MODEL KURIKULUM PENDIDIKAN
YANG MENERAPKAN VISI SETS
(SCIENCE, ENVIRONMENT, TECHNOLOGY, AND SOCIETY)
PUSAT KURIKULUM
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
Jakarta, 2007
Bab I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan kehidupan di masyarakat menuntut diberlakukannya pendidikan secara
lebih terstruktur yang memungkinkan dihasilkannya lulusan yang sesuai dengan
kebutuhan di masyarakat tersebut. Aktivtas pembelajaran di sekolah sebagai wujud nyata
penterjemahan sistem pendidikan di sekolah pada umumnya dan di kelas pada khususnya
seharusnya tidak mengkotak-kotakan secara kaku berbagai bahan kajian melalui mata
pelajaran-mata pelajaran. Hal ini dimaksudkan agar hasil belajar di sekolah terasakan
manfaatnya baik bagi peserta didik langsung maupun bagi masyarakat seeara luas. Standar
Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang dituangkan di dalam standar isi untuk
mata pelajaran yang terpisah-pisah sebaiknya dimaknai bahwa pencapaiannya dapat
ditempuh melalui pengintegrasian SK dan KD beberapa mata pelajaran ke dalam satu
wadah pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang bisa ditempuh adalah melalui
model pembelajaran sain, lingkungan, teknologi dan masyarakat (SETS).
Perkembangan sain dan teknologi serta dampaknya pada lingkungan dan masyarakat,
menjadi semakin tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Mengingat keterkaitan
yang sangat erat antara lingkungan, teknologi, dan masyarakat dengan sain, maka sangat
dimungkinkan untuk menggunakan keterkaitan tersebut sebagai cara pandang atau visi
kita dalam melihat sesuatu. Oleh karena itu meniadakan keterkaitan keempat unsur
tersebut menjadi tidak relevan dalam konteks pendidikan masa kini. Untuk mewujudkan
proses pembelajaran yang mengembangkan konsep sain, dengan memperhatikan
penggunaanya pada teknologi, dan dampaknya bagi lingkungan dan masyarakat, maka
dikembangkanlah pendekatan Science, Environment, Technology, and Society (SETS)
sebagai pilihan dalam proses pembelajaran yang ada. Selain memberi peluang kepada
peserta didik untuk belajar secara kontekstual, pendekatan ini juga memberi peluang
dikembangkannya life skills pada diri peserta didik. Oleh karena itu, sangat relevan jika
visi serta pendekatan SETS digunakan dalam pembelajaran di sekolah.
Sebagai visi, secara sengaja kita membawa pemikiran para peserta didik tentang
keberadaan keempat unsur Salingtemas (SETS) serta berbagai implikasi yang terkandung
atau tercakup di dalamnya ketika mereka ”melihat” sesuatu. Dari sana diharapkan peserta
didik dapat menghasilkan pemikiran atau gagasan-gagasan baru (inovatif) yang dapat
dihasilkan dari hasil ”penglihatan” itu sesuai dengan kemampuan mereka di jenjang usia
atau jenjang pendidikan yang mereka lewati dengan memadukan berbagai macam
pengalaman hidup mereka.
Sebagai pendekatan, Salingtemas (SETS) merupakan cara pembelajaran bersifat terpadu
yang melibatkan unsur sain, teknologi, lingkungan, dan masyarakat. Pendekatan ini
memadukan pemikiran SETS (Science, Environment, Technology and Society) dan EE
(Environment Education) dengan memberi filosofi baru di dalamnya. Dengan pendekatan
ini, peserta didik dikondisikan agar mau dan mampu mengetahui, memahami prinsip sain
untuk menghasilkan karya teknologi (sederhana atau yang lebih rumit tergantung jenjang
pendidikannya) disertai dengan pemikiran untuk mengurangi atau mencegah
kemungkinan dampak negatif yang mungkin timbul dari munculnya suatu produk
teknologi terhadap lingkungan dan masyarakat.
Pembelajaran yang menggunakan visi dan pendekatan SETS memandang kurikulum
dalam konteks interdisiplin dengan perspektif personal dan sosial. Selain itu,
pembelajaran dengan visi dan pendekatan ini berupaya membangun pengetahuan,
keterampilan, dan kualitas yang efektif supaya dapat bertindak secara bertanggung jawab
dalam mengambil keputusan atas isu-isu sain dan teknologi terkait masalah sosial.
B. Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk menyediakan model kurikulum pendidikan yang
menerapkan visi SETS agar dapat membantu guru dan tenaga kependidikan yang lain
dalam mengembangkan kurikulum mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian
yang mengacu pada standar isi dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan kondisi
dan kebutuhan peserta didik, daerah, dan satuan pendidikan masing-masing.
C. Ruang Lingkup
Secara umum ruang lingkup mencakup jenjang pendidikan menengah untuk beberapa
mata pelajaran (Agama Islam, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa
Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Geografi, Ekonomi, Sosiologi, dan Seni
Budaya), dengan daerah uji coba di Semarang – Jawa Tengah, Makassar – Sulawesi
Selatan, dan Imogiri - DI Yogyakarta. Pelaksanaan kegiatan ini melibatkan guru, ahli
dari perguruan tinggi, Dinas Pendidikan, dan Pusat Kurikulum.
BAB II. LANDASAN
A. Landasan Yuridis
1. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
a. Pasal 1 ayat (19) Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
b. Pasal 18 ayat (1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Ayat
(2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan
menengah kejuruan. Ayat (3) Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah
atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan
madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. Ayat (4)
Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
c. Pasal 35 ayat (2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan
pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan,
dan pembiayaan.
d. Pasal 36 ayat (1). Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional; ayat (2).
Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik, dan
ayat (3). Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a) peningkatan iman
dan takwa b) peningkatan akhlak mulia c) peningkatan potensi, kecerdasan, dan
minat peserta didik; d) keragaman potensi daerah dan lingkungan; e) tuntutan
pembangunan daerah dan nasional; f) tuntutan dunia kerja; g) perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni; h) agama; i) dinamika perkembangan global; dan j)
persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Ayat (4) Ketentuan mengenai
pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
e. Pasal 37 ayat (1). Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a)
pendidikan agama; b) pendidikan kewarganegaran; c) bahasa; d) matematika; e) ilmu
pengetahuan alam; f) ilmu pengetahuan social; g) seni dan budaya; h) pendidikan
jasmani dan olahraga; i) keterampilan/kejuruan; dan j) muatan lokal.
f. Pasal 38 ayat (1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan
menengah ditetapkan oleh Pemerintah; Ayat (2) Kurikulum pendidikan dasar dan
menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau
satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi
dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan
dasar dan propinsi untuk pendidikan menengah.
2. Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 14 ayat (f) yang
berbunyi bahwa guru memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut
menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai
dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
3. Undang-undang No.23/2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 yang menyebutkan
“Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya” juga menjadi landasan hukum yang sangat penting bagi pengembangan
model pembelajaran bervisi dan berpendekatan Salingtemas.
4. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
a. Pasal 1 ayat (5) Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang
dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian,
kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh
peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu, (13) Kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta
cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu, (14 Kerangka dasar kurikulum adalah ramburambu
yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini untuk dijadikan pedoman
dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya pada setiap
satuan pendidikan, (15) Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum
operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.
b. Pasal 5 ayat (1) Standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk
mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Ayat (2).
Standar isi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kerangka dasar dan struktur
kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender
pendidikan/akademik.
c. Pasal 6 ayat (1) Kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: a) kelompok mata pelajaran
agama dan akhlak mulia; b) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan
kepribadian; c) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; d)
kelompok mata pelajaran estetika; serta e) kelompok mata pelajaran jasmani, olah
raga, dan kesehatan.
d. Pasal 7 ayat (1) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada
SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/ Paket C,
SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau
kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi,
estetika, jasmani, olah raga, dan kesehatan. Ayat (2) Kelompok mata pelajaran
kewarganegaraan dan kepribadian pada SD/MI/SDLB/Paket A,
SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/ Paket C, SMK/MAK, atau bentuk
lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, akhlak
mulia, kewarganegaraan, bahasa, seni dan budaya, dan pendidikan jasmani. Ayat (3)
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SD/MI/ SDLB/Paket
A, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan
bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial,
keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal yang relevan. Ayat (4) Kelompok mata
pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMP/MTs/SMPLB/Paket B, atau
bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa,
matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan,
dan/atau teknologi informasi dan komunikasi, serta muatan lokal yang relevan. Ayat
(5) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada
SMA/MA/SMALB/Paket C, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui
muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu
pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, teknologi informasi dan komunikasi,
serta muatan lokal yang relevan. Ayat (6) Kelompok mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi pada SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat
dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu
pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan, kejuruan, teknologi
informasi dan komunikasi, serta muatan lokal yang relevan. Ayat (7) Kelompok
mata pelajaran estetika pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B,
SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/ MAK, atau bentuk lain yang sederajat
dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, seni dan budaya,
keterampilan, dan muatan lokal yang relevan. Ayat (8) Kelompok mata pelajaran
jasmani, olah raga, dan kesehatan pada SD/MI/SDLB/ Paket A,
SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/ Paket C, SMK/MAK, atau bentuk
lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan pendidikan
jasmani, olahraga, pendidikan kesehatan, ilmu pengetahuan alam, dan muatan lokal
yang relevan.
e. Pasal 7 ayat (5) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada
SMA/MA/SMALB/Paket C, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui
muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu
pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, teknologi informasi dan komunikasi,
serta muatan lokal yang relevan.
f. Pasal 10 ayat (1) Beban belajar untuk SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB,
SMA/MA/SMLB, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat menggunakan jam
pembelajaran setiap minggu setiap semester dengan sistem tatap muka, penugasan
terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur, sesuai kebutuhan dan ciri khas
masing-masing. Ayat (3) Ketentuan mengenai beban belajar, jam pembelajaran,
waktu efektif tatap muka, dan persentase beban belajar setiap kelompok mata
pelajaran ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan BSNP.
g. Pasal 13 ayat (1) Kurikulum untuk SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang
sederajat, SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat, SMK/MAK atau
bentuk lain yang sederajat dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup. Ayat (3)
Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat
merupakan bagian dari pendidikan kelompok mata pelajaran agama dan akhlak
mulia, pendidikan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian,
pendidikan kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, kelompok
mata pelajaran pendidikan estetika, atau kelompok mata pelajaran pendidikan
jasmani, olah raga, dan kesehatan. Ayat (4) Pendidikan kecakapan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), dan (3) dapat diperoleh peserta didik dari
satuan pendidikan yang bersangkutan atau dari satuan pendidikan nonformal yang
sudah memperoleh akreditasi.
h. Pasal 14 ayat (1) Kurikulum untuk SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang
sederajat dan kurikulum untuk SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat
dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal. Ayat (2) Pendidikan
berbasis keunggulan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat merupakan
bagian dari pendidikan kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia,
pendidikan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, pendidikan
kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan kelompok
mata pelajaran estetika, atau kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olah raga,
dan kesehatan. Ayat (3) Pendidikan berbasis keunggulan lokal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan
yang bersangkutan atau dari satuan pendidikan nonformal yang sudah memperoleh
akreditasi.
i. Pasal 16 ayat (1) Penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan jenjang
pendidikan dasar dan menengah berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP.
Ayat (2) Panduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi sekurang-kurangnya:
a. Model-model kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk SD/MI/
SDLB/SMP/MTs/SMPLB/SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK pada jalur
pendidikan formal kategori standar; b. Model-model kurikulum tingkat satuan
pendidikan untuk SD/MI/ SDLB/SMP/MTs/SMPLB/SMA/MA/SMALB, dan
SMK/MAK pada jalur pendidikan formal kategori mandiri; Ayat (3 Penyusunan
kurikulum pada tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah
keagamaan berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP. Ayat (4) Panduan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berisi sekurang-kurangnya model-model
kurikulum satuan pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Ayat (5) Model-model kurikulum tingkat satuan pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan (4) sekurang-kurangnya meliputi model kurikulum tingkat satuan
pendidikan apabila menggunakan sistem paket dan model kurikulum tingkat satuan
pendidikan apabila menggunakan sistem kredit semester.
j. Pasal 17 ayat (1) Kurikulum tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB,
SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/MALB, SMA/SMK/MA, atau bentuk lain yang
sederajat dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi
daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik.
Ayat (2) Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah,
mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan
kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, dibawah supervisi dinas
kabupaten/kota yang bertanggung jawab dibidang pendidikan untuk SD, SMP, SMA,
dan SMK, dan departemen yang menangani urusan pemerintahan dibidang agama
untuk MI, MTs, MA, dan MAK;
k. Pasal 19 ayat (1) Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas,
dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis
peserta didik. Ayat (3) Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses
pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan
pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang
efektif dan efisien.
l. Pasal 20 Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar,
metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.
m. Pasal 42 ayat (1) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi
perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya,
bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
n. Pasal 43 ayat (1): Standar keragaman jenis peralatan laboratorium ilmu pengetahuan
alam (IPA), laboratorium bahasa, laboratorium komputer, dan peralatan pembelajaran
lain pada satuan pendidikan dinyatakan dalam daftar yang berisi jenis minimal
peralatan yang harus tersedia. Ayat (5) Kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan
kegrafikaan buku teks pelajaran dinilai oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan
Menteri.
5. Peraturan Menteri No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah
6. Peraturan Menteri No. 23 tahun 2006 tentang Standak Kompetensi Lulusan untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, tak terhindarkan bahwa unit pelaksana pendidikan
memiliki kewajiban untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan standar isi,
kompetensi dan penilaian yang ditetapkan pemerintah. Pengembangan model
pembelajaran bervisi dan berpendekatan Salingtemas seperti model pembelajaran lainnya
dengan implementasi serta evaluasinya ditingkat satuan pendidikan juga harus
menyesuaikan dengan standar yang ditetapkan BSNP sebagai lembaga mandiri yang
dibentuk pemerintah.
B. Landasan Filosofis
Pembelajaran dengan menerapkan visi SETS memliki landasan sebagai berikut:
1. Memandang kurikulum (materi pembelajaran) secara interdisipliner
2. Membangun pengetahuan dan keterampilan peserta didik supaya dapat bertindak
secara bertanggung jawab dalam mengambil keputusan (sikap positif) atas isu-isu
sosial dan lingkungan yang terkait dengan konsep sain dan teknologi.
3. Merupakan proses yang diarahkan untuk membangun empat fondasi literasi sain dan
teknologi, yaitu:
a. Fondasi SETS
Membangun pemahaman tentang hakekat sain dan teknologi, keterkaitan sain dan
teknologi, serta konteks sosial dan lingkungan dari sain dan teknologi.
b. Fondasi pengetahuan
Membangun pengetahuan dan pemahaman tentang sain dan menerapkan
pemahaman ini untuk menginterpretasi, mengintegrasikan, dan mengembangkan
pengetahuan.
c. Fondasi keterampilan
Membangun keterampilan yang diperlukan untuk melakukan inquiry sain dan
teknologi, mengkomunikasikan ide dan hasil saintifik, bekerja sama, dan
mengambil keputusan
d. Fondasi sikap/nilai sosial
Membangun sikap yang bertanggung jawab dalam menerapkan sain dan teknologi
menjadi produk yang menguntungkan bagi diri sendiri, masyarakat, dan lingkungan
C. Landasan Teoritik
1. Hakikat sain, lingkungan, teknologi, dan masyarakat (SETS)
Science, Environment, Technology, and Society (SETS) mengandung makna tertentu.
Akronim SETS, bila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia akan memiliki kepanjangan
Sain, Lingkungan, Teknologi, dan Masyarakat. SETS diturunkan dengan landasan
filosofis yang mencerminkan kesatuan unsur SETS dengan mengingat urutan unsurunsur
SETS dalam susunan akronim tersebut. Dalam konteks pendidikan SETS atau
bervisi SETS, urutan ringkasan SETS membawa pesan bahwa untuk menggunakan sain
(S-pertama) ke bentuk teknologi (T) dalam memenuhi kebutuhan masyarakat (S-kedua)
diperlukan pemikiran tentang berbagai implikasinya pada lingkungan (E) secara fisik
maupun mental. Dari sana, diharapkan akan diperoleh pemikiran penghasilan teknologi
dari transformasi sain, tanpa harus merusak atau merugikan lingkungan dan masyarakat.
Selanjutnya, kesalingterkaitan antar unsur SETS itu menandai bahwa masing-masing
unsur itu saling mempengaruhi dalam proses perkembangannya masing-masing.
Selanjutnya landasan filosofis tersebut dipakai sebagai dasar pengembangan konsep
pendidikan bervisi dan pendekatan SETS atau yang bervisi SETS itu sendiri dalam
implementasinya untuk ikut berperan dalam sistem pendidikan, di mana saja dia
diadopsi.
Pada istilah SETS terkandung empat kata kunci, yaitu sain, lingkungan, teknologi, dan
masyarakat. Karena itu, paradigma pendekatan SETS dalam pembelajaran sain pada
hakikatnya dapat ditinjau dari asumsi dasar pengertian sain, lingkungan, teknologi, dan
masyarakat, interaksi antar keempatnya serta keterkaitannya dengan tujuan-tujuan
pendidikan.
2. Visi, Misi, dan Tujuan Pembelajaran dengan Pendekatan SETS
Visi dan pendekatan SETS sekurang-kurangnya dapat membuka wawasan peserta didik
untuk memahami hakikat SETS secara utuh. Maksudnya ialah bahwa visi dan
pendekatan SETS ditujukan untuk membantu peserta didik mengetahui sain dan
bagaimana perkembangan sain dapat mempengaruhi lingkungan, teknologi, dan
masyarakat secara timbal balik.
Ada dua visi dan tujuan pendekatan SETS dalam pendidikan seperti dikutip oleh
Pedersen dari tulisan NSTA, yaitu: (1) SETS melibatkan peserta didik dalam
pengalaman dan isu-isu/masalah-masalah yang berhubungan langsung dengan
kehidupan mereka; dan (2) SETS memberdayakan peserta didik dengan berbagai
keterampilan sehingga mereka menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan lebih
aktif merespons isu/masalah-masalah yang mempengaruhi kehidupan mereka (Pedersen,
1992:26). Program SETS telah menjadi suatu gerakan dalam pendidikan sain di negaranegara
yang telah maju, bertujuan mengintegrasikan sain, lingkungan, dan teknologi
dengan kehidupan masyarakat (Yager & Roy, 1993:7).
Sementara dalam Diwa Learning System (Gregorio, 1991:37) dinyatakan bahwa: (1)
SETS merupakan suatu perubahan penekanan dalam pengajaran sain di sekolah, dan
bukan evolusi dalam pengajaran sain; (2) tujuannya adalah humanisasi pengajaran sain
dengan menempatkannya dalam konteks sosial dan teknologi, dan bukan memandang
sain sebagai tujuan yang terlepas dari atau di luar pengalaman sehari-hari; (3) SETS
merupakan suatu pendekatan pembelajaran untuk sain yang disesuaikan dengan
kecakapan kelompok, dan bukan melemahkan atau menghambat perkembangan sain; (4)
SETS merupakan suatu program atau kurikulum sain, dan bukan sain itu sendiri; dan (5)
SETS merupakan pendekatan interdisipliner dan multidisipliner, dan bukan suatu
disiplin atau ruang lingkup pelajaran. Berhubungan dengan visi dan tujuan-tujuan
Pendekatan SETS, Gregorio (1991:40) mengungkapkannya dengan suatu kalimat yang
diletakkan di antara dua tanda kutip, yakni "Give a man a fish, and he will survive for a
day, but teach him how to culture fish, and he will survive a lifetime". Sedangkan Yager
(1993:13) menyatakan bahwa salah satu tujuan pokok dari pendekatan SETS adalah
mengaktifkan peserta didik dalam kegiatan pemecahan isu-isu/masalah-masalah yang
telah diidentifikasi. Demikian halnya Gregorio (1991:39) menyatakan bahwa dalam
pembelajaran sain dengan Pendekatan SETS, peserta didik diikutsertakan dalam
aktivitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Sementara (Gregorio,
1991:37) menyatakan bahwa isu-isu sosial dapat digunakan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan-tujuan dalam pembelajaran sain yang didasarkan pada aspek-aspek
sosial dari sain. Sejalan dengan pernyataan Heath (Heath, 1992:55) bahwa isu-isu atau
masalah-masalah dalam masyarakat dapat menjadi suatu basis pembelajaran dengan
pendekatan SETS sekaligus sebagai "perekat" yang membolehkan integrasi belajar dan
mengajar lintas disiplin ilmu dalam upaya membantu peserta didik dan warga negara
untuk menyadari dan memahami adanya interaksi antara sain, lingkungan, teknologi,
dan masyarakat.
Tujuan utama pendidikan dengan Pendekatan SETS adalah mempersiapkan peserta
didik menjadi wagra negara dan warga masyarakat yang memiliki suatu kemampuan
dan kesadaran untuk:
• menyelidiki, menganalisis, memahami dan menerapkan konsep-konsep/prinsipprinsip
dan proses sain dan teknologi pada situasi nyata
• melakukan perubahan
• membuat keputusan-keputusan yang tepat dan mendasar tentang isu/masalah-masalah
yang sedang dihadapi yang memiliki komponen sain dan teknologi
• merencanakan kegiatan-kegiatan baik secara individu maupun kelompok dalam
rangka pengambilan tindakan dan pemecahan isu-isu atau masalah-masalah yang
sedang dihadapi
• bertanggung jawab terhadap pengambilan keputusan dan tindakannya
• mempersiapkan peserta didik untuk menggunakan sain bagi pengembangan hidup
dan mengikuti perkembangan dunia teknologi,
• mengajar para peserta didik untuk mengambil tanggung jawab dengan isu-isu
lingkungan, teknologi, atau masyarakat
• mengidentifikasi pengetahuan fundamental sehingga peserta didik secara tuntas
memperoleh kepandaian dengan isu-isu SETS
Dengan demikian, ada beberapa aspek yang perlu mendapat penekanan dan
dipresentasikan secara proporsional dan terintegrasi dalam pembelajaran sain di sekolah
dengan pendekatan SETS, yaitu: kemampuan peserta didik mengajukan pertanyaanpertanyaan
kepada alam dan menemukan jawabannya; kemampuan peserta didik
mengidentifikasi isu/masalah-masalah yang sedang dihadapi masyarakat dan berupaya
memecahkannya; penguasaan pengetahuan ilmiah (sain) dan keterampilan (teknologi)
dan berupaya menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari; mempertimbangkan nilainilai
dan konteks sosial budaya masyarakat; dan pengembangan sikap, nilai-nilai sosial
budaya lokal, personal, dan global.
3. Pembelajaran dengan Pendekatan SETS
Pembelajaran dengan pendekatan SETS dapat dipandang sebagai turunan dari konsep
pendidikan STS (Science, Technology, Society), STL (Science, Technology, Literacy)
dan EE (Environment Education). SETS merupakan pembelajaran yang mengaitkan
antara sain dan teknologi serta manfaatnya bagi masyarakat. STL merupakan
pembelajaran yang menitikberatkan pada kemampuan literasi sain dan teknologi, ini
berarti dalam pembelajaran peserta didik tidak hanya dituntut untuk mampu memahami
sain dan teknologi tetapi menyadari dan peduli atas dampaknya terhadap lingkungan
sosial maupun alam. Dengan demikian, pembelajaran STS dan STL ini bertujuan untuk
membentuk individu yang memiliki literasi sain dan teknologi serta memiliki kepedulian
terhadap masalah masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan EE adalah pendidikan
yang membawa setiap orang pada seluruh proses pembelajaran, dari mulai tahap
mengetahui sampai tahap aksi dan evaluasi yang didapatkan melalui pembelajaran dan
pengalaman langsung (konkret) di lingkungan sebenarnya. Hasil akhir dari EE adalah
adanya perubahan pola pikir dan perilaku dari setiap orang dalam memandang
lingkungan hidup di sekitarnya yang diwujudkan melalui aksi (tindakan) konkret. Dalam
pendekatan SETS, konsep pendidikan STS, STL, dan EE dipandang sebagai satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Pendekatan SETS adalah belajar dan mengajarkan sain dan teknologi dalam konteks
pengalaman manusia. Pendekatan SETS cocok untuk mengintegrasikan domain konsep,
keterampilan proses, kreativitas, sikap, nilai-nilai, penerapan, dan keterkaitan antar
bidang studi (kurikulum) dalam pembelajaran dan penilaian pendidikan. Jadi,
pembelajaran dengan pendekatan SETS menekankan pada konteks pembelajaran dan
beraneka ragam hasil belajar.
Pendekatan SETS sebagai gerakan reformasi dalam pendidikan sain, diarahkan untuk
literasi ilmiah (sain) dan teknologi untuk semua (scientific and technological literacy for
all) sebagai megaproyek yang mendunia tahun 2000+ (UNESCO, 1993; ICASE, 1993,
1994a, 1994b). Melek sain dan teknologi merupakan salah satu syarat bagi seseorang
untuk dapat hidup dan bekerja, serta mampu membuat keputusan-keputusan yang tepat
dan dapat melakukan tindakan-tindakan pribadi dan sosial yang bertanggung jawab
(Hidayat, 1997:10; 1996:14). Karena itu, pendidikan sain di sekolah juga memiliki
tanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai dan kesadaran akan tanggung jawab
pribadi dan sosial pada peserta didik sebagai warga negara dan warga masyarakat.
Menurut Merryfield (1991:289), dalam perspektif dunia global, pembelajaran dengan
pendekatan SETS merupakan kerangka kerja untuk mengajar dan membiasakan peserta
didik berpikir global dan bertindak secara lokal. Artinya, pembelajaran sain di sekolah
tidak dapat dipisahkan dari isu-isu atau masalah teknologi dan masyarakat. Teknologi
merupakan bagian integral dari kehidupan, dan karena itu harus menjadi bagian integral
dari sistem pendidikan (Maton, 1993:13). Dengan kata lain, upaya-upaya pembelajaran
sain dan teknologi tidak dapat dipisahkan dari konteks dan nilai-nilai sosial budaya
masyarakat lokal, regional, nasional, ataupun internasional, sehingga misi utama
pendidikan sain untuk ‘membentuk’ peserta didik sebagai warga negara dan warga
masyarakat yang melek sain dan teknologi serta berpikir global dan bertindak lokal
dapat terwujud.
Menempatkan pembelajaran sain dalam suatu konteks lingkungan dan kehidupan
masyarakat yang dikaitkan dengan teknologi akan membuat sain dan teknologi lebih
dekat dan relevan dengan kehidupan nyata semua peserta didik.
Secara mendasar dapat dikatakan bahwa melalui pendidikan bervisi SETS ini
diharapkan agar peserta didik akan memiliki kemampuan memandang sesuatu secara
terintegrasi dengan memperhatikan keempat unsur SETS, sehingga dapat diperoleh
pemahaman yang lebih mendalam tentang pengetahuan yang dimilikinya. Sebagai
konsekuensinya, diharapkan agar pengetahuan yang dipahaminya secara mendalam itu,
akan memungkinkan mereka memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki dalam
kehidupan dan untuk kehidupan setara dengan tingkat pendidikan yang diperolehnya
dalam upaya memperoleh kehidupan yang lebih baik dari masa sebelumnya. Secara
tidak langsung, hal ini menggambarkan arah pendekatan pembelajaran SETS yang
relatif memiliki kepedulian terhadap lingkungan kehidupan atau sistem kehidupan
(manusia) yang memuat juga unsur-unsur SETS selain lingkungan (E).
Dalam proses pembelajaran bervisi dan berpendekatan SETS, terdapat sejumlah ciri atau
karakteristik yang perlu dipahami di dalam penerapan pembelajaran, sesuai dengan
fokus pembelajarannya pada saat itu. Ciri-ciri tersebut di antaranya adalah:
• Tetap memberi pengajaran dan pembelajaran sain
• Isu-isu dan masalah-masalah dalam masyarakat dan kehidupan sehari-hari menjadi
titik awal (basis) atau ‘kendaraan’ pertama dan utama untuk mempelajari dan
menerapkan konsep-konsep/prinsip-prinsip dan proses sain dan teknologi dengan
mempertimbangkan perhatian, minat, atau kepentingan peserta didik
• Mengikutsertakan peserta didik dalam pengembangan sikap dan keterampilan dalam
pengambilan keputusan serta mendorong mereka untuk mempertimbangkan
informasi tentang isu-isu sain, lingkungan, dan teknologi
• Peserta didik dibawa ke situasi untuk memanfaatkan konsep sain ke bentuk teknologi
untuk kepentingan masyarakat.
• Peserta didik diminta untuk berpikir tentang berbagai kemungkinan akibat yang
terjadi dalam proses pentransferan sain tersebut ke bentuk teknologi.
• Peserta didik diminta untuk menjelaskan keterhubungkaitan antara unsur sain yang
dibincangkan dengan unsur-unsur lain dalam SETS yang mempengaruhi berbagai
keterkaitan antar unsur tersebut.
• Peserta didik dibawa untuk mempertimbangkan manfaat atau kerugian penggunaan
konsep sain tersebut bila diubah dalam bentuk teknologi berkenaan.
• Peserta didik dapat diajak berpikir, misalnya tentang pengaruh lingkungan atau
masyarakat terhadap pengembangan sain maupun teknologi tertentu, yang masih
berkaitan dengan konsep sain yang dibelajarkan.
• Dalam konteks konstruktivisme, peserta didik dapat diajak berbincang tentang SETS
dari berbagai macam arah dan dari berbagai macam titik awal tergantung
pengetahuan dasar yang dimiliki oleh peserta didik bersangkutan.
• Mengitegrasikan belajar dan pembelajaran dari banyak ruang lingkup kurikulum; dan
• Memperkembangkan literasi sain, teknologi dan sosial peserta didik (improved
students science, technology, and social literacy).
Pembelajaran sain yang bervisi SETS lebih menekankan pada isu/masalah-masalah yang
sedang dihadapi oleh masyarakat yang berhubungan dengan sain dan teknologi sebagai
titik awal mempelajari isi kurikulum, konsep-konsep/prinsip-prinsip dan keterampilan
proses dasar sain dan teknologi; dan/atau menggunakan/menerapkan konsepkonsep/
prinsip-prinsip dan keterampilan proses dasar sain dan teknologi dalam
merespons isu-isu/masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat di
lingkungannya. Di samping itu, pengembangan sikap, keterampilan pengambilan
keputusan, kreativitas, nilai-nilai pribadi dan sosial, literasi sain dan teknologi, dan
kemampuan peserta didik untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam
kehidupan sehari-hari adalah juga merupakan elemen-elemen penting dalam
pembelajaran sain dengan pendekatan SETS.
Pendekatan SETS bisa amat beragam, mulai dari yang mengangkat topik atau isu
sebagai payung pembelajaran lebih dari satu bidang, mulai dari Fisika, Kimia dan Ilmu
Sosial, atau penggunaan isu lingkungan untuk pembahasan satu bab saja dalam Kimia,
misalnya. Secara garis besar, berdasarkan cakupannya, kita bisa melakukan beragam
pendekatan SETS, antara lain:
• Menempatkan pembelajaran bab tertentu bidang tertentu dalam konteks sain,
teknologi dan masyarakat.
• Pendekatan SETS untuk pembelajaran lintas bab pada satu mata pelajaran.
• Pendekatan SETS untuk pembelajaran lintas mata pelajaran.
• Pendekatan SETS dengan perluasan tujuan instruksional secara eksplisit di luar
tuntutan standar kompetensi yang tertulis di kurikulum dari mata-mata pelajaran
yang terlibat dalam pembelajaran SETS tersebut, seperti kepekaan terhadap
permasalahan lingkungan, atau pengenalan dampak sain dan teknologi pada pranata
sosial, dan lain-lain.
• Pendekatan SETS yang disertai kerja nyata di masyarakat, seperti gerakan
penyelamatan lingkungan, dan lain-lain.
Pada pembelajaran materi tertentu dengan pendekatan SETS, guru memulai dengan
suatu topik dari lingkungan peserta didik yang berkaitan dengan materi tersebut. Untuk
pembelajaran lintas bab, tentunya perlu persiapan yang lebih matang pada pemilihan
topik dan penelusuran target kompetensi dasar yang bisa diikutsertakan lewat
pembelajaran di bawah payung topik itu.
Untuk pembelajaran lintas mata-pelajaran lewat pembelajaran berbasis SETS, diperlukan
koordinasi guru beberapa bidang yang relevan. Pendekatan ini akan berguna
sebagai wahana integrasi pengetahuan peserta didik. Pemahaman peserta didik terhadap
mata pelajaran tidak lagi terkotak-kotak, melainkan saling bertautan dan terpadu, yang
amat berguna bagi peserta didik dalam memahami realitas kehidupan.
Jika pembelajaran bervisi SETS diterapkan diharapkan memunculkan kompetensi lain di
luar kompetensi dasar yang tertulis dalam kurikulum saat ini, maka agar pencapaiannya
optimal diperlukan penyesuaian standar nasional (khususnya standar isi) agar dapat
mencakup semangat ini. Dalam hal ini, SETS tidak lagi sekedar metode pembelajaran,
melainkan paradigma baru yang diharapkan menjiwai keseluruhan kurikulum.
Dengan pendekatan ini, peserta didik dikondisikan agar mau dan mampu mengetahui,
memahami prinsip sain untuk menghasilkan karya teknologi sederhana disertai dengan
pemikiran untuk mengurangi atau mencegah kemungkinan dampak negatif yang
mungkin timbul dari munculnya suatu produk teknologi terhadap lingkungan dan
rnasyarakat.
Model pembelajaran yang bervisi dan pendekatan SETS, sebagai wahana untuk
mewujudkan Education Suistinable Development (ESD), perlu menitikberatkan pada:
a. Kajian secara transdisiplin dan holistik berbasis isu dan kasus domestik atau global
tentang keterkaitan sain, teknologi, masyarakat, dan lingkungan dalam konteks
pembangunan berkelanjutan.
b. Penumbuhan nilai, sikap, dan perilaku yang berpihak pada pembangunan
berkelanjutan.
c. Belajar aktif, kooperatif, dan praktikal (hands-on) sehingga pembelajaran
menyenangkan dan mengembangkan multi-kecerdasan peserta didik secara
keseluruhan.
d. Kesesuaian kedalaman dan keluasan materi pelajaran dengan tingkat perkembangan
kognitf, sosial dan fisik peserta didik.
e. Penilaian performasi peserta didik secara menyeluruh tidak hanya dimensi kognitif
saja.
4. Domain Pendekatan SETS
Menurut Yager & McCormack (Yager, 1996b:3-4; 1992b:5-6), ada enam domain utama
SETS untuk pengajaran dan penilaian, yaitu domain konsep, proses, kreativitas, sikap,
aplikasi, dan keterkaitan. Keenam domain tersebut selanjutnya dinyatakan dalam
Gambar 1.
Gambar 1. Enam Domain SETS untuk Pembelajaran dan Penilaian
Domain konsep meliputi fakta-fakta, konsep-konsep, hukum (prinsip-prinsip), serta
teori dan hipotesis yang digunakan oleh para saintis. Domain ini dapat juga disebut rana
pengetahuan ilmiah/sain atau aspek minds-on/brains-on dalam belajar sain (Glynn &
Duit, 1995; Butts & Hofman, 1993).
Domain proses meliputi aspek-aspek yang berhubungan dengan bagaimana para saintis
berpikir dan bekerja, misalnya melakukan observasi dan eksplanasi; pengklasifikasian
dan pengorganisasian data; pengukuran dan pembuatan grafik; pemahaman dan
berkomunikasi; penyimpulan dan prediksi; perumusan dan pengujian hipotesis;
identifikasi dan pengontrolan variabel; penginterpretasian data/informasi; pembuatan
instrumen dan alat-alat sederhana; serta pemodelan. Domain ini dapat dibedakan antara
keterampilan proses dasar (observasi, pengukuran, klasifikasi, prediksi, komunikasi, dan
inferensi) dan keterampilan proses terintegrasi (perumusan/pengujian hipotesis,
interpretasi data/informasi, dan pemodelan), atau aspek hands-on belajar sain (Rossman,
1993; Butts & Hofman, 1993; Hausfather, 1992; Pedersen, 1992; Alvarez, 1991;
Glasson, 1989).
Domain kreativitas meliputi: visualisasi-produksi gambaran mental; pengkombinasian
objek dan ide atau gagasan dalam cara baru; memberikan eksplanasi terhadap objek dan
peristiwa-peristiwa yang dijumpai; mengajukan pertanyaan; menghasilkan alternatif
atau menggunakan objek/ide yang luar biasa; menyelesaikan masalah dan hal-hal yang
membingungkan atau menjadi teka-teki; merancang alat; menghasilkan ide-ide yang
luar biasa; serta menguji alat baru untuk eksplanasi yang dibuat.
Domain sikap meliputi: pengembangan sikap positif terhadap guru-guru dan pelajaran
sain di sekolah, kepercayaan diri, motivasi, kepekaan, daya tanggap, rasa kasih sayang
sesama manusia, ekspresi perasaan pribadi, membuat keputusan tentang nilai-nilai
pribadi, serta membuat keputusan-keputusan tentang isu-isu lingkungan dan sosial.
Sejalan dengan pernyataan Alvarez (1991:80) bahwa sikap adalah perilaku yang
diadaptasi dan diterapkan pada situasi khusus, dapat berupa minat/perhatian, apresiasi,
suka, tidak suka, opini, nilai-nilai, dan ide-ide dari seseorang.
Dalam literatur sain dibedakan antara sikap terhadap sain dan sikap ilmiah (Shibeci,
1984; Aiken & Aiken, 1969; Gardner, 1975). Sikap terhadap sain dihubungkan dengan
reaksi emosional terhadap perhatian/minat peserta didik, kebingungan dan kesenangan
pada sain, perasaan, dan nilai-nilai dalam kelas. Sedangkan sikap ilmiah mencakup
karakter sifat ilmiah yang lainnya, seperti kejujuran, keterbukaan, dan keingintahuan
(Alvarez, 1991:80).
Domain aplikasi dan keterkaitan meliputi: melihat/menunjukkan contoh konsepkonsep
ilmiah dalam kehidupan sehari-hari; menerapkan konsep-konsep sain dan
keterampilan pada masalah-masalah teknologi sehari-hari; memahami prinsip-prinsip
ilmiah dan teknologi pada alat-alat teknologi yang ada dalam rumah tangga;
menggunakan proses ilmiah dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari; memahami dan mengevaluasi laporan media massa tentang
perkembangan ilmiah; membuat keputusan yang berhubungan dengan kesehatan
pribadi, nutrisi, dan gaya hidup yang didasarkan pada pengetahuan ilmiah; dan
mengintegrasikan sain dengan pelajaran lain.
D. Landasan Empiris
Kebutuhan atas keberadaan bimbingan lengkap termasuk pengadaan dokumen-dokumen
model yang dimaksud, yakni yang memungkinkan pelaksanaan pendidikan bervisi dan
berpendekatan SETS secara baik dan benar, sungguh-sungguh sangat diperlukan. Hal ini
dapat dilihat dari dua sisi. Sisi pertama adalah kebutuhan institusi pendidikan yang harus
membimbing serta membawa peserta didik dari titik keberangkatan para individu peserta
didik. Di sini, mereka diasumsikan masih tidak atau belum dapat melakukan sesuatu yang
dia inginkan, berdasarkan pengetahuan yang diperkenalkan kepada mereka, hingga
mampu melakukan sendiri tanpa bantuan pendidik. Yang kedua, dari sisi peserta didik
yang telah melewati fase pendidikan yang memerlukan dokumen-dokumen pendukung
yang dipersyaratkan agar menjadi lulusan dengan kualifikasi yang diharapkan. Apabila
digabungkan di antara kedua entitas di atas, keduanya akan bermuara pada ketersediaan
bahan-bahan rujukan pendukung secara mencukupi untuk dapat digunakan secara benar
oleh institusi pelaksana pendidikan bagi keperluan peserta didik sebanyak yang mereka
miliki pada institusi pendidikan tersebut.
Selama ini Pusat Kurikulum memiliki keterbatasan dalam pengadaan dokumen-dokumen
rujukan semacam itu agar dapat digunakan sebagai acuan optimal bagi institusi
pendidikan yang memerlukan, baik itu di peringkat pendidikan dasar maupun pendidikan
menengah. Keterbatasan dokumen rujukan yang dimaksud dapat ditafsirkan seolah-olah
pemerintah, tidak memberi perhatian secara mencukupi terhadap kecenderungan yang
terjadi di institusi praktisi pendidikan yang dimaksud. Padahal, hal ini terjadi karena
berbagai kendala yang menghambat proses penyediaan fasilitas semacam itu serta
pengembangan dokumen pendukung yang dimaksud secara mencukupi.
BAB III. POLA PENGEMBANGAN MODEL
A. Prinsip-prinsip Pengembangan
Model pengembangan kurikulum bervisi SETS harus dapat memberikan arah pemikiran
pembaharuan kepada pelaksana di lapangan (guru dan peserta didik) sehingga
memungkinkan mereka untuk tergerak melakukan kegiatan pembelajaran yang lebih
produktif. Para pelaku pembelajaran, secara sekilas harus dapat segera melihat bahwa di
dalam kurikulum itu terdapat tuntutan serta tuntunan yang memungkinkan mereka dapat
melaksanakan kegiatan pembelajaran secara optimal dengan selalu mengaitkan antara
konsep pengetahuan yang dipelajari dengan unsur-unsur SETS secara benar dengan
memperhatikan letak mata pelajaran yang sedang dibahas tersebut di dalam peta SETS.
Namun demikian, hendaknya tidak menimbulkan kesan bahwa pembelajaran yang
diturunkan dari kurikulum bervisi SETS itu sangat sulit dilaksanakan di lapangan, karena
pada dasarnya pembelajaran bervisi SETS dapat diturunkan dari kurikulum manapun,
termasuk KTSP, dan dapat dilakukan dalam kondisi apapun, termasuk dalam kondisi
satuan pendidikan paling minimal. Namun demikian, kurikulum bervisi SETS akan dapat
terselenggarakan lebih baik bila semua kondisi pembelajaran yang diperlukan untuk
mendukung kegiatan pembelajarannya dalam keadaan prima. Dengan demikian, produk
pembelajaran dalam bentuk sumber daya manusia maupun non manusia akan menjadi
jauh lebih unggul.
Prinsip pengembangan kurikulum bervisi SETS yaitu:
1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta
didik dan lingkungannya
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi
sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta
didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta
didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran
lebih berpusat kepada peserta didik, bukan pendidik yang selanjutnya berimplikasi
pada lingkungan mereka.
Di dalam kurikulum bervisi SETS, yang selalu mengajak serta prosesnya bergerak ke
arah kebaikan umat manusia serta organisme lain di muka bumi ini (sebelum kita
betul-betul dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan mahkluk lain di luar planet
bumi), semua hal di atas secara otomatis dapat tercakup dan diterapkan dengan relatif
mudah, sejauh pendidik memahami esensi pernyataan di atas.
2. Beragam dan terpadu
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta
didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak
diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial
ekonomi, dan jender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib
kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam
keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
Di dalam konteks SETS keberagaman yang ada itu diharapkan dapat memberi nilai
tambah yang memungkinkan peserta didik dari satuan pendidikan di daerah tertentu
memungkinkan diajak berkomunikasi oleh teman dari daerah lain dalam bertukar
informasi tentang topik serupa namun memiliki warna berbeda-beda karena kekhasan
daerah yang berbeda itu.
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi
dan seni yang berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi
kurikulum memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan
memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Hal di atas
berkaitan erat dengan perlunya pengembangan kurikulum bervisi SETS, yang harus
diartikan bahwa para pengembangan kurikulum perlu memberi peluang kepada para
pelaksana di lapangan untuk selalu mendekatai perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni ini secara terus menerus. Perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni itu sendiri merupakan bagian dari produk sekaligus sumber bagi
pembelajaran bervisi SETS.
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan
Pengembangan kurikulum bervisi SETS dilakukan dengan melibatkan pendharbeni
(stakeholders) yang diharapkan memiliki pemahaman makna serta implikasi visi
SETS sebagaimana diharapkan. Hal ini untuk menjamin relevansi pendidikan dengan
kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha,
dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan
berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional
merupakan kepastian yang harus ditampilkan dalam pengembangan kurikulum bervisi
SETS. Hal di atas akan lebih membuat kurikulum bervisi SETS menjadi lebih
bermakna dan berdaya guna dibandingkan dengan pengaitan konteks SETS pada
informasi yang sulit dipahami dan ditangkap oleh para peserta didik
5. Menyeluruh dan berkesinambungan
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian
keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara
berkesinambungan antar semua jenjang pendidikan.
Di dalam konteks SETS pengembangan kurikulum tersebut perlu contoh keterkaitan
unsur SETS dalam pembelajaran yang diperkirakan sesuai dengan jenjang pendidikan
tersebut. Dengan demikian, tak harus terjadi saling tumpang tindih antara informasi
yang diberikan kepada peserta di jenjang rendah dan jenjang lebih tinggi. Sebaliknya,
diharapkan agar informasi yang diberikan antar jenjang tersebut dapat bersifat saling
melengkapi dan memperkaya.
6. Belajar sepanjang hayat
Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan, dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum
mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan
informal dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu
berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya. Di dalam konteks SETS,
pembelajaran sepanjang hayat hendaknya diberi makna kepemilikan kemampuan
berfikir kritis dan kreatif, inovatif dan inventif yang semakin meningkat dengan
dimilikinya pengalaman hidup dikaitkan dengan konsep-konsep sain yang telah
dipelajari sebelumnya. Dengan demikian, produktivitas dari seseorang yang memiliki
kemampuan belajar sepanjang hayat akan jauh lebih meningkat dibanding dengan
mereka yang belajar secara insidental.
7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan
kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan
memberdayakan sejalan dengan motto Bhinneka Tunggal Ika dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam konteks SETS, kebhinekaan yang ada hendaknya dipakai sebagai dasar untuk
menurunkan kurikulum yang memberi peluang kegiatan yang sangat terintegratif
sekaligus adaptif terhadap kondisi yang ada di wilayah tertentu walau untuk mencapai
tujuan yang sama. Untuk ini, bentuk penyatuan persepsi dalam lingkup daerah sangat
diperlukan guna memperoleh landasan pengembangan kurikulum yang sama-sama
disepakati dapat mendukung kebijakan daerah dari satuan-satuan pendidikan yang
berada di satu wilayah, yang sekaligus mendukung kepentingan nasional. Hal ini perlu
dilakukan dalam penyediaan sumber daya manusia maupun non manusia.
8. Menempatkan mata pelajaran dalam peta SETS secara benar
Di dalam pengembangan kurikulum bervisi SETS, masing-masing mata pelajaran
dianggap memiliki kespesifikan atau kecenderungan dalam peta SETS karena hakikat
dari mata pelajaran itu sendiri. Atas dasar itulah maka peletakan atau pemosisian mata
pelajaran itu dalam konteks SETS perlu dibuat sehingga ketika dilakukan
pengembangan kurikulum, arah pengembangannya menjadi lebih jelas serta
memudahkan pelaksananya dalam melihat serta menetapkan keterhubungkaitannya.
B. Langkah-langkah Pengembangan
Dalam menyusun kurikulum yang bervisi SETS perlu diperhatikan langkah-langkahnya,
yaitu:
1. Merumuskan visi, misi, dan tujuan sekolah yang mencerminkan kurikulum yang
bervisi SETS
2. Mengkaji SK – KD pada standar isi yang dapat saling dikaitkan antara unsur sain,
lingkungan, teknologi, dan masyarakat pada tiap mata pelajaran
3. Merumuskan indikator bermuatan SETS
Kompetensi dasar yang dijabarkan menjadi indikator menunjukkan tanda-tanda yang
bermuatan bermuatan SETS, yang ditampilkan oleh peserta didik dalam pembelajaran.
Indikator juga sebagai penanda pencapai kompetensi dasar yang ditandai oleh
perubahan perilaku yang dapat diukur mencakup sikap pengetahuan dan keterampilan.
Satu Kompetensi Dasar dapat dijabarkan menjadi dua, tiga, atau empat/lebih indikator
secara sistimatis.
4. Pengembangan materi pembelajaran bermuatan SETS
Materi dikembangkan berdasarkan indikator pencapaian kompetensi dasar dan
bermuatan SETS. Dengan memperhatikan potensi peserta didik dan
kebermanfaatannya serta alokasi waktu yang tersedia.
5. Merencanakan kegiatan pembelajaran bermuatan SETS
Dirancang dari indikator untuk memberikan pengalaman bermuatan SETS.
Pengalaman belajar yang dimaksud dapat menggunakan pendekatan yang bervariasi.
Pembelajaran berpusat kepada peserta didik.
6. Menentukan teknik dan jenis penilaian yang sesuai
Penilaian harus dirancang sedemikian rupa:
• Mencapai kompetensi dasar
• Setiap indikator sudah mencerminkan alat penilaian yang akan digunakan
• Indikator itu juga dapat digunakan untuk penilaian jenis kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
7. Penentuan alokasi waktu
Penentuan alokasi waktu pada setiap KD yang dapat dikaitkan dengan materi
pembelajaran bermuatan SETS disesuaikan dengan waktu yang tersedia.
8. Penentuan sumber bahan/alat bermuatan SETS
Sumber belajar dapat menggunakan buku pelajaran, media cetak dan elektronik,
komputer dan internet, serta brosur. Karakteristik bahan ajar yang bermuatan SETS
antara lain mengangkat isu lingkungan, teknologi, dan/atau sosial
BAB IV. PELAKSANAAN
A. Pelaksanaan
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran dengan
menerapkan visi SETS menjanjikan kualitas pembelajaran yang lebih baik, tetapi
pembelajaran bervisi SETS juga mengandung beberapa risiko. Model ini disusun untuk
mengoptimalkan hasil pembelajaran bervisi SETS dan meminimalkan risiko yang
mungkin terjadi.
Salah satu alternatif pembelajaran bervisi SETS secara garis besar mengikuti tahap-tahap
pelaksanaan sebagai berikut:
1. Inisiasi: pendahuluan pembelajaran SETS dengan mengangkat dan mendiskusikan isu
atau masalah
Pada tahap ini, guru mengangkat isu atau masalah yang ada dalam kehidupan peserta
didik sehari-hari, atau yang hangat di media (koran, TV, dll.). Isu atau masalah yang
diangkat bisa pula berasal dari peserta didik. Setelah pemilihan isu, dilakukan
penggalian cara pandang dan pemahaman peserta didik terhadap isu atau masalah
tersebut.
Untuk melangkah ke tahap berikut, guru bersama-sama peserta didik merumuskan
masalah, atau menegaskan batas-batas topik isu tersebut untuk mengarahkan perhatian
yang memusat pada isu yang jelas. Pembatasan ini akan memperjelas kompetensi sain
apa yang diperlukan untuk memahami atau memecahkan masalah tersebut.
2. Penetapan kompetensi sain: mengumpulkan kompetensi sain yang diperlukan untuk
lebih memahami dan memecahkan masalah yang dihadapi.
Guru mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar yang terkait dengan isu yang
diangkat. Seperti dijelaskan pada ragam pendekatan SETS, kompetensi dasar yang
relevan bisa berasal dari satu bab, atau lintas bab, atau bahkan lintas mata pelajaran.
Dari kajian ini, dikumpulkan kompetensi dasar (sain dan non-sain) yang diperlukan
untuk lebih memahami dan memecahkan masalah yang dihadapi. Jika guru sebenarnya
telah mempersiapkan topik yang akan diangkat sebelum tahap inisiasi, maka guru bisa
mengetahui daftar target kompetensi sain sebelum pertemuan inisiasi di atas.
3. Dekontekstualisasi: pemisahan konsep dan prinsip sain (yang perlu dicapai
kompetensinya) dari konteks isu atau masalah yang diangkat.
Pada tahap ini, peserta didik perlu dipersiapkan untuk menghadapi tahap sesudahnya
yaitu pembelajaran konsep dan prinsip sain1, yang dalam kasus-kasus tertentu akan
merupakan tahap yang memiliki learning curve yang tajam. Tahap penyiapan peserta
didik ini disebut dekontekstualisasi, karena peserta didik perlu dipersiapkan agar fokus
pada pembelajaran konsep dan prinsip-prinsip yang perlu dikuasai, tanpa terganggu
oleh konteks, isu, atau masalah yang diangkat.
Tahap ini bisa berupa peralihan yang tak kentara dan mulus dari tahap inisiasi
pemilihan konteks ke tahap setelah dekontekstualisasi yaitu pembelajaran sain. Guru
bisa menciptakan suasana kelas yang memungkinkan peralihan mulus ini. Tahap ini
bisa pula berupa permintaan tegas kepada peserta didik, agar meninggalkan diskusi
tentang isu/masalah, tapi mulai memusatkan perhatian pada pencapaian kompetensi
sain (atau bidang lain) yang dibutuhkan untuk memahami atau menyelesaikan
masalah.
Proses dekontekstualisasi yang gagal akan menyebabkan “keberhasilan-semu” pada
pembelajaran berbasis SETS. Peserta didik terlihat antusias terhadap kegiatan
pembelajaran, tertarik pada isu atau masalah yang diangkat, aktif dalam pencarian
solusi masalah (atau bergairah dalam diskusi untuk memahami masalah), tetapi tidak
terjadi pembelajaran konsep dan prinsip sain, yang justru merupakan standar
kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai. Landasan keilmuan yang
digunakan untuk berusaha memahami isu atau memecahkan masalah hanya konsep
dan prinsip yang telah dimiliki peserta didik sebelumnya, dan tidak terjadi proses
pembelajaran konsep dan prinsip baru yang diharapkan. Tanpa penguasaan prinsip dan
konsep itu, pemecahan masalah yang dihasilkan tidak memiliki landasan yang kuat,
atau bahkan keliru.
4. Pembelajaran konsep dan prinsip sain: pemantapan penguasaan konsep dan prinsip
sain, melalui metode pembelajaran yang sesuai.
Pada tahap ini terjadi pembelajaran konsep dan prinsip sain (atau pembelajaran
bidang-bidang lain yang relevan, jika pembelajaran bervisi SETS digunakan untuk
lintas mata-pelajaran). Pada tahap ini, diperlukan sarana untuk memastikan bahwa
peserta didik memahami dan diharapkan mampu menerapkan konsep dan prinsip yang
mewakili kompetensi dasar dalam standar isi. Pengujian penguasaan peserta didik
dapat pula dilakukan lewat pengamatan guru terhadap tahap sesudah ini (yaitu tahap
menerapkan prinsip dan konsep untuk memecahkan atau memahami masalah, dengan
landasan keilmuan yang lebih kuat).
Pada pembelajaran ini, guru dapat memilih metode pembelajaran yang sesuai dengan
bahan yang disampaikan. Karena pembelajaran yang dilakukan telah diawali dengan
konteks yang memayungi, yang dekat dengan kehidupan peserta didik, maka
diharapkan kualitas pembelajaran bisa meningkat, dengan peserta didik yang lebih
aktif, dan lain-lain.
Seperti dijelaskan sebelumnya, keberhasilan tahap ini selain ditentukan oleh metode
pembelajaran yang dipilih dan proses pembelajaran yang terjadi, juga sangat bergantung
pada keberhasilan tahap dekontekstualisasi sebelumnya, yang mempersiapkan
suasana yang baik untuk tahap ini. Untuk sebagian peserta didik, proses dekontekstualisasi
yang baik dan pembelajaran konsep/prinsip yang berhasil dapat secara tajam
mengubah persepsi peserta didik terhadap permasalahan yang dihadapi.
5. Penerapan: menerapkan konsep dan prinsip sain pada isu atau masalah
Pada tahap ini, guru dan peserta didik secara bersama menerapkan konsep dan prinsip
sain pada isu atau masalah yang diangkat. Guru perlu menahan diri untuk tidak terlalu
cepat membantu peserta didik menerapkan apa yang baru dipelajarinya pada isu
tersebut. Guru sejauh mungkin hanya memfasilitasi usaha peserta didik untuk
memahami atau memecahkan masalah yang dihadapi bersama.
Pada tahap ini, seharusnya terjadi pemantapan konsep dan prinsip pada diri peserta
didik. Proses menerapkan pengetahuan, konsep, dan prinsip pada hal yang nyata akan
memberi makna lebih terhadap pengetahuan tersebut.
Pada bentuknya yang paling sederhana, tahap ini tidak menuntut terjadinya proses
pemecahan masalah, melainkan hanya peningkatan pemahaman peserta didik pada isu
yang diangkat. Guru dapat mengajukan permintaan sederhana kepada peserta didik
untuk mencoba menjelaskan isu tersebut berdasarkan pengetahuan baru yang telah
diperoleh pada pembelajaran yang dilakukan.
6. Integrasi: membangun keterkaitan antar konsep dan prinsip sain, serta antar
konsep/prinsip tersebut dengan spektrum terapannya dalam kehidupan.
Tahap penerapan dilanjutkan dengan usaha membangun keterkaitan antar konsep dan
prinsip sain yang diajarkan. Wawasan terapan yang diperoleh pada tahap sebelumnya
akan memperkaya cara pandang terhadap keterkaitan antar konsep dan prinsip
tersebut. Wawasan tersebut juga akan memberi gambaran keterkaitan yang jelas antara
konsep/prinsip sain dengan spektrum terapannya dalam kehidupan.
Untuk memperkaya tahap ini, guru dapat mengajak peserta didik untuk berdiskusi
tentang kemungkinan penerapan konsep/prinsip baru yang dipelajari pada konteks
selain isu atau masalah yang diangkat pada pembelajaran berbasis SETS ini.
Pengayaan ini akan memberi kemampuan kepada peserta didik untuk menerapkan
suatu prinsip pada situasi yang berbeda.
7. Perangkuman: merangkum kompetensi yang seharusnya telah dimiliki peserta didik,
termasuk kemampuan menerapkannya pada kasus tertentu
Akhirnya, guru atau peserta didik dapat merangkumkan hasil pembelajaran bervisi
SETS yang telah dilakukan. Lewat tahap perangkuman ini, ditegaskan berbagai
kompetensi dasar yang telah dimiliki peserta didik, dan wawasan terapan yang telah
dimiliki. Tahap ini harus dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan kepercayaan diri
peserta didik dalam mempelajari sesuatu yang baru, dan dalam memecahkan atau memahami
masalah yang relevan dengan kehidupannya.
Alternatif lainnya dalam pelaksanaan pembelajaran SETS adalah dengan menggunakan
metode siklus. Siklus pembelajaran bervisi SETS dapat dilakukan melalui kegiatan yang
terdiri atas lima tahap kegiatan untuk setiap pokok bahasan atau kompetensi dasar, sebagai
berikut:
1. Tantangan (Challenge)
Tahapan tantangan merupakan proses untuk melihat permasalahan lingkungan yang
terkait dengan materi yang dibahas dan tujuan pencapaian kompetensi dasar sesuai
dengan indikator yang ditetapkan. Pada bagian ini peserta didik diminta untuk
membaca sinopsis yang membawa mereka pada tujuan dari siklus kegiatan tersebut.
Diakhir sinopsis ini ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab peserta pada lembar
kegiatan pemikiran awal (Initial Thoughts)
2. Jawaban awal (Initial thoughts)
Tahap ini merupakan jawaban atas permasalahan yang diberikan dalam tahap tantangan
(Challenge). Jawaban merupakan hasil pemikiran individual peserta didik dari
pengetahuannya sendiri, yang tergantung pada keluasan dan kedalaman pengetahuan
dan pengalaman peserta dalam kegiatannya sehari-hari dan pandangan peserta didik ke
depan.
3. Sumber (Resources)
Pada tahap ini peserta didik diuji berpikir kritisnya dan ketrampilan membacanya,
dengan membaca sumber-sumber yang diberikan yang terkait langsung dengan
masalah yang diberikan pada tahap tantangan (Challenge) atau hanya sebagai
pendukung yang dapat membawa peserta didik pada pemikiran-pemikiran baru untuk
Sumber
Informasi
Revisi
Jawaban
Kerja
Kelompok
Jawaban
Awal
Tantangan
menjawab masalah-masalah pada tahap pertama. Pada kegiatan ini peserta diberikan
dua macam sumber. Pertama berupa bahan bacaan yang diperoleh dari berbagai
sumber, baik melalui CD SPM, maupun dari internet. Kedua berupa dialog langsung
dengan guru sebagai fasilitator.
4. Revisi jawaban (Revised thinking)
Tahap ini masih merupakan kerja individual peserta didik yang merupakan respon atas
sumber-sumber yang diperoleh dari tahap ketiga, baik dari sumber tertulis maupun
dialog interaktif dengan guru atau fasilitator. Pada tahap ini peserta didik diberi
kesempatan untuk memperbaiki hasil pemikiran awalnya pada tahap kedua. Pada tahap
ini peserta didik diuji tingkat keterbukaan berpikirnya dengan mempertimbangkan
masukan informasi tertulis, guru atau fasilitator pada tahap ketiga.
5. Kerja kelompok (Group work)
Setelah melakukan kegiatan individual, peserta didik diminta dalam kelompoknya
untuk membandingkan hasil-hasil pemikirannya, dengan pemikiran kelompok. Dan
diharapkan terdapat kesepakatan yang diwujudkan dalam hasil pemikiran kelompok
untuk menjawab permasalah dalam tahap tantangan (Challenge). Hasil pemikiran
kelompok ini selain dituliskan pada lembar kegiatan sendiri, juga diminta untuk
dituliskan dalam kertas post it untuk ditempel pada bidang tempel yang telah
disediakan. Kemudian setiap kelompok melakukan perbandingan antar pemikiran
kelompok (Gallery Walk) dengan membaca hasil pemikiran kelompok lain. Fasilitator
akan memberi kesempatan pada peserta didik untuk menuliskan dan menyampaikan
hasil pemikiran seluruh kelompok jika dapat dilakukan, atau membuat membuat daftar
keragaman berpikir kelompok sebagai hasil dari siklus kegiatan hari itu.
B. Peralihan Menuju Pembelajaran Bervisi SETS
Karena pembelajaran bervisi SETS akan terus berkembang, maka akan terus hadir
berbagai pendekatan yang berbeda untuk meningkatkan efisiensi dan ketercapaian
pembelajaran bervisi SETS. Pendekatan yang digunakan bisa amat beragam, dari mulai
penyederhanaan terhadap tahap-tahap di atas untuk awal peralihan menuju pembelajaran
berbasis SETS hingga penambahan tahap pengayaan dengan mengundang pakar yang
berkompeten dalam bidang yang relevan dengan isu/masalah yang diangkat. Untuk yang
terakhir ini, pakar diundang untuk turut berdiskusi dengan peserta didik setelah peserta
didik mendapat pembekalan pemahaman konsep dan prinsip dasar yang diperlukan. Yang
diharapkan adalah terciptanya suasana diskusi yang saling mengisi: peserta didik
mendapat tambahan kompetensi dari pakar yang diundang, sebaliknya pakar tersebut bisa
saja memperoleh gagasan-gagasan segar dari peserta didik.
Untuk mulai beralih menuju pembelajaran bervisi SETS, guru perlu merasa bebas untuk
bereksperimen. Tahap-tahap di atas bisa disederhanakan, disesuaikan dengan keadaan
yang dihadapi (peserta didik, prasarana, sumber belajar, dan lain-lain). Pada tingkatan
yang paling sederhana, guru harus mengenal ciri minimal berikut yang membedakannya
dari pembelajaran tradisional. Pembelajaran tradisional mulai dengan pembelajaran
konsep dan prinsip, diikuti dengan contoh-contoh terapan, sedangkan pembelajaran yang
baru ini memulai dengan isu atau masalah yang dekat dengan kehidupan peserta didik,
diikuti dengan pembelajaran konsep dan prinsip, untuk akhirnya kembali ke isu/masalah
untuk difahami atau dipecahkan dengan menerapkan konsep atau prinsip yang dipelajari.
Pada keadaan dimana guru belum siap dengan pembelajaran bervisi SETS, guru bisa tetap
mulai mengumpulkan gagasan isu atau masalah melalui peserta didik, yang dapat
digunakan untuk pembelajaran SETS di kemudian hari. Tahap brainstorming ini bisa
dengan pertanyaan sederhana kepada peserta didik tentang peristiwa atau isu apa saja
yang menarik perhatiannya akhir-akhir ini, di lingkungan terdekatnya atau dalam berita,
dan lain-lain. Untuk sedikit memperkaya isu/topik/masalah, bisa dilakukan diskusi kecil
tentang beberapa isu tersebut. Guru bisa mencatat isu-isu yang kira-kira dapat digunakan
untuk merancang pembelajaran berbasis SETS suatu saat nanti.
Akhirnya, tidak ada peralihan yang sempurna dari pembelajaran tradisional. Kita tidak
mungkin menghadapi kondisi ideal dimana seluruh kompetensi dasar yang dituntut oleh
kurikulum atau standar isi dapat ditumbuhkan melalui pembelajaran bervisi SETS. Guru
perlu mencatat kompetensi apa saja yang telah ditumbuhkan lewat pembelajaran bervisi
SETS, dan melakukan pembelajaran non-SETS untuk mencapai kompetensi-kompetensi
dasar yang belum disentuh.
C. Implikasi
Implementasi model pembelajaran dengan menggunakan visi dan pendekatan SETS,
menuntun peserta didik untuk mengaitkan konsep sain dengan unsur lain dalam SETS.
Cara ini memungkinkan peserta didik memperoleh gambaran lebih jelas tentang
keterkaitan konsep tersebut dengan unsur lain dalam SETS, baik dalam bentuk kelebihan
ataupun kekurangannya.
Setiap peserta didik memiliki kemampuan dasar berbeda-beda, melalui penerapan
konstruktivisme peserta didik dapat melakukan pembelajaran dari berbagai titik awal yang
mereka kenal dekat dengan konsep sain yang akan dipelajari. Model pembelajaran bervisi
dan berpendekatan SETS dengan sain sebagai titik awal yang disesuaikan dengan minat
dan bakat peserta didik diharapkan mendorong keingintahuan dan memperkuat inisiatif
peserta didik untuk mengaitkan dengan unsur-unsur SETS lainnya. Tanggung jawab
pendidik yang terutama adalah tidak hanya sadar akan prinsip umum mengenai
pengalaman belajar sain sesuai dengan kondisi lingkungan keseharian peserta didik, tetapi
juga mengaitkan dengan teknologi, lingkungan, masyarakat yang terus berkembang untuk
memperoleh pengalaman yang membawa ke arah pendidikan untuk pembangunan
berkelanjutan.
Implikasi terkait dengan penerapan model pembelajaran bervisi dan berpendekatan SETS
adalah:
a. Diperlukan penurunan silabus mata pelajaran berdasarkan standar isi dan kompetensi
yang bervisi dan berpendekatan SETS.
b. Diperlukan pengembangan perencanaan pembelajaran yang subjeknya bervisi dan
berpendekatan SETS
c. Diperlukan pengembangan atau penyediaan bahan pembelajaran yang bervisi dan
berpendekatan SETS.
d. Diperlukan pengembangan instrumen penilaian bervisi dan berpendekatan SETS untuk
pembelajaran topik pada subyek yang diperkenalkan.
Rabu, 26 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar