi ini jika secara sengaja
diberikan peluang untuk muncul dan disiasati secara baik, maka akan merupakan modal
dasar untuk menunjang kemampuan pemecahan masalah matematika.
Dari keberagaman pendapat siswa yang terlibat dalam komunikasi, siswa
diharapkan dapat secara mandiri memilih strategi atau prosedur yang sesuai dengan level
kemampuannya, sehingga ia akan bertanggung jawab terhadap pilihannya itu. Karena
itu, perlu diberikan kesempatan juga kepada siswa untuk memberikan suatu refleksi
mengenai apa yang ia kembangkan, atau apa yang ia contohi atau akomodasi dari siswa
yang lain atau dari guru. Refleksi ini dapat mengenai berbagai hal, misalnya tentang
alasan ia memilih suatu strategi, mengapa ia mengubah prosedur, apa yang ia lihat sangat
cocok bagi dirinya, ataupun apa keindahan atau keunggulan dari suatu teknik atau
strategi. Kegiatan refleksi ini seyogiyanya merupakan bagian yang harus ada dalam tiap
kegiatan belajar di kelas, ataupun di luar kelas, misalnya di rumah.baik secara lisan
maupun tulisan.

Prosedur
Konsep-konsep matematika berawal dari aktifitas manusia yang selanjutnya disadari dan
dikembangkan menjadi suatu pengetahuan yang selanjutnya digunakan untuk membantu
manusia menyelesaikan masalah. Karena iu belajar matematika hendaknya dipandang
sebagai aktivitas manusia (human activity) (Freudenthal, 1973). Sebagai contoh, ketika
konsep suatu deret geometri ta hingga akan diajarkan berserta dengan menghitung jumlah
ta hingga suku-suku deret itu, hendaknya dipahami bahwa deret seperti itu tidak muncul
atau terjadi dengan sendirinya. Sesungguhnya ada saja kejadian atau peristiwa yang
kontekstual yang ada disekitar kehidupan manusia yang memunculkan bentuk deret
geometri ta hingga tersebut. Pandanglah contoh-contoh deret geometri ta hingga berikut
ini, dimana pembentukannya dapatlah sebagai hasil suatu kegiatan manusia.
1. ½ + ¼ + 1/8 + 1/16 + . . .
2. 1/3 + 1/9 + 1/27 + 1/81 + . . . .
3. ¼ + 1/16 + 1/64 + 1/254 + . .
4. 1/5 + 1/25 + 1/125 + 1/625 + .....

1. Observasi
Jika anda mengobservasi bentuk penjumlahan bilangan-bilangan seperti di atas, akan
anda jumpai beberapa ciri umum yang mereka miliki.

1. Tiap dua bilangan yang berturutan adalah perkalian bilangan di depannya dengan
bilangan pertama. Atau bilangan kedua adalah kwadrat bilangan pertama, bilangan
ketiga adalah pangkat tiga dari bilangan pertama, dst.

2. Untuk contoh pertama, anda tahu bahwa bilangan (suku berikutnya) berikutnya adalah
1/32, dan 1/64.
3. Semakin besar urutan suatu suku, akan semakin kecil suku itu

4. Bilangan-bilangan itu membentuk suatu pola tertentu, dan ta hingga banyaknya:
1/x + 1/x2 + 1/x3 + . . .
3. Pertanyaan: 1. Dalam hal ini, bilangan apakah x itu?
2. Tentukan salah satu syarat yang harus dipenuhi x. Jelaskan
3. jumlah dari semua suku yang ta hingga itu?
4. Coba anda taksir sebesar apakah jumlah suku-suku itu.

Dari contoh-contoh ini diharapkan muncul pertanyaan, sebagai ungkapan kepekaan
ataupun rasa ingin tahu. Bahkan mungkin ada pertanyaan seperti: Apakah hal ini ada
dalam kehidupan manusia? Atau dapat saja muncul pertanyaan lain

4. Kegiatan memunculkan model
Untuk memunculkan model atau bentuk matematika: ½ + ¼ + 1/8 + 1/16 + . . .
sesungguhnya dapat diawali dengan aktivitas sebagai berikut dengan melipat kertas
menjadi dua bagian yang sama, menggunting, dan melipat, dan menggunting dst. Lihat
ilustrasi berikut)
Kegiatan: Lakukan kegiatan berikut ini
1. Ambil selembar kertas berbentuk persegi panjang
sebagai berikut.
2. Lipat kertas menjadi dua bagian berbentuk pers.
Panjang kemudian digunting menurut lipatannya.
3. Ambil seperdua bagian kertas tadi dan lipat
menjadi dua bagian berbentuk pers.panjang yang
sama dan gunting pada lipatannya. Masingmasing
adalah ¼ bagian dari kertas semula
4. Ambil satu dari ¼ bagian kertas yang ada, lipat
Gambar 1. menjadi dua bagian yang sama dan guntinglah
Persegi panjang satuan pada lipatan itu. Diperoleh 1/8.
5. Lakukan hal ini berkali-kali, dan susunlah
guntingan-guntingan kertas tadi sebagai berikut.
. . .
½ + ¼ + 1/8 + 1/16 + 1/32 + 1/64 + ...=
Gambar 2. Penjumlahan bagian-bagian dari
Persegipanjang satuan
(Apa yang dapat disimpulkan dari ilustrasi mengenai penjumlahan ini?)
Perhatikanlah bahwa dengan aktivitas ini, ada beberapa hal yang menarik:
1. Bagian kertas satuan dipecah-pecah dengan aturan tertentu.
2. Model fisik (nyata/konkrit) disajikan dalam bentuk lambang (bilangan, notasi)
dimunculkan suatu penjumlahan.
3. Dengan hadirnya bentuk fisik/konkrit tadi, maka dengan observasi atau explorasi yang
tepat dapatlah ditentukan bilangan terdekat apakah yang mennyatakan hasil
penjumlahan ini.
4. Jawab tentang hasil jumlah ini diperoleh secara informal.
5. Bagaimana menentukan ¼ + 1/16 + 1/64 + 1/254 + . . . = . . . .

Gambar 3. Persegi satuan
¼
¼
¼ ¼
Gambar 4. Bagian Persegi panjang dibagi pada
tiga kelompok, dgn satu kelompok sisa
¼ + 1/16
1/16

¼ + 1/16 ¼ + 1/16
Gambar 5. seperempat sisa dibagi lagi kepada tiga kelompok
Selanjutnya terhadap sisa 1/16 dilakukan lagi pembagian , dan ditempatkan pada tiga
kelompok yang ada.
¼ + 1/16 + 1/64
1/64
¼ + 1/16 + 1/64 ¼ + 1/16 + 1/64
Gambar 6. 1/16 sisa dibagi lagi pada tiga kelompok
Pelajarilah ilustrasi ini (lihat Gambar 6.) untuk menentukan bahwa :
¼ + 1/16 + 1/64 + 1/256 + … = 1/3
Secara kontekstual situasi ini dapat disajikan sebagai berikut
Ada satu kue akan dibagi sama untuk 3 anak, tetapi kue itu telah terbagi atas 4 bagian
yang sama. Masing-masing mula2 mengambil ¼. Selanjutnya ¼ yang tersisa dibagi atas
4 bagian yang sama dan masing-masing mendapat 1/16. Sisa 1/16 dibagi lagi atas 4
bagian yang sama menjadi 1/64 utk masing2 bagian, dan setiap anak mendapat 1/64 dst.
(Perhatikanlah bahwa dari empat bagian yang sama itu, masing-masing anak mendapat
satu bagian, yaitu ¼. Sedangkan untuk bagian ke empat ( sisa) tidak ada diantara ketiga
anak itu yang mau mengambilnya, sehingga disepakati bahwa bagian keempat itu dibagi
lagi atas empat bagian yang sama,masing-masing 1/16 dan setiap anak memperoleh satu
bagian. Selanjutnya, bagian yang tersisa pun lalu dibagi empat, dst).
Dapat dipahami bahwa setiap anak akan mendapatkan:

¼ + 1/16 + 1/64 + . . . . Dan jumlah ini = 1/3 (Mengapa?)

6. Refleksi
Coba anda tuliskan suatu refleksi tentang aktifitas ini, tentang:
• kejelasan aktifitas ini yang membantu pemahaman anda
• suatu rasional mengapa diperoleh 1/3.

7. Cara lain.
Dengan memanfaatkan contoh pertama di atas, ½ + ¼ + 1/8 + 1/16 + . . . maka
¼ + 1/16 + 1/64 + . . . dapat diselesaikan sebagai berikut.
Dari ½ + ¼ + 1/8 + 1/16 + 1/32 . . . = 1
Selanjutnya misalkan bahwa ¼ + 1/16 + 1/64 + 1/256 + . . . = y
Pandang : ( ½ + ¼ + 1/8 +… ) – ( ¼ + 1/16 + 1/64 +…) = ½ + 1/8 + 1/32 + 1/128 +…..
= 2 ( ¼ + 1/16 + 1/64 + . . . )
1 - y = 2y
1 = 3y
Atau y = 1/3,

8. Latihan
Selanjutnya, anda diharapkan bekerja dalam kelompok untuk mententukan apakah :
a. 1/3 + 1/9 + 1/27 + . . . = ½
b. 1/5 + 1/25 + 1/125 + . . . = ¼ dst.
c. Gunakan cara lain untuk menyelesaikan soal a dan b.

9. Konjektur.
Dari pengamatan anda pada kedua soal yang pertama tadi serta hasil dari penyelesaian
soal a dan b, tentu anda akan mempunyai hipotesis, atau dugaan, jika anda dihadapkan
pada bentuk
1/6 + 1/36 + 1/216 + . . . = 1/5
Jika anda kembali melakukan beberapa percobaan atau kegiatan inkuiri, maka anda akan
sampai pada suatu kesimpulan umum yang berkaitan dengan jumlah ta hingga suku-suku
deret geometri ta hingga
1/x + 1/x2 + 1/x3 + . . .
Maka anda akan menyimpulkan bahwa 1/x + 1/x2 + 1/x3 + . . . = 1/ (x – 1).
Dengan ketentuan bahwa x adalah bilangan asli.
Dapatkah anda BUKTIKAN HAL INI?

10. Koneksi.
Pandanglah 1/3 yang ditulis sebagai pecahan decimal berikut ini:
1/3 = 0.3333333 . . .
Perhatikan bahwa
0.3333 . . . adalah suatu pecahan dengan desimal berulang dengan banyaknya angka
desimal ta terhingga.
Dengan demikian 0.3333 dapatlah ditulis sebagai berikut:
0.3333. . . = 0.3 + 0.03 + 0.003 + 0.0003+ ….
= 3/10 + 3/100 + 3/1000 + 3/10000 + …
= 3(1/10 + 1/100 + 1/1000 + 1/10000 + …)
= 3 (1/9)
= 1/3

11. Aplikasi
Pandanglah 0.121212 …
x = 0.121212…
100 x = 12.121212 …
99x = 12
jadi x = 12/99 = 4/33 Tetapi
0.121212 . . . = 0.12 + 0.0012 + 0.0000112 + . . .
= (0.1 + 0.02) + (0.001 + 0.0002) + (0.00001+ 0.000002) + . . .
= (0.1 + 0.001 + 0.00001 + . . . .) + ( 0.02 + 0.0002 + 0.000002 + …) *

misal = a misal = b
Pandang 0.1 + 0.01 + 0.001 + … = 1/9 (perhatikan contoh di depan)
Jika dimisalkan bahwa a = 0.1 + 0.001 + 0.00001 + . . ., maka
(0.1) a = 0.1 (0.1 + 0.001 + 0.00001 + . . .)
= 0.01 + 0.0001 + 0.000001 + . . .
= 1/ 99 **
Dengan demikian
a = (1/99): (0.1)
a = (1/99) : (1/10) = (1/99)(10/1) = 10/99
Pandang b = 0.02 + 0.0002 + 0.000002 + . . . = 2 (0.01 + 0.0001 + 0.000001+ …)
= 2 (1/99) = 2/99 ***
Dari (*), (**), dan (***) disimpulkan bahwa
0.121212 … = 10/99 + 2/99 = 12/99 = 4/33.

12. Secara umum
Jika diketahui x adalah bilangan asli > 1, dan S = 1/x + 1/x2 + 1/x3 + ...
Maka x S = 1/x (1/x + 1/x2 + 1/x3 + ... )
= 1 + 1/x + 1/x2 + 1/x3 + ...
Atau
(1/x) S = 1 + S
(1/x) S - S = 1
S (1/x – 1 ) = 1
S [ ( 1 – x)/x ] = 1 atau S = x / (1 – x)
Catatan: Sesungguhnya jumlah dari bilangan-bilangan pada
½ + ¼ + 1/8 + 1/16 + 1/32 . . . , tidaklah tepat sama dengan 1. (Mengapa?). Akan tetapi
jumlah dari bilangan-bilangan yang ta hingga banyaknya pada bentuk
½ + ¼ + 1/8 + 1/16 ... adalah mendekati 1 . tetapi tidak sama dengan satu, sekalipun
bilangan-bilangan yang dijumlahkan itu ta hingga banyaknya.

Karena itu dikatakan limit dari ½ + ¼ + 1/8 + 1/16 + 1/32 . . . adalah sama dengan 1.
Secara umum, penjumlahan ini ditulis sebagai berikut:
Lim (½ + ¼ + 1/8 + 1/16 + 1/32 . . . )
n.8
Lim ½ +( ½)2 + (1/2)3 + . . . + (1/2)n = 1
n.8
(Dan dibaca: “limit dari ½ + ¼ + 1/8 + 1/16 + 1/32 . . . untuk n menuju 8 adalah = 1

11. Soal:
1. Tentukan jumlah deret berikut:
a. 3/5 + 3/25 + 3/125 + .....
b. 2/7 + 2/49 + 2/343 + ....
2. Tuliskan pecahan berulang berikut ini sebagai pecahan biasa.
a. 1, 35353535 . . .
b. 0. 13131313 . . . .

Daftar Pustaka
Freudenthal. H. (1973). Mathematics as an Educational Task. Dalam van den Heuvel
Panhuizen (1996). Assessment and Realistic Mathematics Education. Freudenthal
Institution. Utrecht.
Gravemeijer, K.P.E (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Feudenthal
Institution, Utrecht.
NCTM (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, Virginia

Tidak ada komentar: