Jumat, 28 November 2008

MENGAJAR (MENYENANGI) MATEMATIKA

Mengajar (Menyenangi) Matematika
Oleh R. POPY YANIAWATI

STUDI The Third International Mathematic and Science Study Repeat (TIMSS-R) pada tahun 1999 menyebutkan bahwa di antara 38 negara, prestasi siswa SMP Indonesia berada pada urutan 34 untuk matematika. Sementara raihan nilai matematika pada ujian negara, pada semua tingkat dan jenjang pendidikan selalu terpaku pada angka yang rendah pula.

Keadaan ini sangat ironis dengan kedudukan dan peran matematika untuk pengembangan ilmu dan pengetahuan, mengingat matematika merupakan induk ilmu pengetahuan. Matematika saat ini belum menjadi pelajaran yang difavoritkan. Alih-alih difavoritkan, mata pelajaran ini kerap dianggap momok bagi sebagian besar peserta didik.
Tugas pendidik matematika menjadi ganda. Pertama, bagaimana materi ajar sampai kepada peserta didik sesuai dengan standar kurikulum. Kedua, bagaimana proses pembelajaran berlangsung dengan pelibatan peserta didik secara penuh, dalam artian proses pembelajaran yang berlangsung dapat berjalan dengan menyenangkan. Sebuah tantangan bagi pendidik matematika untuk senantiasa berpikir dan bertindak kreatif di tengah kegetiran nasib guru. Namun, penulis yakin masih banyak pendidik yang menanggapi kegetiran hidup dengan sikap optimistik dan penuh tanggung jawab terhadap tugas dan kewajiban sebagai pendidik.
Masalah pada tahap pertama, yakni menyampaikan materi sesuai tuntutan standar kurikulum saja masih menjadi masalah. Pembelajaran umum matematika, yang dirumuskan oleh National Council of Teachers of Matematics atau NCTM (2000) menggariskan, peserta didik harus mempelajari matematika melalui pemahaman dan aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya.
Untuk mewujudkan hal itu, dirumuskan lima tujuan umum pembelajaran matematika, yaitu: pertama, belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication); kedua, belajar untuk bernalar (mathematical reasoning); ketiga, belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving); keempat, belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connections); dan kelima, pembentukan sikap positif terhadap matematika (positive attitudes toward mathematics). Semua itu lazim disebut mathematical power (daya matematika).

Guiding Principles Mathematics Curriculum Framework Achieving Mathematical Power (Department of Education, 1996) mengungkapkan bahwa proses pengembangan mathematical power merupakan sebuah proses yang kompleks. Dalam arti, peserta didik belajar matematika tidak hanya bergantung pada "apa" yang diajarkan, tapi juga bergantung pada "bagaimana" matematika itu diajarkan, atau bagaimana peserta didik belajar.
Masalah pada tahap kedua, menetapkan model pembelajaran yang efektif. Pada dasarnya atmosfer pembelajaran merupakan hasil sinergi dari tiga komponen pembelajaran utama, yakni siswa, kompetensi guru, dan fasilitas pembelajaran. Ketiga prasyarat dimaksud pada akhirnya bermuara pada area proses dan model pembelajaran. Model pembelajaran yang efektif dalam pembelajaran matematika antara lain memiliki nilai relevansi dengan pencapaian daya matematika dan memberi peluang untuk bangkitnya kreativitas guru. Kemudian berpotensi mengembangkan suasana belajar mandiri selain dapat menarik perhatian siswa dan sejauh mungkin memanfaatkan momentum kemajuan teknologi khususnya dengan mengoptimalkan fungsi teknologi informasi.


”E-learning” sebuah alternatif

Thompson, dkk. (2000) menyatakan, "E-learning is instructional content or learning experiences delivered or enabled by electronic technology." Pemanfaatan teknologi elektronik dalam pembelajaran memberi penguatan terhadap pola perubahan paradigma pembelajaran. Sistem e-learning merupakan bentuk implementasi pembelajaran yang memanfaatkan teknologi dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Dengan arti, pembelajaran ini dapat dilakukan baik dengan synchronous maupun asynchronous. Synchronous adalah pembelajaran yang dilakukan dalam waktu yang sama, sedangkan asynchronous pembelajaran yang dilakukan dalam waktu yang berbeda.
Beberapa negera menyelenggarakan kegiatan e-learning sebagai suplemen terhadap materi pelajaran yang disajikan secara reguler di kelas (Wildavsky, 2001; Lewis, 2002). Akan tetapi, e-learning dapat juga dilaksanakan sebagai alternatif belajar. Karena satu dan lain hal, peserta didik berhalangan mengikuti perkuliahan secara tatap muka. Sehubungan dengan hal terakhir, e-learning berfungsi sebagai option (pilihan) bagi peserta didik.

Kemungkinan untuk menerapkan e-learning masih membutuhkan proses yang agak panjang. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), hanya 30% mahasiswa yang mengetahui mengenai e-learning. Sementara di sisi makro, hambatan infrastruktur berdampak pada perilaku berteknologi di lingkungan generasi muda.

Walaupun dalam satu dasa -warsa terakhir infrastruktur mulai berkembang, dengan ditandai meningkatnya jumlah pelanggan dan pengguna internet yang cukup berarti. Akan tetapi, bila dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Singapura, Hong Kong, Korea Selatan, Malaysia, dan Thailand, Indonesia masih ketinggalan. Singapura angka pelanggan internet mencapai 47,4% dari jumlah rumah tangga, sementara di Taiwan dan Hong Kong masing-masing mencapai 40% dan 26,7%. Di Indonesia sampai tahun 2001 pelanggan baru tercatat 1.680.000 orang, bandingkan dengan jumlah kepala keluarga yang ada, yakni sekira 50 juta KK (Wahana Komputer, 2003).


Hasil studi

Dari hasil studi yang dilakukan di dua LPTK yang berbeda, terdapat perbedaan penguasaan daya matematika antara mahasiswa calon guru yang belajarnya melalui pembelajaran e-learning (full and blanded) dengan pembelajaran konvensional. Daya matematika mahasiswa yang melalui e-learning lebih baik bila dibandingkan dengan pembelajaran model konvensional walaupun penguasaan daya matematika mahasiswa masih belum mencapai hasil yang optimal. Dalam arti, belum mencapai ketuntasan belajar saat menyelesaikan soal-soal daya matematika, khususnya aspek penalaran (deduksi) dan pembuktian suatu teorema. Namun sikap mahasiswa terhadap e-learning matematika terbukti positif. Malah pada kelompok di LPTK pengontrol pun, sikap mahasiswa justru lebih positif.
Secara parsial, sikap mahasiswa yang mengikuti e-learning secara penuh lebih baik daripada mahasiswa yang melalui pembelajaran campuran (blanded learning). Ini mengindikasikan model belajar ini memiliki daya tarik tersendiri dan berpotensi meningkatkan minat belajar matematika di kalangan peserta didik.
Temuan lain, mahasiswa aktif menggunakan forum diskusi dan bertanya pada dosen lewat e-mail. Fasilitas-fasilitas yang ada pada website dan dengan adanya feedback membuat mahasiswa termotivasi untuk mengikuti pembelajaran. Saat mengerjakan kuis, mahasiswa termotivasi untuk mencoba berulang-ulang sampai mendapatkan jawaban yang benar. Akan tetapi, fasilitas website yang dirasakan kurang optimal penggunaannya adalah chatting. Mahasiswa merasa sulit menemukan waktu yang cocok untuk berkomunikasi dengan dosennya secara langsung untuk ber-chatting.
Penentuan model pembelajaran matematika merupakan kunci awal sebagai usaha dosen meningkatkan daya matematika mahasiswa. Model pembelajaran yang variatif dan menyediakan banyak pilihan belajar memungkinkan munculnya potensi mahasiswa. Karena dengan demikian mahasiswa diberi kemungkinan berkembang sesuai dengan kapasitas, gaya belajar, maupun pengalaman belajarnya. Kreativitas dan analisis dosen di dalam mendesain serta menelaah kecenderungan karakter belajar mahasiswa mutlak diperlukan. Selain itu, mempersiapkan mahasiswa melalui pengayaan pengetahuan awal merupakan usaha penting lainnya yang harus dilakukan saat dosen menentukan model pembelajaran yang akan dipilih dalam usaha meningkatkan daya matematika mahasiswa.
Proses pembelajaran yang didesain sedemikian rupa dalam e-learning cenderung menyebabkan kelompok mahasiswa yang memiliki dasar kapasitas awal relatif baik, lebih terlihat pengembangan daya matematikanya. Walaupun demikian peran dosen belum sepenuhnya dapat digantikan oleh teknologi, dalam artian e-learning berperan sebagai suplemen (tambahan). Hal itu membuktikan dua hal, yakni pertama, teknologi masih belum bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan pembelajaran yang membutuhkan proses berpikir abstraktif, kedua hal itu dapat dipahami sebagai persoalan budaya belajar. Namun bila mengacu pada pendapat Kamarga (2002) bahwa e-learning dapat dimanfaatkan dan dikembangkan dalam membentuk budaya belajar baru yang lebih modern, demokratis dan mendidik. Maka, ada harapan di masa datang, budaya paternalistik dalam belajar dapat berubah secara gradual. Selamat mencoba.***


Penulis, Dosen Jurusan Pend. Matematika FKIP Unpas, Doktor Pendidikan Matematika UPI.

Tidak ada komentar: