Sabtu, 22 November 2008

EVALUASI KETERAMPILAN MENULIS DALAM MATEMATIKA

EVALUASI KETERAMPILAN MENULIS DALAM MATEMATIKA

A. PENDAHULUAN
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) akan segera diterapkan. Kurikulum mata pelajaran matematika berbeda dengan kurikulum sebelumnya, di mana di dalam KBK telah menempatkan komunikasi matematika, di samping pemahaman, penalaran dan pemecahan masalah. Hal itu tampak antara lain pada: (a) fungsi dan tujuan, yang menyebutkan bahwa masalah atau informasi sering disampaikan orang dengan bahasa matematika, misalnya menyajikan persoalan atau masalah ke dalam model matematika, (b) mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa metematika praktis, sistematis dan efisien, (c) matematika dapat digunakan sebagai alat komunikasi informasi atau ide dalam menjelaskan gagasan, misalnya melalui pembicaraan (lisan), catatan (tulisan), grafik, diagram, tabel dan sebagainya (KBK, 2002).
Dalam kompetensi lintas kurikulum (KLK) juga disebutkan bahwa salah satu kompetensi yang harus dimiliki siswa adalah menggunakan bahasa untuk memahami, mengembangkan, dan mengkomunikasikan gagasan dan informasi, serta untuk berinteraksi dengan orang lain. Juga pada kompetensi umum bahan kajian matematika disebutkan bahwa dengan belajar matematika siswa diharapkan memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, grafik untuk memperjelas keadaan atau masalah.

II. PEMBELAJARAN MENULIS DALAM MATEMATIKA (Writing in Mathematics)
Memahami dan memaknai ide-ide matematika atau konsep-konsep matematika bukan pekerjaan yang mudah. Lebih sulit lagi bagaimana mengetahui seseorang telah memahami suatu konsep matematika dengan baik dan benar. Mengkomunikasikan ide-ide atau gagasan-gagasan matematika agar dapat dipahami oleh orang lain bukan pekerjaan yang mudah. Menulis (writing in mathematics) merupakan salah satu cara menyampaikan gagasan atau ide-ide matematika yang berupa pemecahan masalah (problem solving), pembentukkan soal (problem posing), keterkaitan (connection), pemahaman dan penalaran. Kemampuan menulis itu antara lain diperlukan dalam menjawab masalah-masalah (soal), mengerjakan tugas (proyek), membuat jurnal matematika, membuat refleksi dan sebagainya.
Menurut Achmad (2002), keterampilan menulis merupakan merupakan keterampilan yang kompleks, bahkan kadang-kadang sulit untuk diajarkan. Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam pembelajaran bahasa untuk memperoleh kompetensi menulis yang baik, setidaknya diperlukan lima komponen utama, yaitu: penggunaan bahasa (language use), keterampilan menggunakan ejaan (mechanical skills), penguasaan isi (treatment of content), penguasaan gaya bahasa (stylistic skills), kemampuan untuk menulis sesuai dengan tujuan dan audiens (judgement skills).
Jika kita merujuk kepada lima komponen kompetensi menulis tersebut dalam “Writing in Mathematics” penguasaan isi merupakan bagian yang sangat penting. Penguasaan isi (treatment of content) terkait dengan kemampuan pemahaman (understanding), penalaran (reasoning) dan keterkaitan (connection). Kompetensi-kompetensi lain merupakan pendukung dalam menyampaikan isi (ide) atau konsep. Seperti bagaimana menyampaikan ide matematika dengan bahasa yang menarik, ejaan yang benar dan ide tersebut ditujukan kepada siapa. Selain penguasaan isi, Ellerton dan Clarkson (1996) menyatakan bahwa struktur semantik mempunyai pengaruh penting pada pembelajaran matematika dibanding variabel bahasa seperti kosa kata.
Menulis sangat terkait dengan bahasa yang digunakan. Huinker dan Laughling (1996), menyatakan, bahasa matematika dapat membantu siswa untuk bekerja sama antara yang satu dengan yang lain dalam memecahkan masalah matematika. Bahkan, Secada (dalam Mac Gregor, 1999) memberikan bukti yang cukup untuk menyimpulkan bahwa "kecakapan bahasa, berhubungan dengan prestasi dalam matematika”.
Keterampilan menulias (kemahiran menulis) tidak datang dengan sendrinya. Trianto (2002) menyatakan bahwa kemahiran menggunakan bahasa tulis adalah kemahiran yang diperoleh melalui pengajaran, pembelajaran, dan pelatihan, yang dilakukan secara bertahap.
Yang lebih sulit lagi ialah bagaimanakah mengevaluasi hasil karya siswa yang berupa yang dapat berupa proyek, pemecahan masalah, jurnal siswa. Untuk mengases (menilai) pekerjaan siswa yang diwujudkan dengan bahasa tulis diperlukan tolok ukur sehingga dapat disimpulkan apa yang dikerjakan siswa tersebut memiliki kriteria amat baik, baik, sedang, dan kurang. Oleh karena itu pada makalah ini akan di sajiakan: (1) Evaluasi dan asesmen dalam pembelajaran menulis, (2) pengembangan teknik tes untuk keterampilan menulis, (3) pengembangan teknik nontes menulis dengan penilaian berbasis kelas, (4) pemanfaatan penilaian portofolio untuk menulis, dan (5) bahan diskusi pengembangan evaluasi keterampilan menulis.

III. EVALUASI DAN PENILAIAN (ASESMEN)
A. Evaluasi Pembelajaran Menulis
Melakukan penilaian secara saksama tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab pendidik. Pengajaran (instruction), pembelajaran (learning), penilaian (assessment), and evaluasi (evaluation) semua saling berkaitan. Penilaian (assessmen) dapat dialkukan tanpa evaluasi, tetapi evaluasi tidak dapat dilakukan tanpa asesmen. Idealnya mengases (menilai) dilakukan secara terus menerus sedangkan evaluasi dapat dilakukan secara periodik.
Evaluasi atau penilaian adalah salah satu kegiatan dalam KBM. Penilaian terintegrasi dengan KBM. Heaton (dalam Achmad, 2002) menjelaskan bahwa penilaian adalah gambaran dari KBM dan terintegrasi dalam KBM.
Ada beberapa karakteristik penilaian yang perlu diperhatikan.
(1) Penilaian merupakan bagian integrasi dari KBM.
(2) Penilaian bersifat positif dalam arti tidak dibandingkan dengan kelompok, melainkan secara bertahap dan bersinambungan, dengan membandingkan apa yang dicapai sebelumnya.
(3) Penilaian dilakukan dengan beberapa cara.
(4) Penilaian adalah untuk melihat kemajuan belajar.
(5) Informasi penilaian dicapai melalui:
· Tes tertulis
· Tes penampilan
· Penugasan
· Portofolio

Di samping berbagai karakteristik penilaian di atas, yang tidak kalah penting adalah aspek penilaian. Dalam menulis beberapa aspek penilaian yang dikemukakan Heaton (1988) patut dipertimbangkan dalam bentuk skala penilaian (rating scale).

Content
30 – 27 excellent to very good
26 – 22 good to average
21 – 17 fair to poor
16 – 13 very poor

Organization
20 – 18 excellent to very good
17 – 14 good to average
13 – 10 fair to poor
9 – 7 very poor

Vocabulary
20 – 18 excellent to very good
17 – 14 good to average
13 – 10 fair to poor
9 – 7 very poor

Language use
25 – 22 excellent to very good
21 – 19 good to average
17 – 11 fair to poor
10 – 5 very poor

Mechanics
5 excellent to very good
4 good to average
3 fair to poor
2 very poor

Melakukan penilaian secara saksama tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab pendidik. Pengajaran (instuction), (Learning) Pembelajaran, Penilaian (assessment), and evaluasi (evaluation) semua saling berkaitan.
Penilaian (assessmen) dapat dialkukan tanpa evaluasi, tetapi evaluasi tidak dapat dilakukan tanpa asesmen. Idealnya mengases (menilai) dilakukan secara terus menerus sedangkan evaluasi dapat dilakukan secara periodik.
Sepanjang 1990's, masyarakat pendidikan matematika telah menekankan pada kebutuhan untuk mengembangkan metoda otentik untuk mengases belajar siswa (Ellerton dan Clarkson, 1996). Walaupun demikian tes pensil dan kertas (pencil and paper tests); jawab pendek/singkat dan tes pilihan telah secara luas digunakan di seluruh dunia untuk menaksir hasil belajar matematika sekolah. Masalahnya adalah pencil and paper test sulit untuk mengungkap mengapa siswa memberi jawaban salah atau benar. Alasan iini perlu dicari jawabnya. Kelemahan lain dari pencil and paper tests adalah tidak dapat mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi (Johnson & Johnson, 2002).
Ellerton dan Clarkson (1996), memberikan suatu prosedur yang dikembangkan oleh Newman dalam memeriksa siswa dalam memecahkan masalah matematika yang diarahkan pada pertanyaan apakah mereka dapat: a) membaca pertanyaan; b) memahami apa yang mereka telah baca; c) membawa kepada suatu bentuk perubahan mental dari kata-kata pertanyaan kepada pemilihan dari suatu strategi matematika yang sesuai; d) Menerapkan ketrampilan proses yang dituntut oleh strategi yang terpilih; dan e) menuliskan jawaban (endcode) dalam suatu bentuk yang bisa diterima.
Analisis data berdasar pada prosedur Newman itu sudah menggambarkan perhatian khusus kepada pengaruh faktor bahasa pada pembelajaran matematika. Dan sangat menantang pendidik matematika dan para guru untuk menggambarkan kembali apa yang menjadi ‘basis' dalam matematika sekolah. Penelitian Newman telah menghasilkan sejumlah besar bukti yang menunjuk kesimpulan; seperti anak-anak mengalami kesukaran dengan struktur semantik, kosa kata, dan simbolisme matematika dibanding dengan algoritma baku.

2. Gaya Penilaian (Modes Assessment) pada faktor-faktor bahasa
Prosedur asesmen alternatif diklaim secara luas telah dapat memberi perspektif berbeda pada pemahaman matematika siswa yang ekspresif dan reseptif. Peneilaian otentik sebagai strategi yang mungkin dipilih sebagai bagian dari gaya asesmen ini.
Strategi penilaian sebagai suatu gaya asesmen menurut Elerton dan Clarkson (1996) melip



















































































































































































































































































































































































































































































ika siswa, portfolio matematika siswa, investigasi proyek siswa, dan solusi student-generated permasalahan yang menantang. Sebanyak enam dari delapan strategi melibatkan siswa yang menyatakan pemahaman matematika. Dengan gaya asesmen ini diusulkan bahwa penggunaan bahasa siswa yang ekspresif menjadi peran penting di dalam penilaian.

III. Struktur Semantik
Burn (dalam Ellerton dan Clarkson, 1996) menyatakan mengenai pentingnya menggunakan kata-kata yang efektif di dalam pembelajaran matematika. Di dalam prinsip yang pertama untuk prinsip ini, ia meramalkan ilmu semantik itu mungkin menjadi 'ilmu pengetahuan yang menjelaskan bagaimana bahasa mempengaruhi perilaku, terutama berpikir”.
Contoh yang diberikan sebagai berikut:
Budi mempunyai 15 ribu rupiah, dan ia mendapatkan lagi 10 ribu rupih. Berapa banyak uang dimiliki John saat ini? Siswa boleh mengasosiasikan 'lebih” dengan “penambahan’. Ketika murid yang sama bertemu dengan keadaan itu: 'John mempunyai 15 ribu rupiah, tetapi untuk menonton bioskop ia memerlukan biaya 25 ribu rupiah. Berapa banyak ia memerlukan? di dalam konteks lain; menyatakan pengurangan.
Hasil analisis dari studi Newman adalah kesalahan terbaru menyertakan 101 dari tahun ke 7 para siswa di Malaysia dan 61 para siswa tahun ke 7 di Australia mencakup pertanyaan matematika dengan berbagai struktur semantik, hasil menunjukkan bahwa struktur semantik merupakan variabel yang paling rumit yang mempengaruhi pemahaman. Seperti itu, sebagai contoh, 74 persen dari contoh orang Malaysia dan 70 persen anak Australia memberi tanggapan salah kepada pertanyaan yang berikut (yang disampaikan dalam Bahasa Melayu untuk para siswa yang orang Malaysia, dengan nama 'Radiah' digunakan sebagai ganti ' Roslyn'):
Roslyn adalah 12 hari lebih tua dari Mary. Jika hari lahir Roslyn's adalah 29 Januari, pada tanggal berapa Mary lahir?

Struktur semantik mempunyai pengaruh penting pada pembelajaran dan mutu keikutsertaan pada percakapan matematika di kelas dibanding variabel bahasa seperti kosa kata. Ada dua daya dorong utama di dalam literatur psycholinguistic yang concern terhadap pengaruh struktur semantik pada permasalahan yang mungkin seperti: penambahan, pengurangan atau multiplikatif (perkalian). Struktur semantik tentang 'perkalian' dan 'pembagian telah menjadi pokok penelitian besar-besaran.
Beberapa acuan berkaitan dengan penambahan dan pengurangan telah dibuat.
Sebagai contoh:
Siswa kelas (tingkat) 3 diharapkan telah mampu:
a. membaca dan menulis statemen yang menyertakan yang empat operasi (18-(24-7)= 1);
b. menghungkan alternatif ungkapan bahasa sehari-hari ungkapan perhitungan ( 45/5=? mungkin dibaca 'Berapa 45 dibagi oleh 5?' atau 'Berapa banyak 5 dalam 45?'.
Pada kelas 4, kurikulum matematika meliputi konsep penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian bilangan sedemikian sehingga para siswa dapat:
a. Mengembangkan makna operasi dengan model dan mendiskusikan suatu variasi situasi masalah;
b. Menghubungkan simbul matematika dan bahasa tentang operasi ke situasi masalah dan bahasa informal;
c. Mengenali bahwa suatu struktur masalah yang luas dapat diwakili oleh operasi tunggal;
d. Mengembangkan sense operasi (sense operation)


IV. Open-Ended atau Goal-Free Problems
a. Jawaban atas pertanyaan Open-Ended
Sebagai bagian dari arah merekonstruksi pola percakapan kelas matematika, pendidik matematika dituntut memiliki banyak penggunaan yang lebih luas yang disebut "open-ended” atau goal-free Question”. Pertanyaan tersebut akan merangsang dibanding dengan pertanyaan yang terbatas hanya pada konteks tertentu dari suatu tugas. Menurut Shimada & Becker (dalam Ellerton. 1996) open-ended merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika yang memberi peluang berkembangnya daya matematika (mathematics power) dengan cara memberi keleluasaan berpikir siswa secara aktif dan kreatif
Penggunaan open-ended telah disatukan di dalam kurikulum matematika di beberapa negara-negara, seperti Jerman (Pehkonen, 1995); Amerika Serikat (NCTM, 1995), dan di Australia (Stacey, 1995). Walaupun sampai sekarang belum ada kesepakatan apa yang dimaksud dengan open-ended question. Pehkonen (1995), menguraikan dari hasil diskusi kelompok psikologi pendidikan matemtika bahwa open ended question adalan bukan pertanyaan tertutup (closed).
Suatu masalah (soal) digambarkan sebagai “closed” jika jawabanya ‘tertutup'. Pehkonen menguraikan tiga jenis permasalahan terbuka:
a) permasalahan di mana situasi permulaan tertutup, tetapi tujuan situasi dibentuk terbuka; b) permasalahan di mana mulai situasi dibentuk terbuka tetapi tujuan situasi tertutup, dan c) permasalahan di mana kedua-duanya permulaan dan tujuan situasi bersikap terbuka.

b. Kriteria Penilaian Untuk Pertanyaan Open-Ended
Pertanyaan open-ended memungkinkan jawaban siswa beragam, dengan demikian guru harus mempersiapkan kriteria yang memungkikan guru memberikan penilaian secara objektif. Karena jawaban siswa yang akan kita ases dalam bentuk tulisan, berarti guru harus menyiapkan instrumen penilaian yang dapat mengukur tulisan/jawaban siswa. Rubrik (rubric) merupakan skala penilaian baku yang dapat digunakan untuk menilai jawaban siswa (tertulis) dalam masalah (soal) open-ended.
Salah satu contoh rubrik yang digunakan untuk menentukan skoring jawaban siswa dalam soal-soal open-ended sebagai berikut:
1. Memberikan skor 4 jika jawaban siswa itu lengkap
Kriteria kelengkapan jawaban siswa sebagai berikut:
a. Jawaban yang dikemukakan lbenar dan lengkap.
b. Menggambarkan problem solving, reasoning sera kemampuan berkomunikasi.
c. Jika respon dinyatakan terbuka semua jawaban benar.
d. Hasil digambarkan secara lengkap.
e. Kesalahan kecil, misalnya pembulatan yang mungkin ada.
2. Memberikan skor 3 jika jawaban siswa itu menggambarkan kompetensi dasar.
Kriterianya gambaran kompetensi dasar jawaban sebagai berikut:
a. Jawaban yang dikemukakan benar.
b. Menggambarkan problem solving, reasoning sera kemampuan berkomunikasi.
c. Jika respon dinyatakan terbuka, hampir semua jawaban benar
d. Hasilnya dijelaskan (dilengkapi tidak dalam bentuk tulis)
e. Beberapa kesalahan kecil yang matetatis yang mungkin ada.
3. Memberikan skor 2 jika jawaban siswa sebagian.
a. Beberapa jawaban mungkin sudah dihilangkan.
b. Menggambarkan prolem solving, reasonong serta kemampuan berkomunikasi.
c. Terlihat kurangnnya tingkat pemikiran yang tinggi
d. Kesimpulan dinyatakan tetapi tidak akurat.
e. Beberaoa batasan mengenai pemahaman konsep matematika digambarkan.
f. Kesalahan kecil matematis yang mungkin muncul.
4. Memberikan skor 1 jika jawaban siswa hanya sekedar memperoleh jawaban.
a. Jawaban dikemukakan tetapi tidak pernah mengembangkan ide-ide matematika.
b. Masih kurang ide dalam problem solving, reasoning serta kemampuan berkumunikasi.
c. Beberapa perhitungan dinyatakan salah.
d. Hanya sedikit terdapat penggambaran pemahaman matematis
e. Siswa sudah berupaya menjawab pertanyaan.
5. Memberikan skor 0 jika siswatidak memberikan jawab atas soal.
Kriteria:
a. Jawaban betul-betul tidak tepat.
b. Tidak menggambarkan tentang problem solving, reasoning atau kemasmpuan berkomuniasi.
c. Tidak menyatakan pemahaman matematis sama sekali.
d. Tidak mengemukakan jawaban.


B. FAKTOR BAHASA DALAM BELAJAR DAN MENGAJAR MATEMATIKA
1. Tinjauan Perspektif Historis
Ellerton dan Clarkson, mengutip pernyataan Brune berkaitan dengan kajian mengenai peran bahasa dalam pendidikan matematika sejak 40 tahun yang lalu. Ia mencatat, bahwa 'kata-kata sebagai hubungan rantai komunikasi', 'mathematical word”, menggambarkan konstruksi mental, 'kata-kata percakapan adalah lambang', dan bahwa 'kata-kata menggambarkan persetujuan antar orang-orang'. Berkaitan dengan bahasa Usiskin (1996) menyatakan bahwa setiap bahasa memiliki tata bahasa, 3 + 4x dan 56.2-1/5 disebut ungkapan (expression), dan x = 2 dan 3x + y < 50 adalah kalimat, tanda =, +, adalah kata-kata kerja.
Brune menunjuk bahwa perbedaan makna dihubungkan dengan kata-kata yang sama di dalam kultur yang berbeda. Pentingnya ilmu semantik, adalah suatu cara di mana konteks dapat memperjelas arti dari kata-kata spesifik. Ia juga membahas pentingnya siswa bekerja pada proyek yang secara rinci dirancang untuk menekankan konsep matematika. Menurut Brune, siswa suatu ketika harus memahami konsep melalui pengalaman mereka sendiri, mereka harus mempunyai kesempatan mengkomunikasikan konsep-konsep matematika kepada teman sekelas mereka.
Menurut catatan Brune pada tahun 1953 yang dikutip oleh Ellerton dan Clarkson bahwa unsur-unsur dan tema-tema sekarang adalah untuk menyelidiki hubungan antara matematika, pendidikan matematika, dan bahasa. Apa yang dikemukakan oleh Burne pada saat itu, kini juga diungkap oleh Huinker dan Laughling (1996), yang menyatakan bahwa bahasa matematika dapat membantu siswa untuk bekerja sama antara yang satu dengan yang lain dalam memecahkan masalah matematika. Bahkan, Secada pada tahun 1992 memberikan bukti yang cukup untuk menyimpulkan bahwa " kecakapan bahasa, berhubungan dengan prestasi dalam matematika” (Mac Gregor, 1999)
Istilah 'Faktor-faktor bahasa dalam pembelajaran matematika' telah digunakan saat ini mengacu pada area riset berbeda dari psycholinguistics dan sociolinguistics sebagai wacana (discourse) pembelajaran di kelas, dan mengajar matematika dalam dua bahasa (billingual). Seperempat abad yang lalu, Aiken's (1972) melakukan kajian yang difokuskan pada peran yang krusial tentang wacana (discourse) di kelas. Menurut Ellerton dan Clarksen para peneliti di tahun 1970 dan 1980-an cenderung untuk memisahkan kegiatan penelitian yang berhubungan antara faktor bahasa dengan matematika, pada waktu itu, ungkapan 'faktor bahasa dalam pembelajaran matematika' merupakan hal-hal yang berbeda-beda yang dimaksud ke orang yang berbeda. Namun sekarang terkait dengan pemahaman matematika bahasa sebagai bagian dari komunikasi matematika memainkan peran sentral dalam meningkatkan pemahaman matematika siswa.
Perspektif historis membuat faktor bahasa dan pembelajaran matematika menjadi jelas, bahwa adalah beberapa macam kerangka kerja berkaitan dengan asepk ini diperlukan tidak hanya mengenali komponen bidang utama, tetapi juga mulai menyelidiki isu dan hubungan di dalam dan antar komponen itu, yaitu antara pembelajaran matematika dengan faktor-faktor bahasa.
Penelitian dalam bahasa dan matematika meluas di negara-negara di luar Amerika Serikat. Khusus di Amerika Serikat, pentingnya pengenalan bidang ini telah dihidupkan kembali, pada pertemuan tahuan Mathematical Association of America tahun 1988 dan 1989, pada sesi khusu dibahas tentang penggunaan menulis (writing) untuk mengajar matematika. Pada waktu itu, sejumlah artikel telah diterbitkan yang berhubungan dengan bahasa dan matematika seperti jurnal The Arithmetic Teacher and The Mathematics Teacher.
Komisi Standard untuk Matematika Sekolah di Amerika Serikat, yang telah dibentuk oleh NCTM di tahun 1986, telah memantapkan dilibatkannya komunikasi dan 'bahasa dalam matematika'. Bahkan pada tahuan 1996 telah diterbitkan buku buku tahunan (Yearbook) dengan Judul “Communication in Mathematics K-12 and Beyond yang diedit oleh Elliot dan Kenney.
Di Australia, faktor bahasa dalam pembelajaran matematika tetap menjadi riset utama sepanjang periode 1975-1996 ( Ellerton, 1996). Di separuh yang kedua, beberapa kerangka kerja tahun 1980-an mencoba untuk menghubungkan berbagai unsur-unsur bahasa dan bidang matematika telah diterbitkan. Sebagai contoh, suatu ikhtisar konseptual telah diperkenalkan oleh Gawned (1990), yang diringkas dalam gambar 1. Kerangaka ini cukup sistematik sebagai bagian dari penelitian dari pengembangan real-world language sampai pada constructiuon meaning in mathematics. Kerangka ini yang dikenal sebagai 'a socio-psycho linguistic model', telah didasarkan pada suatu model pelajaran bahasa yang telah dikembangkan oleh Wells (1984) dan Wood (1988).
1

Real-world language (Bahasa Real-world)
2
The language of the classroom (Bahasa di kelas
3
The specific domains of the language of mathematics
4
Construction of meaning In Mathematic




Gambar 1. Ringkasan model dari of Gawned (1990) tentang socio-psycho-linguistic
Menurut Gawned (1990) bahwa kerangka kerja dari sociolinguistic berasal dari semua bahasa, mencakup bahasa matematika, yang berakar pada pengalaman anak pertama di dunia. Orang-orang berkomunikasi dengan anak-anak muda, terutama bahasa yang mereka gunakan, membantu mengorganisasikan persepsi anak dan pengalaman konkret. Bahasa membantu ke arah membentuk mental internal dan pengalaman eksternal. Mereka telah mulai menggunakan pola yang dapat diramalkan. Skema anak dibentuk dari hari ke hari atau peristiwa ke atas bahasa baru yang selanjutnya dipetakan. Secara serempak, pengalaman dan persepsi anak bertindak sebagai suatu stimulus untuk memulai interaksi dan berkomunikasi dengan di sekitarnya.

2. Kultur, Komunikasi, dan Pendidikan Matematika
Beberapa pendidik percaya bahwa dalam rangka memahami peran bahasa di dalam pelajaran matematika diperlukan untuk dikembangan sebagai suatu kerangka kultur dan komunikasi yang luas. Menurut Corson ( 1985):
Suatu kurikulum sekolah adalah suatu pemilihan pengetahuan dari kultur: semua hal di dalam kultur yang berguna dipertimbangkan disampaikan melalui pendidikan di sekolah. Semua format pengetahuan 'disaring' melalui bahasa, item utama pengetahuan di dalam kultur manapun adalah bahasa. Objek utama dari sekolah adalah untuk mendorong penguasaan yang lengkap mengenai bahasa dari kultur, karena tanpa penguasaan ini, mereka akan ditolak dan pengaruh dari ini adalah suatu kesempatan untuk sukses dalam pendidikan.

Dengan mempertimbangkan kurikulum di dalam pembelajaran umum dan matematika khususnya, mestinya tidak melalaikan pengaruh kultur sekolah di dalam sosial yang berbeda lingkungan budayanya. Berubahnya paradigma baru dalam pembelajaran matematika.
Gagasan ini secara khusus bersangkutan untuk pendidikan matematika. Ada suatu peningkatan riset yang menyatakan bahwa banyak kesulitan yang ditemui oleh para siswa di dalam pembelajaran matematika di kelas dapat dihubungkan dengan ketiadaan saling pengertian wacana (discours) siswa, guru, buku teks, dan materi kurikulum (Ellerton dan Celments, 1990; Garaway, 1994).
Sepanjang sepuluh tahun yang lalu, sejumlah buku telah diterbitkan tentang bagaimana pengaruh faktor bahasa terhadap pembelajaran matematika (Orr, 1987). Beberapa di antaranya, peneliti pendidikan matematika tertarik akan bagaimana pengaruh faktor bahasa pada matematika, studi lebih awal tentang area ini dan mulai untuk mengadopsi suatu pendekatan yang lebih luas yang mana mereka menempatkan pekerjaan mereka di dalam wilayah sosial dan budaya yang lebih besar.

3. Kerangka yang berhubungan dengan Bahasa, Matematika, dan Pendidikan Matematika
Kerangka yang dikemukakan tahun terakhir oleh Ellerton (1989), dan yang diringkas pada model Gawned , menjawab kebutuhan ini untuk menghubungkan bidang faktor bahasa dalam pendidikan matematika. Kompleksitas model Gawned adalah konsistensi hubungan antara matematika, matematika sekolah, dan bahasa.
Kerangka dapat diikuti sebagai sebuah cross-section suatu keterhubungan dari 3-dimensi. Dari tingkat makro, kerangka menyatakan bahwa kultur adalah all-pervading, dan komunikasi di dalam kultur menjadi dasar yang penting. Dari tingkat mikro, pada sisi lain, isu berhubungan dengan pengajaran dan pelajaran matematika seperti penilaian, dwi bahasa, dan menulis matematika, merupakan bagian-bagian yang beririsan, dari kerangka ini.

Socio Linguistics
Clasroom discours
Natural Language



Problem Soving




Psycolinguistics

Mathematics Clasroom and Currikulum Implication
Curriculum Theory








Mathematics
Communication

Gambar 2. Suatu framework untuk menginterpretasikan faktor bahsa dalam pembelajaran matematika.
Kerangka tersebut tentu saja, tidak ditetapkan secara ketat. Kekuatan sesungguhnya, berada dalam kemampuannya untuk bereaksi terhadap perubahan berpikir dan melanjutkan riset. Riset terbaru seperti yang oleh Lave (1988), McBride (1989), Secada (1988), Voigt (1995), dan Walkerdine (1988), menyatakan bahwa basis teoritis baru sedang muncul dalam pendidikan matematika, dan bahwa suatu rekonstruksi metodologi riset sedang berlangsung.
Sebagian dari riset yang berkelanjutan memungkinkan untuk memandang apa yang terjadi di dalam kelas matematika dari perspektif baru yang berkaitan dengan matematika dan komunikasi.

C. MATEMATIKA DAN KOMUNIKASI
1. Komunikasi Matematika
Suatu gagasan tentang komunikasi akan nampak seperti suatu ramuan penting. Bagaimanapun, menyetem gagasan di dalam matematika mengabadikan bahasa yang mana hanya dapat diakses untuk beberapa akademisi terpilih. Niscaya, kebutuhan untuk penemuan riset pendidikan matematika mendukung pergerakan perubahan ke arah baru di dalam pendidikan matematika di negara-negara seperti Amerika Serikat (NCTM, 1989), dan Australia.
Sebagai dukungan terhadap artikel Ellerton dan Clarkson, komunikasi juga telah menjadi bagian penting dari pendidikan matematika (NCTM, 1996, 2000; Cai, 1996; Burton, 2000). Bahkan pada tahun 1993 Baroody (1993) telah menyatakan bahwa alasan penting mengapa komunikasi menjadi bagian dari pembelajaran matematika antara lain adalah (i) mathematics as language; matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir (a tool to aid thinking), alat untuk menemukan pola, atau menyelesaikan masalah namun matematika juga “an invaluable tool for communicating a variety of ideas clearly, precisely, and succintly, dan (2) mathematics learning as social activity; sebagai aktivitas sosial, dalam pembelajaran matematika, interaksi antar siswa, seperti juga komunikasi guru-siswa merupakan bagian penting untuk “nurturing children’s mathematical potential”.
Selain Baroody, Cai (1996) menyatakan bahwa ‘communication is concidered as the means by which teachers and students can share the process of learning, understanding, and doing mathematics.’
Ternyata komunikasi dalam matematika juga telah dikembangkan sejak lama, sebagai contoh salah satu kutipan dari Ellerton dan Clarkson mengutip tulisan Slaught yang ditulis tahun 1926, yang menyatakan bahwa menjadi suatu kesadaran kebutuhan untuk mengkomunikasikan pentingnya peran matematika dalam kurikulum sekolah yang lebih luas yang mana diilhami bab 'Matematicsa end the Publics'.
Ellerton dan Clarkson juga mengutip bahwa pada tahun 1936, telah dimasukan matematika sebagai 'tata bahasa ilmu pengetahuan, suatu bahasa untuk statemen dari semua hukum dan fakta ilmiah, penekanannya pada komunikasi sekitar matematika dalam pendidikan.

2. Komunikasi dalam pembelajaran matematika
Istilah ' komunikasi' di dalam kelas matematika di tahun 1990-an mengacu pada perbedaan aspek bahasa. Pada tahun 1996 buku tahunan NCTM, berisi 28 artikel terpasang 'Comunication in Mathematics K-12 and Beyond” sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelumnya. Masing-masing berhadapan dengan suatu aspek/pengarah komunikasi yang berbeda (Elliott dan Kenney, 1996).
Pada bagian ini Ellerton dan Clarkson membagi komunikasi kedalam empat bagian yaitu (a) wacana kelas (Classroom Discourse), (b) bahasa dan penilaian, (c) struktur semantik, dan (d) menulis (writing). Selain 4 macam komunikasi yang dikaji oleh Ellerton dan Clarkson, pada kajian komunikasi yang lain dibahas mengenai bagaimana membantu siswa yang lemah dalam membaca matematika, meningkatkan kualitas menulis matematika, merevisi pekerjaan siswa dan juga asesmennya (NCTM, 2000).

2.1. Wacana Kelas (Classroom Discourse)
Wacana (percakapan) di kelas matematika dapat dipandang sebagai pertukaran bahasa yang berlangsung di dalam kelas tersebut. Jika dipandang dari berbagai perspektif- dari teori, sosial, dan perspektif ilmu bahasa (Cobb, 1990), maka analisis percakapan matematika di kelas dapat membantu peneliti untuk memahami interaksi berlangsung secara efektif dalam membingkai pembelajaran yang terjadi. Masalah ini menurut Ellerton juga dikaji oleh Atweh (1993), yang mengadopsi suatu 'perspektif sosiologi kritis sosial' di dalam penelitiannya etnografi dalam kelas matematika, dan Kanes ( 1992, 1993), juga Wittgensteinian menggunakan konsep tentang “language-game’, (bahasa permainan), 'form of life' (format hidup), dan 'family resemblance' (kemiripan keluarga), yang digunakan untuk pembelajaran matematka yang mempunyai tujuan sebagai konteks sosial dan bahasa yang mereka telah peroleh. Mereka berargumentasi bahwa matematika dapat dipelajari memalui bahasa di banding melalui pemikiran (thinking).
Pimm (1987) menggunkan istilah 'bercakap dengan diri sendiri' ('talking for oneself') dan 'bercakap dengan orang lain' (talking for others') untuk melukiskan dua format tentang percakapan di kelas
Adalah penting untuk menyadari bahwa percakapan siswa di dalam sekolah, akan mempengaruhi peran guru, yang mana pengaruh tersebut dapat dikemukakan dan dibicarakan. Sebagai contoh, siswa sering mengharapkan guru untuk memelopori, untuk memutuskan dan mengendalikan apa yang terjadi, dan menyajikan pengetahuan yang akan diperoleh siswa.
Hal penting adalah fakta bahwa interprestasi istilah 'komunikasi', negosiasi' dan reponsibility' akan bertukar-tukar tergantung pada perspektif pembaca.

2.2 Menetapkan Format Baru dari Wacana (Discourse)
Beberapa penulis sudah mendukung mengubah struktur dan format dari pertanyaan yang membingkai percakapan di kelas. Stigler dan Baranes (1988), sebagai contoh, yang berargumentasi bahwa kelas di Jepang: a) siswa-siswa diharapkan untuk menjadi lebih lama sibuk diskusi tentang permasalahan; b) atmospir yang lebih divergen daraipada konvergen, dan c) kesalahan dapat dilihat idari titik awal diskusi.

2.3 Open-Ended atau Goal-Free Problems
Sebagai bagian dari arah merekonstruksi pola percakapan kelas matematika, pendidik matematika dituntut memiliki banyak penggunaan yang lebih luas yang disebut" open-ended” atau goal-free Question”. Pertanyaan tersebut akan merangsang dibanding dengan pertayanaan yang terbatas hanya pada konteks tertentu dari suatu tugas. Open-ended dikaji oleh Ellerton dan Clarkson karena open-ended merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika yang memberi peluang berkembangnya daya matematika (mathematics power) dengan cara memberi keleluasaan berpikir siswa secara aktif dan kreatif (Shimada & Becker, 1997).
Penggunaan open-ended telah disatukan di dalam kurikulum matematika di beberapa negara-negara, seperti Jerman (Pehkonen, 1995); Amerika Serikat (NCTM, 1995), dan di Australia (Stacey, 1995). Walaupun sampai sekarang belum ada kesepakatan apa yang dimaksud dengan open-ended question. Pehkonen (1995), menguraikan dari hasil diskusi kelompok psikologi pendidikan matemtika bahwa open ended question adalan bukan pertanyaan tertutup (closed).
Suatu masalah telah digambarkan sebagai “closed” jika jawabanya ‘tertutup'. Pehkonen menguraikan tiga jenis permasalahan terbuka:
a) permasalahan di mana situasi permulaan tertutup, tetapi tujuan situasi dibentuk terbuka; b) permasalahan di mana mulai situasi dibentuk terbuka tetapi tujuan situasi tertutup, dan c) permasalahan di mana kedua-duanya permulaan dan tujuan situasi bersikap terbuka.

D. BAHASA DAN ASESMEN
1. Tradisional Pencil and Paper Tests tentang matematik dan bahasa
Sepanjang 1990's, masyarakat pendidikan matematika telah menekankan pada kebutuhan untuk mengembangkan metoda otentik untuk mengases belajar siswa. Walaupun demikian tes pensil dan kertas (pencil and paper tests); jawab pendek/singkat dan tes pilihan telah secara luas digunakan di seluruh dunia untuk menaksir hasil belajar matematika sekolah. Masalahnya adalah pencil and paper test sulit untuk mengungkap mengapa siswa memberi jawaban salah atau benar. Alasan iini perlu dicari jawabnya. Kelemahan lain dari pencil and paper tests adalah tidak dapat mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi (Johnson & Johnson, 2002).
Ellerton dan Clarkson, memberikan suatu prosedur yang dikembangkan oleh Newman dalam memeriksa siswa dalam memecahkan masalah matematika yang diarahkan pada pertanyaan apakah mereka dapat: a) membaca pertanyaan; b) memahami apa yang mereka telah baca; c) membawa kepada suatu bentuk perubahan mental dari kata-kata pertanyaan kepada pemilihan dari suatu strategi matematika yang sesuai; d) Menerapkan ketrampilan proses yang dituntut oleh strategi yang terpilih; dan e) menuliskan jawaban (endcode) dalam suatu bentuk yang bisa diterima.
Analisis data berdasar pada prosedur Newman itu sudah menggambarkan perhatian khusus kepada pengaruh faktor bahasa pada pembelajaran matematika. Dan sangat menantang pendidik matematika dan para guru untuk menggambarkan kembali apa yang menjadi ‘basis' dalam matematika sekolah. Penelitian Newman telah menghasilkan sejumlah besar bukti yang menunjuk kesimpulan; seperti anak-anak mengalami kesukaran dengan struktur semantik, kosa kata, dan simbolisme matematika dibanding dengan algoritma baku.

2. Gaya Penilaian (Modes Assessment) pada faktor-faktor bahasa
Prosedur asesmen alternatif diklaim secara luas telah dapat memberi perspektif berbeda pada pemahaman matematika siswa yang ekspresif dan reseptif. Suatu ikhtisar batasan atas penilaian otentik kelas sebagai strategi yang mungkin minimalkan batasan ini Clarke dan Jasper ( 1995). Model-model ini juga dikembangkan sampai saat ini penilaian otentik, portfolio, rubrik (Johnson & Johnson, 2002; NCTM, 2000).
Strategi penilaian meliputi: catatan daftar kelas, test praktis, siswa membangun materi test, self-assessment siswa, jurnal matematika siswa, portfolio matematika siswa, investigasi proyek siswa, dan solusi student-generated permasalahan yang menantang. Sebanyak enam dari delapan strategi melibatkan siswa yang menyatakan pemahaman matematika. Dengan begitu diusulkan bahwa penggunaan bahasa siswa yang ekspresif menjadi peran penting di dalam penilaian.

3. Struktur Semantik
Ellerton dan Clarkson, juga mengambil contoh dari Burn mengenai penggunaan kata-kata yang efektif di dalam pembelajaran matematika. Di dalam prinsip yang pertama untuk prinsip ini, ia meramalkan ilmu semantik itu mungkin menjadi 'ilmu pengetahuan yang menjelaskan bagaimana bahasa mempengaruhi perilaku, terutama berpikir.
Contoh yang diberikan sebagai berikut:
John mempunyai 15 sen, dan ia mendapatkan lagi 10 sen. Berapa banyak uang dimiliki John? murid boleh mengasosiasikan 'lebih” dengan “penambahan’. Ketika murid yang sama bertemu dengan keadaan itu: 'John mempunyai 15 sen, tetapi untuk menonton bioskop ia menginginkan biaya-biaya 25 sen. Berapa banyak ia memerlukan? di dalam konteks lain; menyatakan pengurangan.
Hasil analisis dari studi Newman adalah kesalahan terbaru menyertakan 101 dari tahun ke 7 para siswa di Malaysia dan 61 para siswa tahun ke 7 di Australia mencakup pertanyaan matematika dengan berbagai struktur semantik, hasil menunjukkan bahwa struktur semantik merupakan variabel yang paling rumit yang mempengaruhi pemahaman. Seperti itu, sebagai contoh, 74 persen dari contoh orang Malaysia dan 70 persen anak Australia memberi tanggapan salah kepada pertanyaan yang berikut (yang disampaikan dalam Bahasa Melayu untuk para siswa yang orang Malaysia, dengan nama 'Radiah' digunakan sebagai ganti ' Roslyn'):
Roslyn adalah 12 hari lebih tua dari Mary. Jika hari lahir Roslyn's adalah 29 Januari, pada tanggal berapa Mary lahir?

Struktur semantik mempunyai pengaruh penting pada pembelajaran dan mutu keikutsertaan pada percakapan matematika di kelas dibanding variabel bahasa seperti kosa kata. Ada dua daya dorong utama di dalam literatur psycholinguistic yang concern terhadap pengaruh struktur semantik pada permasalahan yang mungkin seperti: penambahan, pengurangan atau multiplikatif (perkalian). Struktur semantik tentang 'perkalian' dan 'pembagian telah menjadi pokok penelitian besar-besaran.
Beberapa acuan berkaitan dengan penambahan dan pengurangan telah dibuat.
Sebagai contoh:
Siswa kelas (tingkat) 3 diharapkan telah mampu:
c. membaca dan menulis statemen yang menyertakan yang empat operasi (18-(24-7)= 1);
d. menghungkan alternatif ungkapan bahasa sehari-hari ungkapan perhitungan ( 45/5=? mungkin dibaca 'Berapa 45 dibagi oleh 5?' atau 'Berapa banyak 5 dalam 45?'.
Pada kelas 4, kurikulum matematika meliputi konsep penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian bilangan sedemikian sehingga para siswa dapat:
e. Mengembangkan makna operasi dengan model dan mendiskusikan suatu variasi situasi masalah;
f. Menghubungkan simul mathematical dan bahasa tentang operasi ke situasi masalah dan bahasa informal;
g. Mengenali bahwa suatu struktur masalah yang luas dapat diwakili oleh operasi tunggal;
h. Mengembangkan sense operasi (sense operation)

E. WRITING IN MATHEMATICS CLASROOM
Dugaan 'menulis untuk belajar matematika' telah digunakan untuk menguraikan, di dalam terminologi yang luas, sebuah pendekatan dari mengajar dan belajar yang mana telah digunakan terus meningkat, di seluruh dunia, di sepanjang dekade.
Berikut lima format ''writing mathematics' telah diidentifikasi oleh Ellerton dan Clement:
a) pendekatan proses/conference;
b) problem posing,
c) menulis jurnal;
d) monitoring interaktif tentang pembelajaran matematika siswa, dan
e) laporan proyek investigasi matematika.
Menginvestasi dari 'writing mathematics' meliputi penggunaan cerita dari lliteratur anak-anak (Griffiths dan Clyne, 1993; Williams, 1993), dan penggunaan tentang teknik proyeksi, seperti menulis surat, dan memikirkan permasalahan untuk teman sekelas yang mempunyai kesalahan pada matematika ( Ellerton, 1988).

E.1. Agenda Riset untuk “Writing Mathematics Movement”
Agenda Riset yang berikut untuk berbagai format ''writing in mathematics'' telah diusulkan oleh Ellerton dan Clements ( 1992c):
E.1.1 Isu Riset yang berkenaan dengan siswa.
Jika siswa mengambil bagian secara teratur dalam format 'writing mathematics'', apakah mereka sama dengan:
a. performa siswa yang tidak mengambil bagian 'menulis matematika' pada test matematika standar, skill, konsep, dan prinsip?;
b. kesiapan pemahaman matematika mereka dengan dunia pribadi mereka?
c. performa siswa menjadi lebih efisien dan efektif pada monitoring pemikiran matematika mereka sendiri sedemikian sehingga mereka meningkatkan pemecahan masalah mereka sendiri dan problem-posing?
d. mengembangkan sikap yang positif (sebagai contoh, liking/disliking, cofident) dalam merespon matematika dan situasi matematika? Khususnya, apakah siswa mungkin mengembangkan rasa kepemilikan atas matematika yang mereka bangun atau menulis tentang matematika?
e. menjadi lebih sadar akan kemampuan diri sendiri, sikap dan pilihan di dalam matematika, dan untuk disiapkan dalam memodifikasi respon sendiri sebagai refleksi diri?
E.1.2 Isu Riset yang berkenaan dengan para guru.
Sedikitnya tiga isu berhubungan dengan para guru:
a. dari suatu segi pandangan guru, apakah 'writing mathematics' akan menghabiskan waktu atau dari pandangan siswa waktu yang baik bagi segi pengembangan pemahaman matematika dan sikap positif siswa?;
b. dari suatu segi pandangan cost-benefit, guru menyediakan catatan pekerjaan matematika dengan data diagnostik yang bersifat prediksi dan berharga untuk membenarkan waktu yang digunkan untuk menghasilkan catatan, dan guru membaca dan mengomentari catatan siswa, dan untuk memelihara arsip bersangkutan?;
c. Pertanyaan etis tertentu: sebagai contoh, apakah para guru yang berhak menilai jurnal siswas?
E.1.3 Suatu isu riset untuk pengembang kurikulum.
Dari sudut pandangan pengembang kurikulum, tipe baru dari mathematical writing dituntut diperluas melalui proyek (seperti investigasi proyek yang menunjuk pada 'Bahasa dan Asesmen') dari bermacam-macam tipe writing untuk meningkatkan kemampuan matematika. Apakah ini suatu pembenaran yang kuat untuk memodifikasi kurikulum dan penilaian?

E.2 Dasar Teoritis Writing In Mathematics
Pendekatan yang intuitif mengenai writing in mathematics akan nampak memberikan dampak pada berpikir tentang pendidik matematika dan peneliti pendidikan matematika sepanjang dekade terakhir.
Banyak artikel yang membahas tentang keterlibatan siswa di dalam aktivitas menulis di kelas matematika, contoh tulisan siswa sering dimasukkan untuk dibahas. Suatu usaha yang dibuat untuk menghubungkan fokus yang tertentu pada Writing mathematics kepada kerangka teoritis, atau kepada dugaan yang 'writing' menghadirkan salah satu gaya komunikasi yang ekspresif
Pentingnya suatu kemampuan untuk membentuk soal telah dikenal oleh Einstein dan Infeld (1938), yang menulis: 'Perumusan suatu masalah/soal adalah sering lebih penting dibanding solusinya.
Writing merupakan bagian penting dari komunikasi. Dalam buku Mathematics: Applications and Connections disebutkan bahwa salah satu tujuan adalah memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk mengembangkan dan mengintegrasikan ketrampilan berkomunikasi melalui modeling, speaking, writing, talking, drawing serta mempresentasikan apa yang telah dipelajari (Collins, dkk, 1995).
Baru-baru ini, Bruner (1996) telah menyatakan bahwa seni membingkai pertanyaan niscaya sama penting dan seperti seni memberi menjawab. Di Australia sebagai contoh (Australian Education Council, 1991), para siswa perlu terlibat dalam aktifitas matematik yang mendorong problem posing, pemikiran divergen, refleksi dan ketekunan. Mereka diharapkan untuk mengejar strategi alternatif, dan untuk membentuk dan mencoba untuk menjawab pertanyan matematika sendiri'. Di Amerika Serikat, The Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics, (NCTM, 1989) menyatakan bahwa ‘para siswa menurut tingkat 9-12 mempunyai pengalaman dalam mengidentifikasi dan merumuskan permasalahan mereka sendiri, suatu aktivitas yang berada di pusat “doing mathematics’'.

E.3 Jurnal Writing in Mathematics Classrooms
Clarke, Waywood dan Stephens ( 1993), menganalisa kembali data yang berhubungan dengan suatu studi jurnal “writing” yang melibatkan 500 siswa, dan mengembangkan suatu analisis dan presentasi data studi.
Suatu studi di mana beberapa ratus contoh tentang penjalasan siswa yang ditulis selama dua tahun telah diuji dilaporkan oleh Shield ( 1995a), dan pekerjaan yang dibangun pada yang dilaksanakan oleh Shield (1995b) dan Shield dan Swinson (1994).
Berikut jenis pengembangan yang dihasilkan oleh siswa telah diidentifikasi yakni:
a. inti: definisi atau prosedur laporan umum;
b. tujuan: statemen yang mengidentifikasi prosedur atau konsep itu diterangkan;
c. demonstrasi: contoh yang dikerjakan konsep atau prosedur dengan: (a) penyajian simbolis, (b) uraian lisan, (c) penyajian diagrammatic, dan (d) statemen
d. pertimbangan: statemen yang membenarkan bagian-bagian dari prosedur dalam kaitan dengan gagasan dikenal;
e. mata rantai: acuan ke pengetahuan atau pengalaman sehari-hari;
f. praktek: berlatih untuk dicoba oleh pembaca seperti [oleh/dengan] modeling pada [atas] demonstrasi [itu].
(Shield, 1995)

Apakah “Write in Mathematics Classrooms” suatu hal yang alami?
Apa dan bagaimana cara anak-anak mengkomunikasikan matematika di kelas? Sebagian besar interaksi di (dalam) kelas berasal dari reaksi siswa kepada agenda guru. Semata-mata adalah bahwa writing-in-mathematics akan datang menjadi hal utama yang dikaji oleh para ahli matematik, para siswa, orang tua dan para guru, sebagai muatan kurikulum matematika.
Masih, yang tersembunyi di dalam dugaan adalah seluruh inti sari matematika sendiri. Oleh karena itu, adalah untuk menciptakan lingkungan di mana menulis matematika menjadi suatu format alami, yang kreatif dan komunikasi ekspresif.

F. KULTUR, BAHASA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
Glen Lean, seorang pendidik matematika memperkenalkan untuk belajar berasal dari pribumi tentang sistem menghitung di kepulanan Oceania, Polinesia dan Melanesia, ia menyelidiki hubungan antara sekitar 2000 sistem berbeda. Bishop (1988) telah mengembangkan disertasi itu bahwa semua masyarakat berasal dari/pribumi mempunyai format matematika sendiri.
Gay dan Cole's (1967) meriset oleh suatu kebutuhan untuk memahami mengapa anak-anak di Liberia) kesukaran yang telah yang menangani 'matematika yang baru' di sekolah Westemised mereka.
Harris (1987), di (dalam) analisa konsep pengukuran pada masyarakat penduduk asli di Australia, mencapai kesimpulan serupa. Harris yang telah mengajar siswa dari penduduk asli selama bertahun-tahun, dan adalah memperhatikan kesukaran yang besar siswa penduduk asli dengan kurikulum barat.
Riset melibatkan analisis ilmu bahasa, bahasa tentang penduduk asli, disimpulkan bahwa anak-anak Australia kulit putih berbahasa Inggris, sebagian besar tinggal di situasi perkotaan mempunyai kemamampuan yang berbeda anak-anak penduduk asli.
Penelitian berkaitan hal ini (3 tahun setelah artikel Ellerton), dilakukan penelitian oleh MacGrcgor dan Elizabeth Price, pada tahun 1999, yang berjudul An Exploration of Aspects Of Language Proficiency and Algebra Learning. Mac Gregor dan Elisabet mengexplorasi apakah 3 komponen kognitif dari kecakapan bahasa--metalinguistik, sintaksis, dan kerancuan (ambiguity)—berhubungan dengan kesuksesan siswa dalam mempelajari notasi aljabar.

G. DWI BAHASA DAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Di seluruh dunia, terutama sekali mereka yang kota besar besar, anak-anak sedang belajar matematika di dalam dua atau tiga bahasa. Ada banyak kelas di mana bahasa pertama yang berbeda dengan bahasa kedua digunakan anak0anak di kelas. Karena faktor bahasa merupakan salah satu faktor dalam menentukan keberhasilan dalam belajar matematika maka isu berkaitan dengan dwi bahasa menjadi isu yang penting
Riset Secada dan Duran (1988), sebagai contoh, menyatakan bahwa ada suatu hubungan antara derajat tingkat dwi bahasa dan pemikiran logis. Secada's (1988) menggarisbawahi fakta bahwa riset perlu mencerminkan perspektif ini.
Program dua bahasa di Selandia Baru memusatkan pada Bahasa Maori. Suatu kerangka untuk mengajar matematika secara dua bahasa telah dikembangkan. Tujuan dari kerangka ini adalah untuk mengintegrasikan pendidikan matematika dan pendidikan dua bahasa dam budaya.
Apa yang dikaji oleh Ellerton dan Clarkson ini juga dikembangkan oleh Dawe (dalam Macgregor dan Elisabet, 1999) meyatakan bahwa siswa-siswa yang mempelajari bahasa kedua mereka (bahasa Inggris) tanpa suatu dasar yang cukup pada bahasa pertama (fist-language), mereka tidak pernah memperoleh kecakapan bahasa sebagai pondasi untuk pembelajaran (akademis). Sebelumnya Mestre (1988) menunjukkan bahwa bahasa-minoritas siswa dalam situasi ini disebut sebagai "semilinguals", yakni penyebab dari ketidakcukupan di dalam program dua bahasa. Ia mengusulkan “semilingualism” itu sebagai penyebab dari prestasi siswa minoritas di U. S. di dalam matematika rendah. Demikian juga Lambert pada tahun 1975 (dalam Mac Gregor, 1999) telah menunjukkan bahwa dalam dwi bahasa pada lingkungan tertentu nampak untuk meningkatkan pertumbuhan kognitif.

H. KESIMPULAN
Faktor-faktor bahasa dalam pembelajaran matematika telah menjadi fokus perhatian dan penelitian di sejumlah negara. Oleh karena itu faktor-faktor ini mejadi pertimbangan bagi pengembang kurikulum matematika.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) mata pelajaran matematika yang akan segera diterapkan telah menempatkan faktor-faktor bahasa ini, seperti pada kurikulum tersebut telah menempatkan pentingnya komunikasi matematika pada mata pelajaran matematika, di samping pemahaman, penalaran dan pemecahan masalah. Hal ini tampak antara lain pada: (a) fungsi dan tujuan, yang menyebutkan bahwa masalah atau informasi sering disampaikan orang dengan bahasa matematika, misalnya menyajikan persoalan atau masalah ke dalam model matematika, (b) mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa metematika justru lebih praktis, sistematis dan efisien, (c) matematika dapat digunakan sebagai alat komunikasi informasi atau ide dalam menjelaskan gagasan, misalnya melalui pembicaraan (lisan), catatan (tulisan), grafik, diagram, tabel dan sebagainya (KBK, 2002).
Dalam kompetensi lintas kurikulum (KLK) disebutkan bahwa salah satu kompetensi yang harus dimiliki siswa adalah menggunakan bahasa untuk memahami, mengembangkan, dan mengkomunikasikan gagasan dan informasi, serta untuk berinteraksi dengan orang lain. Juga pada kompetensi umum bahan kajian matematika disebutkan bahwa dengan belajar matematika siswa diharapkan memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, grafik untuk memperjelas keadaan atau masalah.
Artikel yang ditulis oleh Ellerton dan Clarkson dapat dijadikan sebagai salah satu kajian teoritis di dalam mengembangkan kurikulum matematika sekolah, di samping kajian teori yang lain.


DAFTAR PUSTAKA


Cai, Jinfa. 1996. Assessing Students’ Mathematical Communication. Official Journal of the Science and Mathematics Volume 96 No 5 Mei 1996. hal: 238-246

Ellerton, Nerida & Clarkson, Philip. (1996). Language Factors in Mathematics Teaching and Learning. A.J. Bhisop et al. International Handbook of Mathematics Education, 987-1033. Netherlands: Kluwer Academic Publishers

Johnson, David & Johnson, Roger T. (2002). Meaningful Assessment. London: Allyn and Bacon.

Huinker, D & Laughlin, C. (1996). Talk You Way into Writing. In. P. C. Elliot and M.J. Kenney (Eds). Years Book 1996. Communication in Mathematics K-12 and Beyond. USA:NCTM

Kurikulum Berbasis Kompetensi: (2002). Kurikulum dan Hasil Belajar Mata Pelajaran Matematika Sekolah Lanjutan Tinggkat Pertama dan Madrasah Tsanawiah. Puskur: Depdiknas

MacGrcgor, Mollie dan Elizabeth Price. (1999). An Exploration of Aspects Of Language Proficiency and Algebra Learning. JRME. Vol. 30. No.4 hal 449-467

National Council of Teachers of Mathematics. 2000. Mathematics Assessment: A Praktical Handbook For Grades 6-8. Reston, Virginia: NCTM

Shimada, S & Becker, J.P. (1997). The Open-Ended Opproach: A New Proposal for Teaching Mathematics. Virginia: NCTM.

Usiskin, Z. (1996). Mathematics as Language. In. P. C. Elliot and M.J. Kenney (Eds). Years Book 1996. Communication in Mathematics K-12 and Beyond. USA:NCTM

Tidak ada komentar: