Jumat, 28 November 2008

PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Pembelajaran Matematika Sekolah

http://myscienceblogs.com/matematika/2007/07/09/pembelajaran-matematika-sekolah/
Steve Olson dalam buku Count Down, Six Kid Vie for Glory at the World’s Toughest Math Competition, mengisahkan perbedaan pengajaran matematika di Amerika dengan di Jepang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Stigler sebagai bagian dari program Third International Mathematics and Science Study, ia menemukan kesamaan diantara 81 kaset video yang merekam aktivitas belajar kelas matematika tingkat delapan di Amerika.

Sang guru biasanya memulai dengan mengulas materi-materi yang dibahas kali sebelumnya, seringkali dengan memeriksa pekerjaan rumah. Mereka kemudian menunjukkan cara-cara matematika yang dipelajari hari itu, misalnya mengalikan pecahan atau menghitung luas. Para siswa kemudian diberikan lembar soal berisi latihan-latihan, kemudian para siswa mulai mengerjakannya. Menjelang kelas berakhir, beberapa latihan dibahas dan pekerjaan rumah diberikan (Steve Olson, ’’Count Down”, Gunung Pi).
Pengajaran matematika di Jepang relatif berbeda. Kelas dimulai dengan pengantar singkat, kemudian guru menyajikan satu soal yang cukup sulit dan tidak mengajarkan siswa cara memecahkan soal tersebut. Para siswa lalu mengerjakan sendiri soal tersebut, baik mandiri maupun berkelompok, sambil diawasi oleh guru yang berkeliling untuk melihat berkembangan dan memberikan saran-saran. Setelah sepuluh atau 15 menit, salah seorang siswa diminta untuk mempresentasikan apa yang diperolehnya di depan kelas, dengan masukan dari guru jika siswa tersebut mengalami hambatan.
Cara serupa dilakukan oleh Titu Andreescu, pelatih Tim Olimpiade Amerika asal Rumania. Pada tahun 1994, tak lama setelah Titu menjadi asisten pelatih, keenam anggota tim Amerika meraih nilai penuh atas keenam soal yang diajukan pada Olimpiade di Hongkong. Tahun berikutnya, Titu diangkat menjadi kepala pelatih tim Olimpiade. Pria yang pernah memperkuat Tim Olimpiade Rumania pada tahun 1973 ini, beranggapan pemberian soal yang menantang adalah kunci pendidikan yang berhasil.
Perbedaan pendekatan terhadap pengajaran matematika ini juga berdampak pada cara pandang. ”Di Rumania, ketika orang tahu kau seorang matematikawan, mereka akan bilang, ’Aku dulu pintar matematika.’ Dan yang bicara begitu adalah sopir taksi. ’Matematika adalah pelajaran favoritku.’ Itulah sebabnya tim-tim dari Eropa Timur berhasil dengan baik, karena matematika adalah bagian dari budaya mereka. Di sini(Amerika), guru-guru sekolah dasar dan sekolah menengah banyak yang membenci matematika. Bagaimana bisa mereka mengajar matematika kalau mereka membencinya? Ketika delapan dari sepuluh orang di negeri ini mengetahui bahwa aku adalah matematikawan, mereka bilang, ’Ya ampun, aku amat parah dalam matematika’, ” ujar Titu.

Paul Zeitz, peserta Olimpiade Matematika tahun 1974 dari Amerika, mencoba menerapkan pemberian soal yang menantang pada murid-muridnya. Selama menjadi pengajar matematika selama 5 tahun di sekolah asrama Colorado Springs, Zeitz diberi kebebasan untuk membuat kurikulum. Mengenalkan soal-soal dengan tingkat kesulitan tinggi, menurut Zeitz, mencegah anak-anak cerdas bosan, sekaligus membuat yang lain merasa santai karena tak ada sederet prosedur kaku untuk mengerjakan soal. ”Kau harus berpetualang dan tidak perlu mencemaskan konsekuensinya,” ujarnya.
http://zainurie.wordpress.com/2007/11/17/pola-pikir-matematika-melalui-pendekatan-matematika-realistik-rme/


Sekolah Dirancang Untuk Menghasilkan Orang-orang Gagal
http://mathe-magics.com/viewarticle.php?det=15&lang=
Judul di atas terkesan sangat provokatif, bukan ? Saya sengaja membuka tulisan ini dengan statement yang keras dan menggugat. Namun jangan salah mengerti. Saya bukan tipe orang yang anti pendidikan formal. Saya sendiri adalah seorang pendidik, lebih tepatnya Re-Educator, yang sangat concern dengan kondisi pendidikan di tanah air. Apa yang saya tulis di bawah ini merupakan kristalisasi hasil belajar saya atas pemikiran para pakar pendidikan seperti Paulo Freire, Ivan Illich, Drost, Everett Reimer, John Holt, Alfie Kohn, Neil Postman, dan William Glasser, ditambah dengan perenungan dan pengalaman pribadi.
Proses pendidikan atau lebih tepatnya pembelajaran yang terjadi di sekolah selama ini sangat jauh dari praktik pembelajaran yang manusiawi, yang sesuai dengan cara belajar alamiah kita. Konsep ?belajar? yang diterapkan telah sangat usang dan merupakan warisan dari jaman agraria dan industri.
Kembali saya ulangi, masalah utama yang ada dalam sistem pendidikan kita adalah sekolah memang dirancang untuk menghasilkan anak gagal. Ini semua sebagai akibat dari sistem pengujian kita yang menggunakan referensi norma, yang sangat mengagungkan penggunaan kurva distribusi normal atau kurva lonceng (Bell Curve). Kurva distribusi normal ini mengharuskan ada 10% anak yang prestasinya rendah, 80% rata-rata, dan 10% yang berprestasi cemerlang.
Bulan lalu dalam dua kesempatan yang berbeda saya memberikan pelatihan untuk para kepala sekolah SD Negeri dan Pengawas (tingkat TK dan SD) se kabupaten/kota Jawa Timur. Saat bertanya, ?Bapak / Ibu, jika anda punya 40 orang murid dalam satu kelas, dan saat ujian semua dapat nilai 100, anda sukses atau gagal ??. Bak paduan suara yang sangat kompak, serentak mereka menjawab, ?Gagal...?. ?Lho, koq gagal?, tanya saya. ?Ya Pak, kalau semua dapat 100 maka pasti soalnya terlalu mudah, atau gurunya yang tidak bisa membuat soal?, jawab mereka kompak.
Saya lalu mengejar dengan pertanyaan, ?Bapak dan Ibu, misalnya anda diminta mengajar 40 orang anak memasak nasi goreng sea-food spesial. Kalau semua belum bisa (saya tidak menggunakan kata ?tidak bisa?) memasak nasi goreng seperti yang anda inginkan, apa yang akan anda lakukan ??. ?Ya, kita akan mengulangi lagi sampai si anak benar-benar bisa?, jawab mereka. ?Sekarang, kalau semuanya berhasil memasak nasi goreng yang sangat enak, anda berhasil atau gagal ??, tanya saya lagi. ?Wah, kalau semuanya bisa, ini berarti kita sangat berhasil Pak?, jawab mereka. ?Kalau begitu apa bedanya antara mengajar anak memasak nasi goreng dengan mengajar anak suatu pelajaran, misalnya matematika atau bahasa Inggris ??, kejar saya lagi. Kali ini semuanya diam dan tidak bisa berkomentar.

Saya lalu menjelaskan mengenai kurva distribusi normal yang sebenarnya, kalau menurut pendapat saya pribadi, tidak normal. Mendapat penjelasan ini para peserta akhirnya bisa memahami apa yang saya sampaikan. Saat break saya menemukan satu hal yang sangat menarik. Para kepala sekolah dan pengawas ini sadar bahwa apa yang saya sampaikan itu memang benar dan memang seharusnya demikian cara kita mendidik murid. Namun mereka terikat pada aturan main (baca: sistem pendidikan). Mereka merasa tak berdaya karena bila mereka bersikeras untuk tidak mau mengikuti arus maka mereka akan mendapat kesulitan.

Saya lalu menceritakan keberhasilan kawan saya, Bpk. Danang Prijadi saat mengajar mata kuliah Dasar Filsafat di satu universitas ternama di Surabaya. Ada 3 kelas pararel, masing-masing berisi 40an mahasiswa, dengan dosen yang berbeda. Saat ujian, 95% dari murid di kelas Pak Danang mendapatkan nilai A, sisanya yang 5% dapat nilai B dan C. Hal ini sangat mengejutkan pihak universitas dan dosen lainnya. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi ? Bukankah ini menyalahi kurva distribusi normal ? Dan yang lebih ciamik lagi, soal yang diujikan bukan disusun oleh Bpk Danang, tapi disusun oleh tim tersendiri.

Tujuan kita mengajar anak adalah agar anak bisa menguasai apa yang diajarkan, tidak peduli apa cara yang digunakan. Yang penting ujung-ujungnya anak bisa menguasai dengan baik apa yang diajarkan. Kalau cara mengajar yang digunakan di sekolah kita terapkan untuk mengajar anak kita, yang masih kecil, belajar bicara atau berjalan, maka pasti kita akan ?shocked? karena ternyata, dengan sistem penilaian yang digunakan di sekolah, anak-anak kita akan masuk kategori anak yang ?idiot?. Mengapa masuk kategori ?idiot? ? Karena anak-anak kita ?gagal? terus. Nilai mereka selalu Do ? Re ? Mi alias 1 , 2, atau 3.

Dalam hampir setiap kasus yang pernah saya temui, bila ada timbul masalah belajar biasanya kita hanya melihat pada sisi anak. Jarang sekali kita melihat dan mencari tahu peran yang dimainkan oleh sekolah dan sistem pendidikan kita hingga masalah muncul. Anak yang dianggap bermasalah biasanya akan diterapi melalui BK (bimbingan konseling) dan kalau masih tidak bisa menjadi anak yang ?baik? , anak ini dikeluarkan. Di sini terlihat bahwa sebenarnya anak tidak ?Drop Out? tapi ?Pushed Out?.

Lalu, apa sih sebenarnya ujian itu ? Untuk kondisi saat ini, ujian adalah suatu cara untuk mengetahui kecepatan mengingat kembali (recall), suatu informasi yang telah dihapal sebelumnya (register), dan menggunakan (apply) informasi yang telah diingat kembali untuk menjawab soal ujian, bukan menjawab persoalan hidup. Singkatnya, ujian saat ini hanyalah menguji kemampuan menghapal. Celakanya, sekolah tidak pernah mengajarkan anak didik teknik, cara, metode, atau strategi menghapal yang baik dan benar, yang sesuai dengan cara kerja otak dan pikiran dalam menyerap informasi.
Sistem ujian kita menggunakan sistem closed-book atau buku tertutup. Praktek ini didasari oleh asumsi bahwa kemampuan mengingat suatu pengetahuan jauh lebih berharga dari pada kemampuan untuk mencari sumber pengetahuan. Ujian closed-book ditambah lagi murid tidak boleh kerja sama akhirnya sangat membebani anak didik.Tolong jangan salah mengerti. Saya juga tidak setuju bila anak nyontek. Tapi kalau memang bisa mengapa kita tidak mengajarkan cara belajar kolaborasi ? Sistem closed-book mempunyai beberapa keburukan lainnya. Cara menguji seperti ini memberikan beban ekstra bagi anak. Anak yang sangat pintar dalam hal aplikasi akan mendapat nilai jelek bila ia lupa rumus atau definisi. Bila kita mengacu pada hirarki kognisi seseorang, sesuai dengan taksonomi Bloom, maka cara ujian seperti ini hanya mengajarkan anak untuk berpikir pada level yang rendah, level menghapal saja. Kita tidak mengajar anak berpikir pada level yang lebih tinggi yaitu analisa, sintesa dan evaluasi.

Jadi, bila kita berbicara mengenai sistem pengujian, kebanyakan yang anak lakukan adalah suatu permainan yang tidak bermutu. Anak hanya belajar menghapal dan membeo. Anak tidak dibenarkan untuk berpikir kreatif dan inovatif. Agar lulus dan selamat, anak harus menjawab seperti yang diajarkan oleh guru dan harus sesuai dengan kunci jawaban yang dimiliki guru. Para pendidik saat ini telah merendahkan martabat dan kemampuan mahluk ciptaan Tuhan. Otak kita, yang memiliki kemampuan yang sangat luar biasa, dirancang untuk berpikir namun sistem pendidikan telah mereduksi fungsi otak hanya sebagai mesin foto kopi.

Setiap kegagalan yang dialami oleh anak di sekolah akan mengakibatkan konsep diri yang buruk. Padahal kita tahu bahwa konsep diri merupakan pondasi untuk keberhasilan di bidang apa saja dalam hidup. Dari pengalaman saya memberikan konseling, saya menemukan bahwa konsep diri yang buruk ini selalu berhubungan dengan berbagai kegagalan yang telah atau pernah dialami saat sekolah. Dan satu hal yang penting yang saya temukan adalah bahwa untuk bisa memperbaiki konsep diri yang sudah terlanjur negatip atau buruk kita perlu mencari dan mengingat kembali berbagai keberhasilan yang pernah kita capai (kisah sukses). Mengutip apa yang Glasser katakan, ?Tidak peduli berapa banyak kegagalan yang pernah dilakukan oleh seseorang di masa lalu, tidak masalah apa latar belakang, budaya, warna kulit, latar belakang sosial ekonomi, atau apapun itu, ia tidak akan bisa berhasil hingga ia, melalui suatu kesempatan, mulai mencapai keberhasilan dalam salah satu aspek kehidupan mereka?.
Saya percaya jika seorang anak, tidak peduli apapun latar belakangnya, dapat berhasil di sekolah, maka ia mempunyai kemungkinan besar untuk berhasil dalam hidupnya. Jika ia merasakan kegagalan dalam proses pendidikannya, baik itu pada tingkat SD, SMP, dan SMA, atau di PT / Universitas, maka kesempatannya untuk berhasil dalam hidup menurun drastis. Kalau kita hubungkan dengan proses pemrograman pikiran, maka semuanya akan tampak sangat gamblang. Anak yang telah terlanjur (diprogram untuk) percaya bahwa ia adalah seorang pecundang, bodoh, tidak bisa, dan selalu gagal, pasti akan menjadi seperti yang ia yakini. It?s a self-fulfilling prophecy.
Sudah saatnya kita mengubah sistem pendidikan kita menjadi suatu sistem yang benar-benar mampu memberdayakan anak kita. Merupakan tanggung jawab kita bersama untuk bisa membantu mengembangkan semua potensi yang dimiliki olah anak-anak kita, melalui proses pendidikan yang memanusiakan anak manusia.
Lalu bagaimana cara kita untuk bisa membantu anak berkembang ? Ada dua hal dasar, menurut Glasser, yang perlu diperhatikan berkenaan dengan kebutuhan anak. Yang pertama, kebutuhan akan cinta dan mencintai. Yang ke dua adalah kebutuhan akan rasa diri berharga.
Kebutuhan akan cinta dan mencintai ini merupakan hal yang paling mendasar yang perlu didapat oleh anak, dan berlaku sebagai pondasi untuk mencapai sukses. Jika seseorang mampu memberikan dan menerima cinta, dan mampu melakukannya secara konsisten dalam hidupnya, maka sampai pada tingkat tertentu ia bisa dikatakan berhasil.
Sering kali kita berpikir bahwa pemenuhan kebutuhan cinta dan mencintai ini hanya bisa dilakukan di rumah saja. Ternyata keyakinan ini salah. Banyak masalah yang timbul di sekolah, baik itu dalam bentuk murid yang tidak kooperatif, tidak ada motivasi belajar, masalah disiplin, murid yang nakal, dan masalah lainnya, semua berawal dari tidak terpenuhinya kebutuhan mendasar seorang anak yaitu cinta dan mencintai. Anak membutuhkan cinta tidak hanya dari rumah, tetapi juga di sekolah, baik itu dari gurunya maupun dari kawan-kawannya.
Sekolah lebih banyak memperhatikan kebutuhan dasar yang ke dua yaitu rasa diri berharga. Bagaimana sekolah bisa memenuhi kebutuhan rasa diri berharga? Untuk bisa mencapai rasa diri berharga dibutuhkan pengetahuan dan kemampuan untuk berpikir. Jika seorang anak masuk sekolah dan gagal dalam upaya memperoleh pengetahuan, belajar cara belajar, belajar berpikir yang benar ? berpikir level tinggi, belajar memecahkan masalah, maka kegagalan ini akan terus terbawa hingga anak menjadi manusia dewasa. Orangtua, lingkungan, dan masyarakat tampaknya tidak mampu memperbaiki kegagalan ini.
Dalam proses mengembangkan rasa diri berharga, dengan memiliki pengetahuan, mampu berpikir benar dan memecahkan masalah yang dia hadapi, seorang anak akan mempunyai rasa percaya diri yang kuat untuk belajar memberi dan menerima cinta. Paling tidak seorang anak mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan cinta, saat ia merasa dirinya berharga, sehingga ia dapat bertahan dalam menghadapi penolakkan.
Melalui cinta seorang anak akan mengembangkan motivasi untuk berhasil dan merasa diri berharga. Jika anak tidak belajar untuk bisa memberikan cinta maka anak akan menjadi anak yang sering merasa gagal. Hal ini terlihat pada anak yang terlalu dimanja dan terlalu dilindungi.
Cinta dan rasa diri berharga ini merupakan satu kesatuan yang sering kita hubungkan dengan identitas pribadi. Cinta dan rasa diri berharga dapat dipandang sebagai dua jalan untuk mencapai identitas pribadi yang berhasil. Bagi kebanyakan anak hanya ada dua tempat di mana mereka bisa mendapatkan identitas diri sebagai pribadi yang sukses yaitu di rumah dan sekolah.
Dalam konteks sekolah, cinta dapat diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab sosial. Bila anak tidak belajar untuk bertanggung jawab terhadap sesama, peduli dengan sesama, dan membantu sesama, maka cinta akan menjadi konsep yang lemah dan terbatas.

Adi W. Gunawan, lebih dikenal sebagai Re-Educator and Mind Navigator, adalah pembicara publik dan trainer yang telah berbicara di berbagai kota besar di dalam dan luar negeri. Ia telah menulis best seller Born to be a Genius, Genius Learning Strategy, Manage Your Mind for Success, Apakah IQ Anak Bisa Ditingkatkan ?, dan Hypnosis ? The Art of Subcsoncsious Communication. Adi dapat dihubungi melalui email adi@adiwgunawan.com
Nol Sama Dengan Tidak Ada ???……..
http://zainurie.wordpress.com/2007/06/12/nol-sama-dengan-tidak-ada/
Ditulis pada Juni 12, 2007 oleh zainurie
Dari semua bilangan, nol kelihatannya yang paling sederhana, paling mudah dipahami, dan mungkin ada yang menduka wajarnya yang pertama ditemukan. Tapi, apa betul begitu? Pengertian nol, tidak ada, kosong, hampa, ternyata cukup sulit memahaminya dan tidak jarang menimbulkan kebingungan. Ada pula yang mengelak membahasnya karena dianggap sudah jelas dengan sendirinya (trivial). Bahwa pengertian , tidak ada, sebagai lawan dari ada cukup pelik memahaminya. Ada yang bilang karena ia adalah negasi dari setiap kuantitas tertentu, oleh karenanya tidak hampa isi atau kandungan.
Sebaliknya nol mempunyai suatu kandungan yang sangat menentukan, sebagai garis –batasan- antara semua besaran positif dan negative, sebagai satu-satunya bilangan yang netral yang sesungguhnya tidak positif atau negatif Apakah berguna bicara tentang sesuatu yang tidak ada? (Pernyataan itu sendiri bertentangan, sesuatu mengacu pada yang ada , bukan?). Orang Junani kuno menganggap tidak berguna, tapi bagi orang India, sebaliknya. Orang Mesir kuno mungkin yang pertama sekali yang menggunakan sistem bilangan sekitar 5000 tahun yang lalu. Kendati sistem desimal sudah digunakan, bilangan nol belum dikenal.
Orang Junani jaman dulu, yang mengembangkan geometri yang menjadi dasar matematika modern, tidak pernah menggunakan lambang nol. Mereka kelihatannya bingung menghadapi bilangan ini. Sebaliknya, dalam tradisi agama Hindu orang dianggap mungkin berasal dari Tidak Ada dan mungkin kembali lagi ke situ, dan transisi ini bisa terjadi berulang-ulang.
Bagi orang India, nol sunya ( dalam bahasa India) berarti tidak ada, kosong, atau sesuatu yang tidak berarti jadi dapat diabaikan. Kelihatannya lambang nol berasal dari India dan mulanya dinyatakan dengan titik, seperti titik merah di dahi gadis untuk menambah kecantikannya. Lama kelamaan lambang ini berubah menjadi titik besar dan akhirnya menjadi 0, sehingga kita peroleh sistem bilangan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 0. India di abad 6 M sudah menggunakan sistem bilangan berbasis 10 (desimal), yaitu dari 1 s/d 9 dan kelipatan 10 dari sistem tadi, Ojadi 1 s/d 9, 10 s/d 90, dst. Lambang 0 digunakan untuk mengisi tempat yang belum terwakili dalam sistem tersebut sehingga diperoleh {1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 0}. Menambah lambang 0 dibelakang suatu bilangan berarti mengalikan bilangan tersebut dengan 10.
Brahmagupta, seorang astronom India pada thn 628 kemudian membuat aturan berhitung sbb: sunya “Bila (nol) ditambahkan ke atau dikurangkan dari suatu bilangan maka bilangan itu tidak berubah; suatu bilangan dikalikan dengan sunya menjadi sunya.” Dia juga mendefiniskan tak hingga sebagai hasil pembagian sembarang bilangan dengan 0 dan membuat aturan umum untuk mengalikan dan membagi bilangan positif dan negatif.
Menurut Genesis (Bibel), Tuhan menciptakan alam semesta dari tidak ada (penciptaan dari nihil). Apakah ada awal dan akhir dari A Brief History of Time waktu? Menurut Stephen Hawking ( ,Hikayat Sang Kala sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, ), waktu berawal dari Dentuman Besar (Big Bang) sekitar 14 milyard tahun yl. Teori ini masih menjadi topik pembahasan yang ramai di kalangan kosmolog dan memerlukan matematika yang sangat lanjut untuk memahaminya.
Dalam matematika hanya yang ada (terdefinisi) yang boleh menjadi bahan bahasan. Pengertian ‘ada’ di sini tidak perlu berbentuk materi yang dapat diraba, cukup ada dalam pikiran seperti garis lurus yang panjangnya tak berhingga, tidak ada dalam kenyataan. Karena itu suatu kajian sering dimulai dengan mendefinisikan apa yang akan dibahas, dan berusaha menjamin bahwa himpunan dari apa yang akan dibahas bukan himpunan kosong.
Dalam teori himpunan kita kenal himpunan kosong, lambang ø, yaitu himpunan yang tidak punya anggota. Contoh, himpunan laki-laki yang dapat melahirkan. Anggotanya tidak ada, nol, tapi himpunannya ada, ø. Apa bedanya 0 dengan ø? Lantas, himpunan {0}dengan {ø}, atau {ø,{ø}}, dst?
Dalam matematika kita tidak ingin dibatasi oleh ruang, waktu, maupun jarak. Badan boleh dikerangkeng tapi pikiran menerawang ke segala penjuru alam semesta, bebas! Semua materi di alam semesta (proton, electron, atom,dsb) berhingga banyaknya, tapi matematikawan senang bermain-main dengan lambang (tak hingga), suatu konsep yang juga cukup membingungkan.
Contoh, 2 * = ; 2 * - = - = 0 ? atau 2 * - = (2 * 1) * = ?; 0 * = ?
Ingat, bukan bilangan, karena tidak memenuhi sifat bilangan. Karena itu operasi bilangan (+, -, :, x) yang dikenakan pada lambang memberi hasil yang tidak konsisten. Ternyata tak hingga juga bermacam-macam. Banyaknya semua bilangan rasional antara 0 dan 1 tak hingga. Juga banyaknya bilangan real antara 0 dan 1 juga takhingga. Tapi yang terakhir ini jauh, jauh lebih banyak dari yang pertama, begitu banyaknya sehingga yang pertama dapat diabaikan banyaknya.
Aneh bin ajaib. Itulah matematika, musjkil, penuh misteri. Kenapa takut?
Dalam sistem bilangan, pengertian 0 bukan berarti tidak ada. Keberadaannya sama saja dengan bilangan lain, seperti 1, -10, 17, dsb. Salah satu cara agar mudah memahaminya ialah dengan menggunakan garis bilangan, seperti gambar berikut:



Contoh.
Kota A, B, dan C terletak pada satu garis lurus, C sebelah kiri A dan B sebelah kanan. Jarak AB 10 km dan jarak AC 5 km. Saya berada di A, jadi wajar kalau saya menggunakan pusat pengukuran di A, jadi jarak AA 0 km. Untuk membedakan arah maka saya dapat menggunakan arah ke kanan + dan arah ke kiri -. Ini hanyalah suatu kebiasaan. Jadi, titik 0, atau titik A, adalah titik awal pengukuran, tempat saya berada, dan letak (koordinat) titk B 10 , sedangkan titik C -5. ADA?








Perkembangan Pembelajaran Matematika
(Perjalanan Kurikulum Matematika Menuju Kurikulum Berbasis Kompetensi)
Oleh : Joko Subando, S. http://jokobando.tripod.com/index_files/perkemb.htmSi•

ARTIKEL
 Mencari Akar Persoalan Pendidikan

 Pembelajaran matematika dengan KBK pada siswa SMP

• Perkembangan minat siswa terhadap matematika

• Perkembangan Pembelajaran Matematika
Suka atau tidak suka seseorang terhadap matematika, namun tidak dapat dihindari bahwa hidupnya akan senantiasa bertemu dengan matematika, entah itu dalam pembelajaran formal, non formal maupun dalam kehidupan praktis sehari-hari. Matematika merupakan alat bantu kehidupan dan pelayan bagi ilmu-ilmu yang lain, seperti fisika, kimia, biologi, astronomi, teknik, ekonomi, farmasi maupun matematika sendiri.
Mungkin diantara kita banyak yang bertanya bukankah saat ini sudah ada kalkulator dan komputer sehingga matematika sebagai alat bantu kehidupan menjadi berkurang? Memang benar, dengan kehadiran kedua alat tersebut banyak persoalan kehidupan yang awalnya mudah menjadi sulit, dan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Namun perlu diketahui bahwa alat-alat tersebut pun juga menggunakan prinsip matematika. Tanpa adanya prinsip-prinsip dan konsep matematika kedua alat tersebut yaitu kalkulator dan komputer tidak mungkin ada. Begitu pentingnya matematika dalam kehidupan maka tidak aneh jika pembelajaran matematika mengalami perkembangan dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Bagaimanakah perkembangan pembelajaran matematika di dalam negeri?
Matematika tradisional
Setelah Indonesia terlepas dari penjajahan kolonial, pemerintah berbenah diri menyusun program pendidikan. Matematika diletakkan sebagai salah satu mata pelajaran wajib. Saat itu pembelajaran matematika lebih ditekankan pada ilmu hitung dan cara berhitung. Urutan-urutan materi seolah-olah telah menjadi konsensus masyarakat. Karena seolah-olah sudah menjadi konsensus maka ketika urutan dirubah sedikit saja protes dan penentangan dari masyarakat begitu kuat. Untuk pertama kali yang diperkenalkan kepada siswa adalah bilangan asli dan membilang, kemudian penjumlahan dengan jumlah kurang dari sepuluh, pengurangan yang selisihnya positif dan lain sebagainya.
Kekhasan lain dari pembelajaran matematika tradisional adalah bahwa pembelajaran lebih menekankan hafalan dari pada pengertian, menekankan bagaimana sesuatu itu dihitung bukan mengapa sesuatu itu dihitungnya demikian, lebih mengutamakan kepada melatih otak bukan kegunaan, bahasa/istilah dan simbol yang digunakan tidak jelas, urutan operasi harus diterima tanpa alasan, dan lain sebagainya
Urutan operasi hitung pada era pembelajaran matematika tradisional adalah kali, bagi, tambah dan kurang. ,maksudnya bila ada soal dengan menggunakan operasi hitung maka perkalian harus didahulukan dimanapun letaknya baru kemudian pembagian, penjumlahan dan pengurangan. Urutan operasi ini mulai tahun 1974 sudah tidak dipandang kuat lagi banyak kasus yang dapat digunakan untuk menunjukkan kelemahan urutan tersebut.
Contoh
12:3 jawabanya adalah 4
dengan tanpa memberi tanda kurung , soal di atas ekuivalen dengan
9+3:3, berdasar urutan operasi yaitu bagi dulu baru jumlah dan hasilnya adalah 10. Perbedaan hasil inilah yang menjadi alasan bahwa urutan tersebut kurang kuat.
Sementara itu cabang matematka yang diberikan di sekolah menengah pertma adalah aljabar dan geometri bidang. Geometri ini diajarkan secara terpisah dengan geometri ruang selama tiga tahun. Sedangkan yang diberikan di sekolah menengah atas adalah aljabar, geometri ruang, goneometri, geometri lukis, dan sedikit geometri analitik bidang. Geometri ruang tidak diajarkan serempak dengan geometri ruang, geomerti lukis adalah ilmu yang kurang banyak diperlukan dalam kehidupan sehingga menjadi abstrak dikalangan siswa.
Pembelajaran Matematika Modern
Pengajaran matematika modern resminya dimulai setelah adanya kurikulum 1975. Model pembelajaran matematika modern ini muncul karena adanya kemajuan teknologi, di Amerika Serikat perasaan adanya kekurangan orang-orang yang mampu menangani sejata, rudal dan roket sangat sedikit, mendorong munculnya pembaharuan pembelajaran matematika. Selain itu penemuan-penemuan teori belajar mengajar oleh J. Piaget, W Brownell, J.P Guilford, J.S Bruner, Z.P Dienes, D.Ausubel, R.M Gagne dan lain-lain semakin memperkuat arus perubahan model pembelajaran matematika.
W Brownell mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan berpengertian. Teori ini sesuai dengan terori Gestalt yang muncul sekitar tahun 1930, dimana Gestalt menengaskan bahwa latihan hafal atau yang sering disebut drill adalah sangat penting dalam pengajaran namun diterapkan setalah tertanam pengertian pada siswa.
Dua hal tersebut di atas memperngaruhi perkembangan pembelajaran matematika dalam negeri, berbagai kelemahan seolah nampak jelas, pembelajaran kurang menekankan pada pengertian, kurang adanya kontinuitas, kurang merangsang anak untuk ingin tahu, dan lain sebagainya. Ditambah lagi masyarakat dihadapkan pada kemajuan teknologi. Akhirnya Pemerintah merancang program pembelajaran yang dapat menutupi kelemanahn-kelemahan tersebut, munculah kurikulum 1975 dimana matematika saat itu mempnyai karakteristik sebagai berikut ;
1. Memuat topik-topik dan pendekatan baru. Topik-topik baru yang muncul adalah himpunan, statistik dan probabilitas, relasi, sistem numerasi kuno, penulisan lambang bilangan non desimal.
2. Pembelajaran lebih menekankan pembelajaran bermakna dan berpengertian dari pada hafalan dan ketrampilan berhitung.
3. Program matematika sekolah dasar dan sekolah menengah lebih kontinue
4. Pengenalan penekanan pembelajaran pada struktur
5. Programnya dapat melayani kelompok anak-anak yang kemampuannya hetrogen.
6. Menggunakan bahasa yang lebih tepat.
7. Pusat pengajaran pada murid tidak pada guru.
8. Metode pembelajaran menggunakan meode menemukan, memecahkan masalah dan teknik diskusi.
9. Pengajaran matematika lebih hidup dan menarik.

Pembelajaran Matematika masa kini
Pembelajaran matematika masa kini adalah pembelajaran era 1980-an. Hal ini merupakan gerakan revolusi matematika kedua, walaupun tidak sedahsyat pada revolusi matematika pertama atau matematika modern. Revolusi ini diawali oleh kekhawatiran negara maju yang akan disusul oleh negara-negara terbelakang saat itu, seperti Jerman barat, Jepang, Korea, dan Taiwan. Pengajaran matematika ditandai oleh beberapa hal yaitu adanya kemajuan teknologi muthakir seperti kalkulator dan komputer.
Perkembangan matematika di luar negeri tersebut berpengaruh terhadap matematika dalam negeri. Di dalam negeri, tahun 1984 pemerintah melaunching kurikulum baru, yaitu kurikulum tahun 1984. Alasan dalam menerapkan kurikulum baru tersebut antara lain, adanya sarat materi, perbedaan kemajuan pendidikan antar daerah dari segi teknologi, adanya perbedaan kesenjangan antara program kurikulum di satu pihak dan pelaksana sekolah serta kebutuhan lapangan dipihak lain, belum sesuainya materi kurikulum dengan tarap kemampuan anak didik. Dan, CBSA (cara belajar siswa aktif) menjadi karakter yang begitu melekat erat dalam kurikulum tersebut.
Dalam kurikulum ini siswa di sekolah dasar diberi materi aritmatika sosial, sementara untuk siswa sekolah menengah atas diberi materi baru seperti komputer. Hal lain yang menjadi perhatian dalam kurikulum tersebut, adalah bahan bahan baru yang sesuai dengan tuntutan di lapangan, permainan geometri yang mampu mengaktifkan siswa juga disajikan dalam kurikulum ini.
Sementara itu langkah-langkah agar pelaksanaan kurikulum berhasil adalah melakukan hal-hal sebagai berikut;
1. Guru supaya meningkatkan profesinalisme
2. Dalam buku paket harus dimasukkan kegiatan yang menggunakan kalkulator dan komputer
3. Sikronisasi dan kesinambungan pembelajaran dari sekolah dasar dan sekolah lanjutan
4. Pengevaluasian hasil pembelajaran
5. Prinsip CBSA di pelihara terus

Kurikulum Tahun 1994
Kegiatan matematika internasional begitu marak di tahun 90-an. walaupun hal itu bukan hal yang baru sebab tahun tahun sebelumnya kegiatan internasional seperti olimpiade matematika sudah berjalan beberapa kali. Sampai tahun 1977 saja sudah 19 kali diselenggarakan olimpiade matematika internasional. Saat itu Yugoslavia menjadi tuan rumah pelaksanaan olimpiade, dan yang berhasil mendulang medali adalah Amerika, Rusia, Inggris, Hongaria, dan Belanda.
Indonesia tidak ketinggalan dalam pentas olimpiade tersebut namun jarang mendulang medali. (tahun 2004 dalam olimpiade matematika di Athena, lewat perwakilan siswa SMU 1 Surakarta atas nama Nolang Hanani merebut medali). Keprihatinan tersebut diperparah dengan kondisi lulusan yang kurang siap dalam kancah kehidupan. Para lulusan kurang mampu dalam menyelsaikan problem-probelmke hidupan dan lain sebagainya. Dengan dasar inilah pemerintah berusaha mengembangkan kurikulum baru yang mampu membekali siswa berkaitan dengan problem-solving kehidupan. Lahirlah kurikulum tahun 1994.
Dalam kurikulm tahun 1994, pembelajaran matematika mempunyai karakter yang khas, struktur materi sudah disesuaikan dengan psikologi perkembangan anak, materi keahlian seperti komputer semakin mendalam, model-model pembelajaran matematika kehidupan disajikan dalam berbagai pokok bahasan. Intinya pembelajaran matematika saat itu mengedepankan tekstual materi namun tidak melupakan hal-hal kontekstual yang berkaitan dengan materi. Soal cerita menjadi sajian menarik disetiap akhir pokok bahasan, hal ini diberikan dengan pertimbangan agar siswa mampu menyelesaikan permasalahan kehidupan yang dihadapi sehari-hari.

Kurikulum taun 2004
Setelah beberapa dekade dan secara khusus sepuluh tahun berjalan dengan kurikulum 1994, pola-pola lama bahwa guru menerangkan konsep, guru memberikan contoh, murid secara individual mengerjakan latihan, murid mengerjakan soal-soal pekerjaan rumah hanya kegiatan rutin saja disekolah, sementara bagaimana keragaman pikiran siswa dan kemampuan siswa dalam mengungkapkan gagasannya kurang menjadi perhatian.
Para siswa umumnya belajar tanpa ada kesempatan untuk mengkomunikasikan gagasannya, mengembangkan kreatifitasnya. Jawaban soal seolah membatasi kreatifitas dari siswa karena jawaban benar seolah-lah hanya otoritas dari seorang guru. Pembelajaran seperti paparan di atas akhirnya hanya menghasilkan lulusan yang kurang terampil secara matematis dalam menyelesaikan persoalah-persoalan seharai-hari. Bahkan pembelajaran model di atas semakin memunculkan kesan kuat bahwa matematika pelajaran yang sulit dan tidak menarik.
Tahun 2004 pemerintah melaunching kurikulum baru dengan nama kurikulum berbasis kompetesi. Secara khusus model pembelajaran matematika dalam kurikulum tersebut mempunyai tujuan antara lain;
1. Melatih cara berfikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkankesamaan, perbedaan, konsistensi dan iskonsistensi
2. Mengembangkan aktifitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.
3. Mengembangkan kemampuan memcahkan masalah
4. Mengembangkan kewmapuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, diagram, dalam menjelaskan gagasan.
Sementara itu secara umum prinsip dasar dari kurikulum tersebut adalah bahwa setiap siswa mampu mempelajari apa saja hanya waktu yang membedakan mereka dalam ketuntasan belajar. Siswa tidak diperkenankan mengikuti pelajaran berikutnya sebelum menuntaskan pelajaran sebelumnya. Dengan demikian remedial-remedial akan seringa dijumpai terutama siswa yang sering tidak tuntas dalam belajarnya.

Kesimpulan
Dari paparan di atas terlihat bagaimana lika-liku perkembangan matematika mulai dari matematika tradisional yang begitu sederhana, hanya sekedar melatih hafalan dan melatih kemampuan otak. Kemudian berkembang agak maju lagi dengan munculnya terori pembelajaran dari para ahli psikologi. Teori ini mempengaruhi pembelajaran matematika dalam negeri yang akhirnya pemerintah mengeluarkan kurikulum baru, yang disesuaikan dengan penemuan teori pembelajaran yang muncul.
Tidak hanya sampai disitu perkembangan kurikulum juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi internasional. Terbukti diera 1980-an dengan merebak dan maraknya teknologi kalkulator dann komputer akhirnya memaksa pemerintah melaunching kurikulum baru yang sesuai dengan perkembangan jaman, lahirlah kurikulum 1984. Sepuluh tahun kemudian pemerintah juga menyempurnakan lagi kurikulum tersebut dengan kurikulum 1994. Dan yang terbaru adalah kurikulum 2004 yang terkenal kurikulum bebrbasis kompetensi. Prinsip dasar dari kurikulum tersebut adalah bahwa setiap siswa mampu mempelajari apa saja hanya waktu yang membedakan mereka dalamketuntasan belajar.

DAFTAR PUSTAKA
Hatta, Idris, 2004, Matematika Kurikulum 2004, Makalah Seminar di HMJ Matematika FKIP UMS
Ruseffendi, 1996, Materi Pokok Pendidikan Matematika 3, Jakarta, Universitas terbuka
Darhim, Drs, 1997, Pendidikan Matematika 2, Jakarta, Universitas Terbuka

METODE HORISONTAL (METODE METRIS)

METODE HORISONTAL (METODE METRIS)

Majalah Tempo, Senin 4-10 Desember 2006

Mencongak dengan Metris

Seorang dosen menemukan metode aritmatika baru yang lebih mudah dan cepat. Mengatasi kelemahan Sempoa.
DUA jagoan matematika itu berdiri berjejer di depan papan tulis. Lawan mereka terpampang di depan mata masing-masing: dua buah soal perkalian kuadrat. Mereka harus adu cepat menyelesaikannya dengan metode perhitungan berbeda.
Dalam dua menit, pemenangnya tampak. Gung Kinaptyan, juara kelas VI Sekolah Dasar Regina Pacis, Bogor, tersenyum sambil mengibaskan sisa kapur di tangannya. Teman sekelasnya, Samuel Wirajaya, pemenang kompetisi matematika terbuka tingkat SD se-Jabodetabek, masih berkutat menyelesaikan soal.

Kamis pekan lalu, guru mereka, Fransiska Ephi Sutisna, ingin membuktikan bahwa ada cara lain untuk menghitung perkalian selain cara tradisional, yaitu dengan mengalikan dari atas ke bawah, lalu menjumlahkannya, yang sudah puluhan tahun diajarkan di sekolah. Itulah cara yang dipakai Gung, dengan mengurutkan secara mendatar dari kiri ke kanan.

Ternyata, kata Ephi, ”Metode yang dipakai Gung memang lebih cepat.” Siswa-siswi SD Regina Pacis menyebut metode itu Metris alias Metode Horisontal. Sudah setahun terakhir Ephi mengajarkan metode mencongak dari kiri ke kanan seperti itu kepada murid-muridnya. Metode baru itu ia pelajari saat kuliah di Fakultas Ilmu Keguruan, Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, tahun lalu. Lantaran ia menganggap metode ini lebih cepat dan mudah dipahami, ia melakukan uji coba pada murid-muridnya.
Metris awalnya digagas oleh Stephanus Ivan Goenawan, 32 tahun, dosen Fakultas Teknik Mesin, Unika Atma Jaya, Jakarta. Ivan tergerak menyusun Metris karena melihat keterbatasan metode lama. ”Metode itu hanya mengembangkan kemampuan analisis yang lebih meletakkan landasan kemampuan numeris dan logika pada siswa,” ujarnya. Alhasil, proses pengajaran dengan metode vertikal hanya mengembangkan kerja otak kiri saja. Sedangkan Metris bisa berfungsi untuk membentuk mental aritmatika yang merangsang kreativitas.

”Kedua metode sebenarnya saling bersinergi kalau diterapkan,” kata Ivan. Dengan menggunakan Metris, para siswa tak hanya mempunyai kemampuan numeris dan logika, tapi juga memiliki kepercayaan diri dan daya kreativitas tinggi.
Metode yang amat membantu siswa ini adalah buah kegemaran Ivan yang senang bereksperimen menyelesaikan soal-soal aritmatika sejak di bangku SMP Bruderan, Purworejo, Jawa Tengah. Ketika itu ia kerap mencari jalan sendiri karena tak pernah puas dengan cara gurunya menjawab soal. Dalam pencarian, ia menemukan banyaknya keteraturan angka dalam setiap soal yang diberikan gurunya. ”Sejak itu saya mulai menggunakan segitiga paskal dan notasi pagar, sebagai cara menyelesaikan masalah,” ujarnya.

Ketertarikan pada aritmatika pula yang membuat Ivan memilih kuliah di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada. Enam tahun lalu, Ivan mulai merumuskan metode arimatika horizontal secara sistematis. Tonggaknya adalah artikelnya yang diterbitkan di jurnal internal Unika Atma Jaya. Tulisan itu menarik perhatian sejumlah koleganya di Jurusan Matematika FKIP universitas tersebut. Ia kemudian diundang untuk berbicara dan mendiskusikan metode itu.

Metode yang masih bersifat teoretis itu sempat terbengkalai lantaran Ivan harus menyelesaikan studi S-2 di Institut Teknologi Bandung. Di Bandung pula ia beruntung berjumpa Alexander Agung, 28 tahun, sesama penggemar matematika. Bersama kawan kuliahnya itu ia menyusun modul praktis pengajaran Metris. pada 2005, begitu modul itu rampung, Ivan dan Alexander menggelar pelatihan bagi para guru SD dan SMP. Sebelumnya, mereka sempat mempresentasikan metode tersebut ke sejumlah dosen di FMIPA UI. Hasilnya? ”Metode itu diterima sebagai sebuah metode pembelajaran baru yang menarik untuk aritmatika,” kata Alexander yang juga dosen di STEKPI, Jakarta selatan.

Melalui situs http://sigmetris.com, kedua sahabat itu memasyarakatkan temuan tersebut. Mereka juga menggelar sejumlah pelatihan bagi guru-guru SD, SMP, dan SMA. Sejauh ini, metode itu baru diterapkan di SD Regina Pacis, Bogor. Beberapa sekolah lain segera menyusul setelah pada Desember ini mereka menggelar pelatihan untuk guru-guru SD. ”Tahun depan baru direncanakan kursus bagi anak-anak,” ujar Alexander.
Sekilas metode ini mirip Sempoa, metode berhitung kuno yang menggunakan alat hitung dari Cina. Sempoa termasuk populer di Indonesia karena mengandalkan kecepatan berhitung. Menurut Alexander, Sempoa dan Metris memiliki kesamaan, yaitu mencapai tahap perhitungan mental aritmatika dan mengandalkan konsep asosiasi posisi. Bedanya, dalam Metris konsep asosiasi posisi dipelajari secara langsung dengan mengenalkan konsep asosiasi posisi dengan notasi pagar kepada para siswanya. ”Sempoa memiliki alur sendiri dan tak sama dengan pendidikan sekolah, sementara Metris disesuaikan dengan program pelajaran sekolah,” ujarnya.

Perbedaan yang lain, menurut Alex, Metris membuat anak bisa menjelaskan langkah yang diambil dengan memakai simbol matematika seperti yang digunakan di sekolah pada umumnya. Sedangkan Sempoa tidak. Sempoa, menurut Ivan, membuat anak cenderung individual dan lebih berorientasi pada hasil ketimbang proses.
Siswa yang ikut Sempoa kerap tak bisa menjelaskan proses perhitungan yang dilakukannya kepada orang lain. Penyebabnya lantaran dia tidak memakai simbol matematika yang diformalkan. Alat peraga berupa manik-manik biasanya cuma bersifat sementara. ”Dalam prakteknya, ia harus memvisualisasikannya dalam imajinasi, dan tak semua anak bisa seperti itu,” kata Ivan.

Fakta ini kerap menimbulkan kesalahpahaman. Orang tua sering menyalahkan guru karena menilai jawaban anaknya salah. Guru biasanya berkukuh karena tidak tahu apakah jawaban itu buah pikir si anak atau hasil menyontek. Soalnya, si anak tak bisa menjelaskan prosesnya. Maka, kata Ivan, ”Penggunaan Metris bisa menjadi jembatan antara Sempoa dan metode vertikal yang dikembangkan sekolah.”

Di SD Regina Pacis, percobaan menggunakan Metris sejauh ini berhasil mengubah citra matema-tika yang menyeramkan. Dalam percobaan, para murid awalnya diminta menyelesaikan soal aritmatika dasar dengan metode lama, yaitu perhitungan dari atas ke bawah. Setelah itu, mereka diberi soal yang harus diselesaikan dengan Metris. Ternyata para murid bisa mengerjakan soal dengan lebih cepat dan akurat. Secara perlahan nilai mereka pun membaik. Tak mengherankan bila mereka kini menjadi lebih antusias terhadap matematika. ”Mereka menyukainya karena lebih cepat dan mudah,” ujar Ephi.

Beberapa siswa yang dulu fobia alias takut terhadap pelajaran matematika kini berbalik. Maria Yohana salah satunya. Nona kecil ini dulu selalu grogi bila pelajaran matematika tiba. Setiap kali ada ulangan matematika dadakan, nilainya tak lebih dari angka 6. Kini, semua itu tinggal cerita. Nilai 10 telah biasa ia terima. Maria bahkan sudah berani mengacungkan tangan, menawarkan diri untuk maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal yang diberikan guru.

Siswa yang berbakat matematika kini juga semakin kreatif menyelesaikan soal. Beberapa anak menciptakan rumus-rumus sendiri untuk menyelesaikan soal yang diberikan guru. Begitu sukanya mereka pada matematika sampai-sampai meminta guru mendirikan klub matematika di sekolah. ”Saya membiarkan mereka berkreasi menyelesaikan soal dengan cara mereka sendiri. Asalkan logika berhitungnya benar,” ujar Ephi.

Widiarsi Agustina dan Arif Fadillah

MENGAJAR (MENYENANGI) MATEMATIKA

Mengajar (Menyenangi) Matematika
Oleh R. POPY YANIAWATI

STUDI The Third International Mathematic and Science Study Repeat (TIMSS-R) pada tahun 1999 menyebutkan bahwa di antara 38 negara, prestasi siswa SMP Indonesia berada pada urutan 34 untuk matematika. Sementara raihan nilai matematika pada ujian negara, pada semua tingkat dan jenjang pendidikan selalu terpaku pada angka yang rendah pula.

Keadaan ini sangat ironis dengan kedudukan dan peran matematika untuk pengembangan ilmu dan pengetahuan, mengingat matematika merupakan induk ilmu pengetahuan. Matematika saat ini belum menjadi pelajaran yang difavoritkan. Alih-alih difavoritkan, mata pelajaran ini kerap dianggap momok bagi sebagian besar peserta didik.
Tugas pendidik matematika menjadi ganda. Pertama, bagaimana materi ajar sampai kepada peserta didik sesuai dengan standar kurikulum. Kedua, bagaimana proses pembelajaran berlangsung dengan pelibatan peserta didik secara penuh, dalam artian proses pembelajaran yang berlangsung dapat berjalan dengan menyenangkan. Sebuah tantangan bagi pendidik matematika untuk senantiasa berpikir dan bertindak kreatif di tengah kegetiran nasib guru. Namun, penulis yakin masih banyak pendidik yang menanggapi kegetiran hidup dengan sikap optimistik dan penuh tanggung jawab terhadap tugas dan kewajiban sebagai pendidik.
Masalah pada tahap pertama, yakni menyampaikan materi sesuai tuntutan standar kurikulum saja masih menjadi masalah. Pembelajaran umum matematika, yang dirumuskan oleh National Council of Teachers of Matematics atau NCTM (2000) menggariskan, peserta didik harus mempelajari matematika melalui pemahaman dan aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya.
Untuk mewujudkan hal itu, dirumuskan lima tujuan umum pembelajaran matematika, yaitu: pertama, belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication); kedua, belajar untuk bernalar (mathematical reasoning); ketiga, belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving); keempat, belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connections); dan kelima, pembentukan sikap positif terhadap matematika (positive attitudes toward mathematics). Semua itu lazim disebut mathematical power (daya matematika).

Guiding Principles Mathematics Curriculum Framework Achieving Mathematical Power (Department of Education, 1996) mengungkapkan bahwa proses pengembangan mathematical power merupakan sebuah proses yang kompleks. Dalam arti, peserta didik belajar matematika tidak hanya bergantung pada "apa" yang diajarkan, tapi juga bergantung pada "bagaimana" matematika itu diajarkan, atau bagaimana peserta didik belajar.
Masalah pada tahap kedua, menetapkan model pembelajaran yang efektif. Pada dasarnya atmosfer pembelajaran merupakan hasil sinergi dari tiga komponen pembelajaran utama, yakni siswa, kompetensi guru, dan fasilitas pembelajaran. Ketiga prasyarat dimaksud pada akhirnya bermuara pada area proses dan model pembelajaran. Model pembelajaran yang efektif dalam pembelajaran matematika antara lain memiliki nilai relevansi dengan pencapaian daya matematika dan memberi peluang untuk bangkitnya kreativitas guru. Kemudian berpotensi mengembangkan suasana belajar mandiri selain dapat menarik perhatian siswa dan sejauh mungkin memanfaatkan momentum kemajuan teknologi khususnya dengan mengoptimalkan fungsi teknologi informasi.


”E-learning” sebuah alternatif

Thompson, dkk. (2000) menyatakan, "E-learning is instructional content or learning experiences delivered or enabled by electronic technology." Pemanfaatan teknologi elektronik dalam pembelajaran memberi penguatan terhadap pola perubahan paradigma pembelajaran. Sistem e-learning merupakan bentuk implementasi pembelajaran yang memanfaatkan teknologi dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Dengan arti, pembelajaran ini dapat dilakukan baik dengan synchronous maupun asynchronous. Synchronous adalah pembelajaran yang dilakukan dalam waktu yang sama, sedangkan asynchronous pembelajaran yang dilakukan dalam waktu yang berbeda.
Beberapa negera menyelenggarakan kegiatan e-learning sebagai suplemen terhadap materi pelajaran yang disajikan secara reguler di kelas (Wildavsky, 2001; Lewis, 2002). Akan tetapi, e-learning dapat juga dilaksanakan sebagai alternatif belajar. Karena satu dan lain hal, peserta didik berhalangan mengikuti perkuliahan secara tatap muka. Sehubungan dengan hal terakhir, e-learning berfungsi sebagai option (pilihan) bagi peserta didik.

Kemungkinan untuk menerapkan e-learning masih membutuhkan proses yang agak panjang. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), hanya 30% mahasiswa yang mengetahui mengenai e-learning. Sementara di sisi makro, hambatan infrastruktur berdampak pada perilaku berteknologi di lingkungan generasi muda.

Walaupun dalam satu dasa -warsa terakhir infrastruktur mulai berkembang, dengan ditandai meningkatnya jumlah pelanggan dan pengguna internet yang cukup berarti. Akan tetapi, bila dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Singapura, Hong Kong, Korea Selatan, Malaysia, dan Thailand, Indonesia masih ketinggalan. Singapura angka pelanggan internet mencapai 47,4% dari jumlah rumah tangga, sementara di Taiwan dan Hong Kong masing-masing mencapai 40% dan 26,7%. Di Indonesia sampai tahun 2001 pelanggan baru tercatat 1.680.000 orang, bandingkan dengan jumlah kepala keluarga yang ada, yakni sekira 50 juta KK (Wahana Komputer, 2003).


Hasil studi

Dari hasil studi yang dilakukan di dua LPTK yang berbeda, terdapat perbedaan penguasaan daya matematika antara mahasiswa calon guru yang belajarnya melalui pembelajaran e-learning (full and blanded) dengan pembelajaran konvensional. Daya matematika mahasiswa yang melalui e-learning lebih baik bila dibandingkan dengan pembelajaran model konvensional walaupun penguasaan daya matematika mahasiswa masih belum mencapai hasil yang optimal. Dalam arti, belum mencapai ketuntasan belajar saat menyelesaikan soal-soal daya matematika, khususnya aspek penalaran (deduksi) dan pembuktian suatu teorema. Namun sikap mahasiswa terhadap e-learning matematika terbukti positif. Malah pada kelompok di LPTK pengontrol pun, sikap mahasiswa justru lebih positif.
Secara parsial, sikap mahasiswa yang mengikuti e-learning secara penuh lebih baik daripada mahasiswa yang melalui pembelajaran campuran (blanded learning). Ini mengindikasikan model belajar ini memiliki daya tarik tersendiri dan berpotensi meningkatkan minat belajar matematika di kalangan peserta didik.
Temuan lain, mahasiswa aktif menggunakan forum diskusi dan bertanya pada dosen lewat e-mail. Fasilitas-fasilitas yang ada pada website dan dengan adanya feedback membuat mahasiswa termotivasi untuk mengikuti pembelajaran. Saat mengerjakan kuis, mahasiswa termotivasi untuk mencoba berulang-ulang sampai mendapatkan jawaban yang benar. Akan tetapi, fasilitas website yang dirasakan kurang optimal penggunaannya adalah chatting. Mahasiswa merasa sulit menemukan waktu yang cocok untuk berkomunikasi dengan dosennya secara langsung untuk ber-chatting.
Penentuan model pembelajaran matematika merupakan kunci awal sebagai usaha dosen meningkatkan daya matematika mahasiswa. Model pembelajaran yang variatif dan menyediakan banyak pilihan belajar memungkinkan munculnya potensi mahasiswa. Karena dengan demikian mahasiswa diberi kemungkinan berkembang sesuai dengan kapasitas, gaya belajar, maupun pengalaman belajarnya. Kreativitas dan analisis dosen di dalam mendesain serta menelaah kecenderungan karakter belajar mahasiswa mutlak diperlukan. Selain itu, mempersiapkan mahasiswa melalui pengayaan pengetahuan awal merupakan usaha penting lainnya yang harus dilakukan saat dosen menentukan model pembelajaran yang akan dipilih dalam usaha meningkatkan daya matematika mahasiswa.
Proses pembelajaran yang didesain sedemikian rupa dalam e-learning cenderung menyebabkan kelompok mahasiswa yang memiliki dasar kapasitas awal relatif baik, lebih terlihat pengembangan daya matematikanya. Walaupun demikian peran dosen belum sepenuhnya dapat digantikan oleh teknologi, dalam artian e-learning berperan sebagai suplemen (tambahan). Hal itu membuktikan dua hal, yakni pertama, teknologi masih belum bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan pembelajaran yang membutuhkan proses berpikir abstraktif, kedua hal itu dapat dipahami sebagai persoalan budaya belajar. Namun bila mengacu pada pendapat Kamarga (2002) bahwa e-learning dapat dimanfaatkan dan dikembangkan dalam membentuk budaya belajar baru yang lebih modern, demokratis dan mendidik. Maka, ada harapan di masa datang, budaya paternalistik dalam belajar dapat berubah secara gradual. Selamat mencoba.***


Penulis, Dosen Jurusan Pend. Matematika FKIP Unpas, Doktor Pendidikan Matematika UPI.

Rabu, 26 November 2008

KURIKULUM VISI SETS

MODEL KURIKULUM PENDIDIKAN
YANG MENERAPKAN VISI SETS
(SCIENCE, ENVIRONMENT, TECHNOLOGY, AND SOCIETY)

PUSAT KURIKULUM
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
Jakarta, 2007





Bab I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan kehidupan di masyarakat menuntut diberlakukannya pendidikan secara
lebih terstruktur yang memungkinkan dihasilkannya lulusan yang sesuai dengan
kebutuhan di masyarakat tersebut. Aktivtas pembelajaran di sekolah sebagai wujud nyata
penterjemahan sistem pendidikan di sekolah pada umumnya dan di kelas pada khususnya
seharusnya tidak mengkotak-kotakan secara kaku berbagai bahan kajian melalui mata
pelajaran-mata pelajaran. Hal ini dimaksudkan agar hasil belajar di sekolah terasakan
manfaatnya baik bagi peserta didik langsung maupun bagi masyarakat seeara luas. Standar
Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang dituangkan di dalam standar isi untuk
mata pelajaran yang terpisah-pisah sebaiknya dimaknai bahwa pencapaiannya dapat
ditempuh melalui pengintegrasian SK dan KD beberapa mata pelajaran ke dalam satu
wadah pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang bisa ditempuh adalah melalui
model pembelajaran sain, lingkungan, teknologi dan masyarakat (SETS).
Perkembangan sain dan teknologi serta dampaknya pada lingkungan dan masyarakat,
menjadi semakin tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Mengingat keterkaitan
yang sangat erat antara lingkungan, teknologi, dan masyarakat dengan sain, maka sangat
dimungkinkan untuk menggunakan keterkaitan tersebut sebagai cara pandang atau visi
kita dalam melihat sesuatu. Oleh karena itu meniadakan keterkaitan keempat unsur
tersebut menjadi tidak relevan dalam konteks pendidikan masa kini. Untuk mewujudkan
proses pembelajaran yang mengembangkan konsep sain, dengan memperhatikan
penggunaanya pada teknologi, dan dampaknya bagi lingkungan dan masyarakat, maka
dikembangkanlah pendekatan Science, Environment, Technology, and Society (SETS)
sebagai pilihan dalam proses pembelajaran yang ada. Selain memberi peluang kepada
peserta didik untuk belajar secara kontekstual, pendekatan ini juga memberi peluang
dikembangkannya life skills pada diri peserta didik. Oleh karena itu, sangat relevan jika
visi serta pendekatan SETS digunakan dalam pembelajaran di sekolah.
Sebagai visi, secara sengaja kita membawa pemikiran para peserta didik tentang
keberadaan keempat unsur Salingtemas (SETS) serta berbagai implikasi yang terkandung
atau tercakup di dalamnya ketika mereka ”melihat” sesuatu. Dari sana diharapkan peserta
didik dapat menghasilkan pemikiran atau gagasan-gagasan baru (inovatif) yang dapat
dihasilkan dari hasil ”penglihatan” itu sesuai dengan kemampuan mereka di jenjang usia
atau jenjang pendidikan yang mereka lewati dengan memadukan berbagai macam
pengalaman hidup mereka.
Sebagai pendekatan, Salingtemas (SETS) merupakan cara pembelajaran bersifat terpadu
yang melibatkan unsur sain, teknologi, lingkungan, dan masyarakat. Pendekatan ini
memadukan pemikiran SETS (Science, Environment, Technology and Society) dan EE
(Environment Education) dengan memberi filosofi baru di dalamnya. Dengan pendekatan
ini, peserta didik dikondisikan agar mau dan mampu mengetahui, memahami prinsip sain
untuk menghasilkan karya teknologi (sederhana atau yang lebih rumit tergantung jenjang
pendidikannya) disertai dengan pemikiran untuk mengurangi atau mencegah
kemungkinan dampak negatif yang mungkin timbul dari munculnya suatu produk
teknologi terhadap lingkungan dan masyarakat.
Pembelajaran yang menggunakan visi dan pendekatan SETS memandang kurikulum
dalam konteks interdisiplin dengan perspektif personal dan sosial. Selain itu,
pembelajaran dengan visi dan pendekatan ini berupaya membangun pengetahuan,
keterampilan, dan kualitas yang efektif supaya dapat bertindak secara bertanggung jawab
dalam mengambil keputusan atas isu-isu sain dan teknologi terkait masalah sosial.

B. Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk menyediakan model kurikulum pendidikan yang
menerapkan visi SETS agar dapat membantu guru dan tenaga kependidikan yang lain
dalam mengembangkan kurikulum mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian
yang mengacu pada standar isi dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan kondisi
dan kebutuhan peserta didik, daerah, dan satuan pendidikan masing-masing.

C. Ruang Lingkup
Secara umum ruang lingkup mencakup jenjang pendidikan menengah untuk beberapa
mata pelajaran (Agama Islam, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa
Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Geografi, Ekonomi, Sosiologi, dan Seni
Budaya), dengan daerah uji coba di Semarang – Jawa Tengah, Makassar – Sulawesi
Selatan, dan Imogiri - DI Yogyakarta. Pelaksanaan kegiatan ini melibatkan guru, ahli
dari perguruan tinggi, Dinas Pendidikan, dan Pusat Kurikulum.

BAB II. LANDASAN

A. Landasan Yuridis
1. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
a. Pasal 1 ayat (19) Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
b. Pasal 18 ayat (1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Ayat
(2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan
menengah kejuruan. Ayat (3) Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah
atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan
madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. Ayat (4)
Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
c. Pasal 35 ayat (2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan
pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan,
dan pembiayaan.
d. Pasal 36 ayat (1). Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional; ayat (2).
Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik, dan
ayat (3). Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a) peningkatan iman
dan takwa b) peningkatan akhlak mulia c) peningkatan potensi, kecerdasan, dan
minat peserta didik; d) keragaman potensi daerah dan lingkungan; e) tuntutan
pembangunan daerah dan nasional; f) tuntutan dunia kerja; g) perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni; h) agama; i) dinamika perkembangan global; dan j)
persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Ayat (4) Ketentuan mengenai
pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
e. Pasal 37 ayat (1). Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a)
pendidikan agama; b) pendidikan kewarganegaran; c) bahasa; d) matematika; e) ilmu
pengetahuan alam; f) ilmu pengetahuan social; g) seni dan budaya; h) pendidikan
jasmani dan olahraga; i) keterampilan/kejuruan; dan j) muatan lokal.
f. Pasal 38 ayat (1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan
menengah ditetapkan oleh Pemerintah; Ayat (2) Kurikulum pendidikan dasar dan
menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau
satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi
dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan
dasar dan propinsi untuk pendidikan menengah.
2. Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 14 ayat (f) yang
berbunyi bahwa guru memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut
menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai
dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
3. Undang-undang No.23/2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 yang menyebutkan
“Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya” juga menjadi landasan hukum yang sangat penting bagi pengembangan
model pembelajaran bervisi dan berpendekatan Salingtemas.
4. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
a. Pasal 1 ayat (5) Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang
dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian,
kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh
peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu, (13) Kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta
cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu, (14 Kerangka dasar kurikulum adalah ramburambu
yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini untuk dijadikan pedoman
dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya pada setiap
satuan pendidikan, (15) Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum
operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.
b. Pasal 5 ayat (1) Standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk
mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Ayat (2).
Standar isi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kerangka dasar dan struktur
kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender
pendidikan/akademik.
c. Pasal 6 ayat (1) Kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: a) kelompok mata pelajaran
agama dan akhlak mulia; b) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan
kepribadian; c) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; d)
kelompok mata pelajaran estetika; serta e) kelompok mata pelajaran jasmani, olah
raga, dan kesehatan.
d. Pasal 7 ayat (1) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada
SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/ Paket C,
SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau
kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi,
estetika, jasmani, olah raga, dan kesehatan. Ayat (2) Kelompok mata pelajaran
kewarganegaraan dan kepribadian pada SD/MI/SDLB/Paket A,
SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/ Paket C, SMK/MAK, atau bentuk
lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, akhlak
mulia, kewarganegaraan, bahasa, seni dan budaya, dan pendidikan jasmani. Ayat (3)
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SD/MI/ SDLB/Paket
A, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan
bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial,
keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal yang relevan. Ayat (4) Kelompok mata
pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMP/MTs/SMPLB/Paket B, atau
bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa,
matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan,
dan/atau teknologi informasi dan komunikasi, serta muatan lokal yang relevan. Ayat
(5) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada
SMA/MA/SMALB/Paket C, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui
muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu
pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, teknologi informasi dan komunikasi,
serta muatan lokal yang relevan. Ayat (6) Kelompok mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi pada SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat
dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu
pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan, kejuruan, teknologi
informasi dan komunikasi, serta muatan lokal yang relevan. Ayat (7) Kelompok
mata pelajaran estetika pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B,
SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/ MAK, atau bentuk lain yang sederajat
dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, seni dan budaya,
keterampilan, dan muatan lokal yang relevan. Ayat (8) Kelompok mata pelajaran
jasmani, olah raga, dan kesehatan pada SD/MI/SDLB/ Paket A,
SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/ Paket C, SMK/MAK, atau bentuk
lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan pendidikan
jasmani, olahraga, pendidikan kesehatan, ilmu pengetahuan alam, dan muatan lokal
yang relevan.
e. Pasal 7 ayat (5) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada
SMA/MA/SMALB/Paket C, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui
muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu
pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, teknologi informasi dan komunikasi,
serta muatan lokal yang relevan.
f. Pasal 10 ayat (1) Beban belajar untuk SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB,
SMA/MA/SMLB, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat menggunakan jam
pembelajaran setiap minggu setiap semester dengan sistem tatap muka, penugasan
terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur, sesuai kebutuhan dan ciri khas
masing-masing. Ayat (3) Ketentuan mengenai beban belajar, jam pembelajaran,
waktu efektif tatap muka, dan persentase beban belajar setiap kelompok mata
pelajaran ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan BSNP.
g. Pasal 13 ayat (1) Kurikulum untuk SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang
sederajat, SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat, SMK/MAK atau
bentuk lain yang sederajat dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup. Ayat (3)
Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat
merupakan bagian dari pendidikan kelompok mata pelajaran agama dan akhlak
mulia, pendidikan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian,
pendidikan kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, kelompok
mata pelajaran pendidikan estetika, atau kelompok mata pelajaran pendidikan
jasmani, olah raga, dan kesehatan. Ayat (4) Pendidikan kecakapan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), dan (3) dapat diperoleh peserta didik dari
satuan pendidikan yang bersangkutan atau dari satuan pendidikan nonformal yang
sudah memperoleh akreditasi.
h. Pasal 14 ayat (1) Kurikulum untuk SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang
sederajat dan kurikulum untuk SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat
dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal. Ayat (2) Pendidikan
berbasis keunggulan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat merupakan
bagian dari pendidikan kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia,
pendidikan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, pendidikan
kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan kelompok
mata pelajaran estetika, atau kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olah raga,
dan kesehatan. Ayat (3) Pendidikan berbasis keunggulan lokal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan
yang bersangkutan atau dari satuan pendidikan nonformal yang sudah memperoleh
akreditasi.
i. Pasal 16 ayat (1) Penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan jenjang
pendidikan dasar dan menengah berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP.
Ayat (2) Panduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi sekurang-kurangnya:
a. Model-model kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk SD/MI/
SDLB/SMP/MTs/SMPLB/SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK pada jalur
pendidikan formal kategori standar; b. Model-model kurikulum tingkat satuan
pendidikan untuk SD/MI/ SDLB/SMP/MTs/SMPLB/SMA/MA/SMALB, dan
SMK/MAK pada jalur pendidikan formal kategori mandiri; Ayat (3 Penyusunan
kurikulum pada tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah
keagamaan berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP. Ayat (4) Panduan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berisi sekurang-kurangnya model-model
kurikulum satuan pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Ayat (5) Model-model kurikulum tingkat satuan pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan (4) sekurang-kurangnya meliputi model kurikulum tingkat satuan
pendidikan apabila menggunakan sistem paket dan model kurikulum tingkat satuan
pendidikan apabila menggunakan sistem kredit semester.
j. Pasal 17 ayat (1) Kurikulum tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB,
SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/MALB, SMA/SMK/MA, atau bentuk lain yang
sederajat dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi
daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik.
Ayat (2) Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah,
mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan
kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, dibawah supervisi dinas
kabupaten/kota yang bertanggung jawab dibidang pendidikan untuk SD, SMP, SMA,
dan SMK, dan departemen yang menangani urusan pemerintahan dibidang agama
untuk MI, MTs, MA, dan MAK;
k. Pasal 19 ayat (1) Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas,
dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis
peserta didik. Ayat (3) Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses
pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan
pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang
efektif dan efisien.
l. Pasal 20 Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar,
metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.
m. Pasal 42 ayat (1) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi
perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya,
bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
n. Pasal 43 ayat (1): Standar keragaman jenis peralatan laboratorium ilmu pengetahuan
alam (IPA), laboratorium bahasa, laboratorium komputer, dan peralatan pembelajaran
lain pada satuan pendidikan dinyatakan dalam daftar yang berisi jenis minimal
peralatan yang harus tersedia. Ayat (5) Kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan
kegrafikaan buku teks pelajaran dinilai oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan
Menteri.
5. Peraturan Menteri No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah
6. Peraturan Menteri No. 23 tahun 2006 tentang Standak Kompetensi Lulusan untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, tak terhindarkan bahwa unit pelaksana pendidikan
memiliki kewajiban untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan standar isi,
kompetensi dan penilaian yang ditetapkan pemerintah. Pengembangan model
pembelajaran bervisi dan berpendekatan Salingtemas seperti model pembelajaran lainnya
dengan implementasi serta evaluasinya ditingkat satuan pendidikan juga harus
menyesuaikan dengan standar yang ditetapkan BSNP sebagai lembaga mandiri yang
dibentuk pemerintah.
B. Landasan Filosofis
Pembelajaran dengan menerapkan visi SETS memliki landasan sebagai berikut:
1. Memandang kurikulum (materi pembelajaran) secara interdisipliner
2. Membangun pengetahuan dan keterampilan peserta didik supaya dapat bertindak
secara bertanggung jawab dalam mengambil keputusan (sikap positif) atas isu-isu
sosial dan lingkungan yang terkait dengan konsep sain dan teknologi.
3. Merupakan proses yang diarahkan untuk membangun empat fondasi literasi sain dan
teknologi, yaitu:
a. Fondasi SETS
Membangun pemahaman tentang hakekat sain dan teknologi, keterkaitan sain dan
teknologi, serta konteks sosial dan lingkungan dari sain dan teknologi.
b. Fondasi pengetahuan
Membangun pengetahuan dan pemahaman tentang sain dan menerapkan
pemahaman ini untuk menginterpretasi, mengintegrasikan, dan mengembangkan
pengetahuan.
c. Fondasi keterampilan
Membangun keterampilan yang diperlukan untuk melakukan inquiry sain dan
teknologi, mengkomunikasikan ide dan hasil saintifik, bekerja sama, dan
mengambil keputusan
d. Fondasi sikap/nilai sosial
Membangun sikap yang bertanggung jawab dalam menerapkan sain dan teknologi
menjadi produk yang menguntungkan bagi diri sendiri, masyarakat, dan lingkungan
C. Landasan Teoritik
1. Hakikat sain, lingkungan, teknologi, dan masyarakat (SETS)
Science, Environment, Technology, and Society (SETS) mengandung makna tertentu.
Akronim SETS, bila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia akan memiliki kepanjangan
Sain, Lingkungan, Teknologi, dan Masyarakat. SETS diturunkan dengan landasan
filosofis yang mencerminkan kesatuan unsur SETS dengan mengingat urutan unsurunsur
SETS dalam susunan akronim tersebut. Dalam konteks pendidikan SETS atau
bervisi SETS, urutan ringkasan SETS membawa pesan bahwa untuk menggunakan sain
(S-pertama) ke bentuk teknologi (T) dalam memenuhi kebutuhan masyarakat (S-kedua)
diperlukan pemikiran tentang berbagai implikasinya pada lingkungan (E) secara fisik
maupun mental. Dari sana, diharapkan akan diperoleh pemikiran penghasilan teknologi
dari transformasi sain, tanpa harus merusak atau merugikan lingkungan dan masyarakat.
Selanjutnya, kesalingterkaitan antar unsur SETS itu menandai bahwa masing-masing
unsur itu saling mempengaruhi dalam proses perkembangannya masing-masing.
Selanjutnya landasan filosofis tersebut dipakai sebagai dasar pengembangan konsep
pendidikan bervisi dan pendekatan SETS atau yang bervisi SETS itu sendiri dalam
implementasinya untuk ikut berperan dalam sistem pendidikan, di mana saja dia
diadopsi.
Pada istilah SETS terkandung empat kata kunci, yaitu sain, lingkungan, teknologi, dan
masyarakat. Karena itu, paradigma pendekatan SETS dalam pembelajaran sain pada
hakikatnya dapat ditinjau dari asumsi dasar pengertian sain, lingkungan, teknologi, dan
masyarakat, interaksi antar keempatnya serta keterkaitannya dengan tujuan-tujuan
pendidikan.
2. Visi, Misi, dan Tujuan Pembelajaran dengan Pendekatan SETS
Visi dan pendekatan SETS sekurang-kurangnya dapat membuka wawasan peserta didik
untuk memahami hakikat SETS secara utuh. Maksudnya ialah bahwa visi dan
pendekatan SETS ditujukan untuk membantu peserta didik mengetahui sain dan
bagaimana perkembangan sain dapat mempengaruhi lingkungan, teknologi, dan
masyarakat secara timbal balik.
Ada dua visi dan tujuan pendekatan SETS dalam pendidikan seperti dikutip oleh
Pedersen dari tulisan NSTA, yaitu: (1) SETS melibatkan peserta didik dalam
pengalaman dan isu-isu/masalah-masalah yang berhubungan langsung dengan
kehidupan mereka; dan (2) SETS memberdayakan peserta didik dengan berbagai
keterampilan sehingga mereka menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan lebih
aktif merespons isu/masalah-masalah yang mempengaruhi kehidupan mereka (Pedersen,
1992:26). Program SETS telah menjadi suatu gerakan dalam pendidikan sain di negaranegara
yang telah maju, bertujuan mengintegrasikan sain, lingkungan, dan teknologi
dengan kehidupan masyarakat (Yager & Roy, 1993:7).
Sementara dalam Diwa Learning System (Gregorio, 1991:37) dinyatakan bahwa: (1)
SETS merupakan suatu perubahan penekanan dalam pengajaran sain di sekolah, dan
bukan evolusi dalam pengajaran sain; (2) tujuannya adalah humanisasi pengajaran sain
dengan menempatkannya dalam konteks sosial dan teknologi, dan bukan memandang
sain sebagai tujuan yang terlepas dari atau di luar pengalaman sehari-hari; (3) SETS
merupakan suatu pendekatan pembelajaran untuk sain yang disesuaikan dengan
kecakapan kelompok, dan bukan melemahkan atau menghambat perkembangan sain; (4)
SETS merupakan suatu program atau kurikulum sain, dan bukan sain itu sendiri; dan (5)
SETS merupakan pendekatan interdisipliner dan multidisipliner, dan bukan suatu
disiplin atau ruang lingkup pelajaran. Berhubungan dengan visi dan tujuan-tujuan
Pendekatan SETS, Gregorio (1991:40) mengungkapkannya dengan suatu kalimat yang
diletakkan di antara dua tanda kutip, yakni "Give a man a fish, and he will survive for a
day, but teach him how to culture fish, and he will survive a lifetime". Sedangkan Yager
(1993:13) menyatakan bahwa salah satu tujuan pokok dari pendekatan SETS adalah
mengaktifkan peserta didik dalam kegiatan pemecahan isu-isu/masalah-masalah yang
telah diidentifikasi. Demikian halnya Gregorio (1991:39) menyatakan bahwa dalam
pembelajaran sain dengan Pendekatan SETS, peserta didik diikutsertakan dalam
aktivitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Sementara (Gregorio,
1991:37) menyatakan bahwa isu-isu sosial dapat digunakan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan-tujuan dalam pembelajaran sain yang didasarkan pada aspek-aspek
sosial dari sain. Sejalan dengan pernyataan Heath (Heath, 1992:55) bahwa isu-isu atau
masalah-masalah dalam masyarakat dapat menjadi suatu basis pembelajaran dengan
pendekatan SETS sekaligus sebagai "perekat" yang membolehkan integrasi belajar dan
mengajar lintas disiplin ilmu dalam upaya membantu peserta didik dan warga negara
untuk menyadari dan memahami adanya interaksi antara sain, lingkungan, teknologi,
dan masyarakat.
Tujuan utama pendidikan dengan Pendekatan SETS adalah mempersiapkan peserta
didik menjadi wagra negara dan warga masyarakat yang memiliki suatu kemampuan
dan kesadaran untuk:
• menyelidiki, menganalisis, memahami dan menerapkan konsep-konsep/prinsipprinsip
dan proses sain dan teknologi pada situasi nyata
• melakukan perubahan
• membuat keputusan-keputusan yang tepat dan mendasar tentang isu/masalah-masalah
yang sedang dihadapi yang memiliki komponen sain dan teknologi
• merencanakan kegiatan-kegiatan baik secara individu maupun kelompok dalam
rangka pengambilan tindakan dan pemecahan isu-isu atau masalah-masalah yang
sedang dihadapi
• bertanggung jawab terhadap pengambilan keputusan dan tindakannya
• mempersiapkan peserta didik untuk menggunakan sain bagi pengembangan hidup
dan mengikuti perkembangan dunia teknologi,
• mengajar para peserta didik untuk mengambil tanggung jawab dengan isu-isu
lingkungan, teknologi, atau masyarakat
• mengidentifikasi pengetahuan fundamental sehingga peserta didik secara tuntas
memperoleh kepandaian dengan isu-isu SETS
Dengan demikian, ada beberapa aspek yang perlu mendapat penekanan dan
dipresentasikan secara proporsional dan terintegrasi dalam pembelajaran sain di sekolah
dengan pendekatan SETS, yaitu: kemampuan peserta didik mengajukan pertanyaanpertanyaan
kepada alam dan menemukan jawabannya; kemampuan peserta didik
mengidentifikasi isu/masalah-masalah yang sedang dihadapi masyarakat dan berupaya
memecahkannya; penguasaan pengetahuan ilmiah (sain) dan keterampilan (teknologi)
dan berupaya menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari; mempertimbangkan nilainilai
dan konteks sosial budaya masyarakat; dan pengembangan sikap, nilai-nilai sosial
budaya lokal, personal, dan global.
3. Pembelajaran dengan Pendekatan SETS
Pembelajaran dengan pendekatan SETS dapat dipandang sebagai turunan dari konsep
pendidikan STS (Science, Technology, Society), STL (Science, Technology, Literacy)
dan EE (Environment Education). SETS merupakan pembelajaran yang mengaitkan
antara sain dan teknologi serta manfaatnya bagi masyarakat. STL merupakan
pembelajaran yang menitikberatkan pada kemampuan literasi sain dan teknologi, ini
berarti dalam pembelajaran peserta didik tidak hanya dituntut untuk mampu memahami
sain dan teknologi tetapi menyadari dan peduli atas dampaknya terhadap lingkungan
sosial maupun alam. Dengan demikian, pembelajaran STS dan STL ini bertujuan untuk
membentuk individu yang memiliki literasi sain dan teknologi serta memiliki kepedulian
terhadap masalah masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan EE adalah pendidikan
yang membawa setiap orang pada seluruh proses pembelajaran, dari mulai tahap
mengetahui sampai tahap aksi dan evaluasi yang didapatkan melalui pembelajaran dan
pengalaman langsung (konkret) di lingkungan sebenarnya. Hasil akhir dari EE adalah
adanya perubahan pola pikir dan perilaku dari setiap orang dalam memandang
lingkungan hidup di sekitarnya yang diwujudkan melalui aksi (tindakan) konkret. Dalam
pendekatan SETS, konsep pendidikan STS, STL, dan EE dipandang sebagai satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Pendekatan SETS adalah belajar dan mengajarkan sain dan teknologi dalam konteks
pengalaman manusia. Pendekatan SETS cocok untuk mengintegrasikan domain konsep,
keterampilan proses, kreativitas, sikap, nilai-nilai, penerapan, dan keterkaitan antar
bidang studi (kurikulum) dalam pembelajaran dan penilaian pendidikan. Jadi,
pembelajaran dengan pendekatan SETS menekankan pada konteks pembelajaran dan
beraneka ragam hasil belajar.
Pendekatan SETS sebagai gerakan reformasi dalam pendidikan sain, diarahkan untuk
literasi ilmiah (sain) dan teknologi untuk semua (scientific and technological literacy for
all) sebagai megaproyek yang mendunia tahun 2000+ (UNESCO, 1993; ICASE, 1993,
1994a, 1994b). Melek sain dan teknologi merupakan salah satu syarat bagi seseorang
untuk dapat hidup dan bekerja, serta mampu membuat keputusan-keputusan yang tepat
dan dapat melakukan tindakan-tindakan pribadi dan sosial yang bertanggung jawab
(Hidayat, 1997:10; 1996:14). Karena itu, pendidikan sain di sekolah juga memiliki
tanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai dan kesadaran akan tanggung jawab
pribadi dan sosial pada peserta didik sebagai warga negara dan warga masyarakat.
Menurut Merryfield (1991:289), dalam perspektif dunia global, pembelajaran dengan
pendekatan SETS merupakan kerangka kerja untuk mengajar dan membiasakan peserta
didik berpikir global dan bertindak secara lokal. Artinya, pembelajaran sain di sekolah
tidak dapat dipisahkan dari isu-isu atau masalah teknologi dan masyarakat. Teknologi
merupakan bagian integral dari kehidupan, dan karena itu harus menjadi bagian integral
dari sistem pendidikan (Maton, 1993:13). Dengan kata lain, upaya-upaya pembelajaran
sain dan teknologi tidak dapat dipisahkan dari konteks dan nilai-nilai sosial budaya
masyarakat lokal, regional, nasional, ataupun internasional, sehingga misi utama
pendidikan sain untuk ‘membentuk’ peserta didik sebagai warga negara dan warga
masyarakat yang melek sain dan teknologi serta berpikir global dan bertindak lokal
dapat terwujud.
Menempatkan pembelajaran sain dalam suatu konteks lingkungan dan kehidupan
masyarakat yang dikaitkan dengan teknologi akan membuat sain dan teknologi lebih
dekat dan relevan dengan kehidupan nyata semua peserta didik.
Secara mendasar dapat dikatakan bahwa melalui pendidikan bervisi SETS ini
diharapkan agar peserta didik akan memiliki kemampuan memandang sesuatu secara
terintegrasi dengan memperhatikan keempat unsur SETS, sehingga dapat diperoleh
pemahaman yang lebih mendalam tentang pengetahuan yang dimilikinya. Sebagai
konsekuensinya, diharapkan agar pengetahuan yang dipahaminya secara mendalam itu,
akan memungkinkan mereka memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki dalam
kehidupan dan untuk kehidupan setara dengan tingkat pendidikan yang diperolehnya
dalam upaya memperoleh kehidupan yang lebih baik dari masa sebelumnya. Secara
tidak langsung, hal ini menggambarkan arah pendekatan pembelajaran SETS yang
relatif memiliki kepedulian terhadap lingkungan kehidupan atau sistem kehidupan
(manusia) yang memuat juga unsur-unsur SETS selain lingkungan (E).
Dalam proses pembelajaran bervisi dan berpendekatan SETS, terdapat sejumlah ciri atau
karakteristik yang perlu dipahami di dalam penerapan pembelajaran, sesuai dengan
fokus pembelajarannya pada saat itu. Ciri-ciri tersebut di antaranya adalah:
• Tetap memberi pengajaran dan pembelajaran sain
• Isu-isu dan masalah-masalah dalam masyarakat dan kehidupan sehari-hari menjadi
titik awal (basis) atau ‘kendaraan’ pertama dan utama untuk mempelajari dan
menerapkan konsep-konsep/prinsip-prinsip dan proses sain dan teknologi dengan
mempertimbangkan perhatian, minat, atau kepentingan peserta didik
• Mengikutsertakan peserta didik dalam pengembangan sikap dan keterampilan dalam
pengambilan keputusan serta mendorong mereka untuk mempertimbangkan
informasi tentang isu-isu sain, lingkungan, dan teknologi
• Peserta didik dibawa ke situasi untuk memanfaatkan konsep sain ke bentuk teknologi
untuk kepentingan masyarakat.
• Peserta didik diminta untuk berpikir tentang berbagai kemungkinan akibat yang
terjadi dalam proses pentransferan sain tersebut ke bentuk teknologi.
• Peserta didik diminta untuk menjelaskan keterhubungkaitan antara unsur sain yang
dibincangkan dengan unsur-unsur lain dalam SETS yang mempengaruhi berbagai
keterkaitan antar unsur tersebut.
• Peserta didik dibawa untuk mempertimbangkan manfaat atau kerugian penggunaan
konsep sain tersebut bila diubah dalam bentuk teknologi berkenaan.
• Peserta didik dapat diajak berpikir, misalnya tentang pengaruh lingkungan atau
masyarakat terhadap pengembangan sain maupun teknologi tertentu, yang masih
berkaitan dengan konsep sain yang dibelajarkan.
• Dalam konteks konstruktivisme, peserta didik dapat diajak berbincang tentang SETS
dari berbagai macam arah dan dari berbagai macam titik awal tergantung
pengetahuan dasar yang dimiliki oleh peserta didik bersangkutan.
• Mengitegrasikan belajar dan pembelajaran dari banyak ruang lingkup kurikulum; dan
• Memperkembangkan literasi sain, teknologi dan sosial peserta didik (improved
students science, technology, and social literacy).
Pembelajaran sain yang bervisi SETS lebih menekankan pada isu/masalah-masalah yang
sedang dihadapi oleh masyarakat yang berhubungan dengan sain dan teknologi sebagai
titik awal mempelajari isi kurikulum, konsep-konsep/prinsip-prinsip dan keterampilan
proses dasar sain dan teknologi; dan/atau menggunakan/menerapkan konsepkonsep/
prinsip-prinsip dan keterampilan proses dasar sain dan teknologi dalam
merespons isu-isu/masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat di
lingkungannya. Di samping itu, pengembangan sikap, keterampilan pengambilan
keputusan, kreativitas, nilai-nilai pribadi dan sosial, literasi sain dan teknologi, dan
kemampuan peserta didik untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam
kehidupan sehari-hari adalah juga merupakan elemen-elemen penting dalam
pembelajaran sain dengan pendekatan SETS.
Pendekatan SETS bisa amat beragam, mulai dari yang mengangkat topik atau isu
sebagai payung pembelajaran lebih dari satu bidang, mulai dari Fisika, Kimia dan Ilmu
Sosial, atau penggunaan isu lingkungan untuk pembahasan satu bab saja dalam Kimia,
misalnya. Secara garis besar, berdasarkan cakupannya, kita bisa melakukan beragam
pendekatan SETS, antara lain:
• Menempatkan pembelajaran bab tertentu bidang tertentu dalam konteks sain,
teknologi dan masyarakat.
• Pendekatan SETS untuk pembelajaran lintas bab pada satu mata pelajaran.
• Pendekatan SETS untuk pembelajaran lintas mata pelajaran.
• Pendekatan SETS dengan perluasan tujuan instruksional secara eksplisit di luar
tuntutan standar kompetensi yang tertulis di kurikulum dari mata-mata pelajaran
yang terlibat dalam pembelajaran SETS tersebut, seperti kepekaan terhadap
permasalahan lingkungan, atau pengenalan dampak sain dan teknologi pada pranata
sosial, dan lain-lain.
• Pendekatan SETS yang disertai kerja nyata di masyarakat, seperti gerakan
penyelamatan lingkungan, dan lain-lain.
Pada pembelajaran materi tertentu dengan pendekatan SETS, guru memulai dengan
suatu topik dari lingkungan peserta didik yang berkaitan dengan materi tersebut. Untuk
pembelajaran lintas bab, tentunya perlu persiapan yang lebih matang pada pemilihan
topik dan penelusuran target kompetensi dasar yang bisa diikutsertakan lewat
pembelajaran di bawah payung topik itu.
Untuk pembelajaran lintas mata-pelajaran lewat pembelajaran berbasis SETS, diperlukan
koordinasi guru beberapa bidang yang relevan. Pendekatan ini akan berguna
sebagai wahana integrasi pengetahuan peserta didik. Pemahaman peserta didik terhadap
mata pelajaran tidak lagi terkotak-kotak, melainkan saling bertautan dan terpadu, yang
amat berguna bagi peserta didik dalam memahami realitas kehidupan.
Jika pembelajaran bervisi SETS diterapkan diharapkan memunculkan kompetensi lain di
luar kompetensi dasar yang tertulis dalam kurikulum saat ini, maka agar pencapaiannya
optimal diperlukan penyesuaian standar nasional (khususnya standar isi) agar dapat
mencakup semangat ini. Dalam hal ini, SETS tidak lagi sekedar metode pembelajaran,
melainkan paradigma baru yang diharapkan menjiwai keseluruhan kurikulum.
Dengan pendekatan ini, peserta didik dikondisikan agar mau dan mampu mengetahui,
memahami prinsip sain untuk menghasilkan karya teknologi sederhana disertai dengan
pemikiran untuk mengurangi atau mencegah kemungkinan dampak negatif yang
mungkin timbul dari munculnya suatu produk teknologi terhadap lingkungan dan
rnasyarakat.
Model pembelajaran yang bervisi dan pendekatan SETS, sebagai wahana untuk
mewujudkan Education Suistinable Development (ESD), perlu menitikberatkan pada:
a. Kajian secara transdisiplin dan holistik berbasis isu dan kasus domestik atau global
tentang keterkaitan sain, teknologi, masyarakat, dan lingkungan dalam konteks
pembangunan berkelanjutan.
b. Penumbuhan nilai, sikap, dan perilaku yang berpihak pada pembangunan
berkelanjutan.
c. Belajar aktif, kooperatif, dan praktikal (hands-on) sehingga pembelajaran
menyenangkan dan mengembangkan multi-kecerdasan peserta didik secara
keseluruhan.
d. Kesesuaian kedalaman dan keluasan materi pelajaran dengan tingkat perkembangan
kognitf, sosial dan fisik peserta didik.
e. Penilaian performasi peserta didik secara menyeluruh tidak hanya dimensi kognitif
saja.
4. Domain Pendekatan SETS
Menurut Yager & McCormack (Yager, 1996b:3-4; 1992b:5-6), ada enam domain utama
SETS untuk pengajaran dan penilaian, yaitu domain konsep, proses, kreativitas, sikap,
aplikasi, dan keterkaitan. Keenam domain tersebut selanjutnya dinyatakan dalam
Gambar 1.
Gambar 1. Enam Domain SETS untuk Pembelajaran dan Penilaian
Domain konsep meliputi fakta-fakta, konsep-konsep, hukum (prinsip-prinsip), serta
teori dan hipotesis yang digunakan oleh para saintis. Domain ini dapat juga disebut rana
pengetahuan ilmiah/sain atau aspek minds-on/brains-on dalam belajar sain (Glynn &
Duit, 1995; Butts & Hofman, 1993).
Domain proses meliputi aspek-aspek yang berhubungan dengan bagaimana para saintis
berpikir dan bekerja, misalnya melakukan observasi dan eksplanasi; pengklasifikasian
dan pengorganisasian data; pengukuran dan pembuatan grafik; pemahaman dan
berkomunikasi; penyimpulan dan prediksi; perumusan dan pengujian hipotesis;
identifikasi dan pengontrolan variabel; penginterpretasian data/informasi; pembuatan
instrumen dan alat-alat sederhana; serta pemodelan. Domain ini dapat dibedakan antara
keterampilan proses dasar (observasi, pengukuran, klasifikasi, prediksi, komunikasi, dan
inferensi) dan keterampilan proses terintegrasi (perumusan/pengujian hipotesis,
interpretasi data/informasi, dan pemodelan), atau aspek hands-on belajar sain (Rossman,
1993; Butts & Hofman, 1993; Hausfather, 1992; Pedersen, 1992; Alvarez, 1991;
Glasson, 1989).
Domain kreativitas meliputi: visualisasi-produksi gambaran mental; pengkombinasian
objek dan ide atau gagasan dalam cara baru; memberikan eksplanasi terhadap objek dan
peristiwa-peristiwa yang dijumpai; mengajukan pertanyaan; menghasilkan alternatif
atau menggunakan objek/ide yang luar biasa; menyelesaikan masalah dan hal-hal yang
membingungkan atau menjadi teka-teki; merancang alat; menghasilkan ide-ide yang
luar biasa; serta menguji alat baru untuk eksplanasi yang dibuat.
Domain sikap meliputi: pengembangan sikap positif terhadap guru-guru dan pelajaran
sain di sekolah, kepercayaan diri, motivasi, kepekaan, daya tanggap, rasa kasih sayang
sesama manusia, ekspresi perasaan pribadi, membuat keputusan tentang nilai-nilai
pribadi, serta membuat keputusan-keputusan tentang isu-isu lingkungan dan sosial.
Sejalan dengan pernyataan Alvarez (1991:80) bahwa sikap adalah perilaku yang
diadaptasi dan diterapkan pada situasi khusus, dapat berupa minat/perhatian, apresiasi,
suka, tidak suka, opini, nilai-nilai, dan ide-ide dari seseorang.
Dalam literatur sain dibedakan antara sikap terhadap sain dan sikap ilmiah (Shibeci,
1984; Aiken & Aiken, 1969; Gardner, 1975). Sikap terhadap sain dihubungkan dengan
reaksi emosional terhadap perhatian/minat peserta didik, kebingungan dan kesenangan
pada sain, perasaan, dan nilai-nilai dalam kelas. Sedangkan sikap ilmiah mencakup
karakter sifat ilmiah yang lainnya, seperti kejujuran, keterbukaan, dan keingintahuan
(Alvarez, 1991:80).
Domain aplikasi dan keterkaitan meliputi: melihat/menunjukkan contoh konsepkonsep
ilmiah dalam kehidupan sehari-hari; menerapkan konsep-konsep sain dan
keterampilan pada masalah-masalah teknologi sehari-hari; memahami prinsip-prinsip
ilmiah dan teknologi pada alat-alat teknologi yang ada dalam rumah tangga;
menggunakan proses ilmiah dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari; memahami dan mengevaluasi laporan media massa tentang
perkembangan ilmiah; membuat keputusan yang berhubungan dengan kesehatan
pribadi, nutrisi, dan gaya hidup yang didasarkan pada pengetahuan ilmiah; dan
mengintegrasikan sain dengan pelajaran lain.
D. Landasan Empiris
Kebutuhan atas keberadaan bimbingan lengkap termasuk pengadaan dokumen-dokumen
model yang dimaksud, yakni yang memungkinkan pelaksanaan pendidikan bervisi dan
berpendekatan SETS secara baik dan benar, sungguh-sungguh sangat diperlukan. Hal ini
dapat dilihat dari dua sisi. Sisi pertama adalah kebutuhan institusi pendidikan yang harus
membimbing serta membawa peserta didik dari titik keberangkatan para individu peserta
didik. Di sini, mereka diasumsikan masih tidak atau belum dapat melakukan sesuatu yang
dia inginkan, berdasarkan pengetahuan yang diperkenalkan kepada mereka, hingga
mampu melakukan sendiri tanpa bantuan pendidik. Yang kedua, dari sisi peserta didik
yang telah melewati fase pendidikan yang memerlukan dokumen-dokumen pendukung
yang dipersyaratkan agar menjadi lulusan dengan kualifikasi yang diharapkan. Apabila
digabungkan di antara kedua entitas di atas, keduanya akan bermuara pada ketersediaan
bahan-bahan rujukan pendukung secara mencukupi untuk dapat digunakan secara benar
oleh institusi pelaksana pendidikan bagi keperluan peserta didik sebanyak yang mereka
miliki pada institusi pendidikan tersebut.
Selama ini Pusat Kurikulum memiliki keterbatasan dalam pengadaan dokumen-dokumen
rujukan semacam itu agar dapat digunakan sebagai acuan optimal bagi institusi
pendidikan yang memerlukan, baik itu di peringkat pendidikan dasar maupun pendidikan
menengah. Keterbatasan dokumen rujukan yang dimaksud dapat ditafsirkan seolah-olah
pemerintah, tidak memberi perhatian secara mencukupi terhadap kecenderungan yang
terjadi di institusi praktisi pendidikan yang dimaksud. Padahal, hal ini terjadi karena
berbagai kendala yang menghambat proses penyediaan fasilitas semacam itu serta
pengembangan dokumen pendukung yang dimaksud secara mencukupi.

BAB III. POLA PENGEMBANGAN MODEL
A. Prinsip-prinsip Pengembangan
Model pengembangan kurikulum bervisi SETS harus dapat memberikan arah pemikiran
pembaharuan kepada pelaksana di lapangan (guru dan peserta didik) sehingga
memungkinkan mereka untuk tergerak melakukan kegiatan pembelajaran yang lebih
produktif. Para pelaku pembelajaran, secara sekilas harus dapat segera melihat bahwa di
dalam kurikulum itu terdapat tuntutan serta tuntunan yang memungkinkan mereka dapat
melaksanakan kegiatan pembelajaran secara optimal dengan selalu mengaitkan antara
konsep pengetahuan yang dipelajari dengan unsur-unsur SETS secara benar dengan
memperhatikan letak mata pelajaran yang sedang dibahas tersebut di dalam peta SETS.
Namun demikian, hendaknya tidak menimbulkan kesan bahwa pembelajaran yang
diturunkan dari kurikulum bervisi SETS itu sangat sulit dilaksanakan di lapangan, karena
pada dasarnya pembelajaran bervisi SETS dapat diturunkan dari kurikulum manapun,
termasuk KTSP, dan dapat dilakukan dalam kondisi apapun, termasuk dalam kondisi
satuan pendidikan paling minimal. Namun demikian, kurikulum bervisi SETS akan dapat
terselenggarakan lebih baik bila semua kondisi pembelajaran yang diperlukan untuk
mendukung kegiatan pembelajarannya dalam keadaan prima. Dengan demikian, produk
pembelajaran dalam bentuk sumber daya manusia maupun non manusia akan menjadi
jauh lebih unggul.
Prinsip pengembangan kurikulum bervisi SETS yaitu:
1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta
didik dan lingkungannya
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi
sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta
didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta
didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran
lebih berpusat kepada peserta didik, bukan pendidik yang selanjutnya berimplikasi
pada lingkungan mereka.
Di dalam kurikulum bervisi SETS, yang selalu mengajak serta prosesnya bergerak ke
arah kebaikan umat manusia serta organisme lain di muka bumi ini (sebelum kita
betul-betul dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan mahkluk lain di luar planet
bumi), semua hal di atas secara otomatis dapat tercakup dan diterapkan dengan relatif
mudah, sejauh pendidik memahami esensi pernyataan di atas.
2. Beragam dan terpadu
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta
didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak
diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial
ekonomi, dan jender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib
kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam
keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
Di dalam konteks SETS keberagaman yang ada itu diharapkan dapat memberi nilai
tambah yang memungkinkan peserta didik dari satuan pendidikan di daerah tertentu
memungkinkan diajak berkomunikasi oleh teman dari daerah lain dalam bertukar
informasi tentang topik serupa namun memiliki warna berbeda-beda karena kekhasan
daerah yang berbeda itu.
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi
dan seni yang berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi
kurikulum memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan
memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Hal di atas
berkaitan erat dengan perlunya pengembangan kurikulum bervisi SETS, yang harus
diartikan bahwa para pengembangan kurikulum perlu memberi peluang kepada para
pelaksana di lapangan untuk selalu mendekatai perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni ini secara terus menerus. Perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni itu sendiri merupakan bagian dari produk sekaligus sumber bagi
pembelajaran bervisi SETS.
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan
Pengembangan kurikulum bervisi SETS dilakukan dengan melibatkan pendharbeni
(stakeholders) yang diharapkan memiliki pemahaman makna serta implikasi visi
SETS sebagaimana diharapkan. Hal ini untuk menjamin relevansi pendidikan dengan
kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha,
dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan
berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional
merupakan kepastian yang harus ditampilkan dalam pengembangan kurikulum bervisi
SETS. Hal di atas akan lebih membuat kurikulum bervisi SETS menjadi lebih
bermakna dan berdaya guna dibandingkan dengan pengaitan konteks SETS pada
informasi yang sulit dipahami dan ditangkap oleh para peserta didik
5. Menyeluruh dan berkesinambungan
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian
keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara
berkesinambungan antar semua jenjang pendidikan.
Di dalam konteks SETS pengembangan kurikulum tersebut perlu contoh keterkaitan
unsur SETS dalam pembelajaran yang diperkirakan sesuai dengan jenjang pendidikan
tersebut. Dengan demikian, tak harus terjadi saling tumpang tindih antara informasi
yang diberikan kepada peserta di jenjang rendah dan jenjang lebih tinggi. Sebaliknya,
diharapkan agar informasi yang diberikan antar jenjang tersebut dapat bersifat saling
melengkapi dan memperkaya.
6. Belajar sepanjang hayat
Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan, dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum
mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan
informal dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu
berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya. Di dalam konteks SETS,
pembelajaran sepanjang hayat hendaknya diberi makna kepemilikan kemampuan
berfikir kritis dan kreatif, inovatif dan inventif yang semakin meningkat dengan
dimilikinya pengalaman hidup dikaitkan dengan konsep-konsep sain yang telah
dipelajari sebelumnya. Dengan demikian, produktivitas dari seseorang yang memiliki
kemampuan belajar sepanjang hayat akan jauh lebih meningkat dibanding dengan
mereka yang belajar secara insidental.
7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan
kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan
memberdayakan sejalan dengan motto Bhinneka Tunggal Ika dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam konteks SETS, kebhinekaan yang ada hendaknya dipakai sebagai dasar untuk
menurunkan kurikulum yang memberi peluang kegiatan yang sangat terintegratif
sekaligus adaptif terhadap kondisi yang ada di wilayah tertentu walau untuk mencapai
tujuan yang sama. Untuk ini, bentuk penyatuan persepsi dalam lingkup daerah sangat
diperlukan guna memperoleh landasan pengembangan kurikulum yang sama-sama
disepakati dapat mendukung kebijakan daerah dari satuan-satuan pendidikan yang
berada di satu wilayah, yang sekaligus mendukung kepentingan nasional. Hal ini perlu
dilakukan dalam penyediaan sumber daya manusia maupun non manusia.
8. Menempatkan mata pelajaran dalam peta SETS secara benar
Di dalam pengembangan kurikulum bervisi SETS, masing-masing mata pelajaran
dianggap memiliki kespesifikan atau kecenderungan dalam peta SETS karena hakikat
dari mata pelajaran itu sendiri. Atas dasar itulah maka peletakan atau pemosisian mata
pelajaran itu dalam konteks SETS perlu dibuat sehingga ketika dilakukan
pengembangan kurikulum, arah pengembangannya menjadi lebih jelas serta
memudahkan pelaksananya dalam melihat serta menetapkan keterhubungkaitannya.
B. Langkah-langkah Pengembangan
Dalam menyusun kurikulum yang bervisi SETS perlu diperhatikan langkah-langkahnya,
yaitu:
1. Merumuskan visi, misi, dan tujuan sekolah yang mencerminkan kurikulum yang
bervisi SETS
2. Mengkaji SK – KD pada standar isi yang dapat saling dikaitkan antara unsur sain,
lingkungan, teknologi, dan masyarakat pada tiap mata pelajaran
3. Merumuskan indikator bermuatan SETS
Kompetensi dasar yang dijabarkan menjadi indikator menunjukkan tanda-tanda yang
bermuatan bermuatan SETS, yang ditampilkan oleh peserta didik dalam pembelajaran.
Indikator juga sebagai penanda pencapai kompetensi dasar yang ditandai oleh
perubahan perilaku yang dapat diukur mencakup sikap pengetahuan dan keterampilan.
Satu Kompetensi Dasar dapat dijabarkan menjadi dua, tiga, atau empat/lebih indikator
secara sistimatis.
4. Pengembangan materi pembelajaran bermuatan SETS
Materi dikembangkan berdasarkan indikator pencapaian kompetensi dasar dan
bermuatan SETS. Dengan memperhatikan potensi peserta didik dan
kebermanfaatannya serta alokasi waktu yang tersedia.
5. Merencanakan kegiatan pembelajaran bermuatan SETS
Dirancang dari indikator untuk memberikan pengalaman bermuatan SETS.
Pengalaman belajar yang dimaksud dapat menggunakan pendekatan yang bervariasi.
Pembelajaran berpusat kepada peserta didik.
6. Menentukan teknik dan jenis penilaian yang sesuai
Penilaian harus dirancang sedemikian rupa:
• Mencapai kompetensi dasar
• Setiap indikator sudah mencerminkan alat penilaian yang akan digunakan
• Indikator itu juga dapat digunakan untuk penilaian jenis kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
7. Penentuan alokasi waktu
Penentuan alokasi waktu pada setiap KD yang dapat dikaitkan dengan materi
pembelajaran bermuatan SETS disesuaikan dengan waktu yang tersedia.
8. Penentuan sumber bahan/alat bermuatan SETS
Sumber belajar dapat menggunakan buku pelajaran, media cetak dan elektronik,
komputer dan internet, serta brosur. Karakteristik bahan ajar yang bermuatan SETS
antara lain mengangkat isu lingkungan, teknologi, dan/atau sosial
BAB IV. PELAKSANAAN
A. Pelaksanaan
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran dengan
menerapkan visi SETS menjanjikan kualitas pembelajaran yang lebih baik, tetapi
pembelajaran bervisi SETS juga mengandung beberapa risiko. Model ini disusun untuk
mengoptimalkan hasil pembelajaran bervisi SETS dan meminimalkan risiko yang
mungkin terjadi.
Salah satu alternatif pembelajaran bervisi SETS secara garis besar mengikuti tahap-tahap
pelaksanaan sebagai berikut:
1. Inisiasi: pendahuluan pembelajaran SETS dengan mengangkat dan mendiskusikan isu
atau masalah
Pada tahap ini, guru mengangkat isu atau masalah yang ada dalam kehidupan peserta
didik sehari-hari, atau yang hangat di media (koran, TV, dll.). Isu atau masalah yang
diangkat bisa pula berasal dari peserta didik. Setelah pemilihan isu, dilakukan
penggalian cara pandang dan pemahaman peserta didik terhadap isu atau masalah
tersebut.
Untuk melangkah ke tahap berikut, guru bersama-sama peserta didik merumuskan
masalah, atau menegaskan batas-batas topik isu tersebut untuk mengarahkan perhatian
yang memusat pada isu yang jelas. Pembatasan ini akan memperjelas kompetensi sain
apa yang diperlukan untuk memahami atau memecahkan masalah tersebut.
2. Penetapan kompetensi sain: mengumpulkan kompetensi sain yang diperlukan untuk
lebih memahami dan memecahkan masalah yang dihadapi.
Guru mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar yang terkait dengan isu yang
diangkat. Seperti dijelaskan pada ragam pendekatan SETS, kompetensi dasar yang
relevan bisa berasal dari satu bab, atau lintas bab, atau bahkan lintas mata pelajaran.
Dari kajian ini, dikumpulkan kompetensi dasar (sain dan non-sain) yang diperlukan
untuk lebih memahami dan memecahkan masalah yang dihadapi. Jika guru sebenarnya
telah mempersiapkan topik yang akan diangkat sebelum tahap inisiasi, maka guru bisa
mengetahui daftar target kompetensi sain sebelum pertemuan inisiasi di atas.
3. Dekontekstualisasi: pemisahan konsep dan prinsip sain (yang perlu dicapai
kompetensinya) dari konteks isu atau masalah yang diangkat.
Pada tahap ini, peserta didik perlu dipersiapkan untuk menghadapi tahap sesudahnya
yaitu pembelajaran konsep dan prinsip sain1, yang dalam kasus-kasus tertentu akan
merupakan tahap yang memiliki learning curve yang tajam. Tahap penyiapan peserta
didik ini disebut dekontekstualisasi, karena peserta didik perlu dipersiapkan agar fokus
pada pembelajaran konsep dan prinsip-prinsip yang perlu dikuasai, tanpa terganggu
oleh konteks, isu, atau masalah yang diangkat.
Tahap ini bisa berupa peralihan yang tak kentara dan mulus dari tahap inisiasi
pemilihan konteks ke tahap setelah dekontekstualisasi yaitu pembelajaran sain. Guru
bisa menciptakan suasana kelas yang memungkinkan peralihan mulus ini. Tahap ini
bisa pula berupa permintaan tegas kepada peserta didik, agar meninggalkan diskusi
tentang isu/masalah, tapi mulai memusatkan perhatian pada pencapaian kompetensi
sain (atau bidang lain) yang dibutuhkan untuk memahami atau menyelesaikan
masalah.
Proses dekontekstualisasi yang gagal akan menyebabkan “keberhasilan-semu” pada
pembelajaran berbasis SETS. Peserta didik terlihat antusias terhadap kegiatan
pembelajaran, tertarik pada isu atau masalah yang diangkat, aktif dalam pencarian
solusi masalah (atau bergairah dalam diskusi untuk memahami masalah), tetapi tidak
terjadi pembelajaran konsep dan prinsip sain, yang justru merupakan standar
kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai. Landasan keilmuan yang
digunakan untuk berusaha memahami isu atau memecahkan masalah hanya konsep
dan prinsip yang telah dimiliki peserta didik sebelumnya, dan tidak terjadi proses
pembelajaran konsep dan prinsip baru yang diharapkan. Tanpa penguasaan prinsip dan
konsep itu, pemecahan masalah yang dihasilkan tidak memiliki landasan yang kuat,
atau bahkan keliru.
4. Pembelajaran konsep dan prinsip sain: pemantapan penguasaan konsep dan prinsip
sain, melalui metode pembelajaran yang sesuai.
Pada tahap ini terjadi pembelajaran konsep dan prinsip sain (atau pembelajaran
bidang-bidang lain yang relevan, jika pembelajaran bervisi SETS digunakan untuk
lintas mata-pelajaran). Pada tahap ini, diperlukan sarana untuk memastikan bahwa
peserta didik memahami dan diharapkan mampu menerapkan konsep dan prinsip yang
mewakili kompetensi dasar dalam standar isi. Pengujian penguasaan peserta didik
dapat pula dilakukan lewat pengamatan guru terhadap tahap sesudah ini (yaitu tahap
menerapkan prinsip dan konsep untuk memecahkan atau memahami masalah, dengan
landasan keilmuan yang lebih kuat).
Pada pembelajaran ini, guru dapat memilih metode pembelajaran yang sesuai dengan
bahan yang disampaikan. Karena pembelajaran yang dilakukan telah diawali dengan
konteks yang memayungi, yang dekat dengan kehidupan peserta didik, maka
diharapkan kualitas pembelajaran bisa meningkat, dengan peserta didik yang lebih
aktif, dan lain-lain.
Seperti dijelaskan sebelumnya, keberhasilan tahap ini selain ditentukan oleh metode
pembelajaran yang dipilih dan proses pembelajaran yang terjadi, juga sangat bergantung
pada keberhasilan tahap dekontekstualisasi sebelumnya, yang mempersiapkan
suasana yang baik untuk tahap ini. Untuk sebagian peserta didik, proses dekontekstualisasi
yang baik dan pembelajaran konsep/prinsip yang berhasil dapat secara tajam
mengubah persepsi peserta didik terhadap permasalahan yang dihadapi.
5. Penerapan: menerapkan konsep dan prinsip sain pada isu atau masalah
Pada tahap ini, guru dan peserta didik secara bersama menerapkan konsep dan prinsip
sain pada isu atau masalah yang diangkat. Guru perlu menahan diri untuk tidak terlalu
cepat membantu peserta didik menerapkan apa yang baru dipelajarinya pada isu
tersebut. Guru sejauh mungkin hanya memfasilitasi usaha peserta didik untuk
memahami atau memecahkan masalah yang dihadapi bersama.
Pada tahap ini, seharusnya terjadi pemantapan konsep dan prinsip pada diri peserta
didik. Proses menerapkan pengetahuan, konsep, dan prinsip pada hal yang nyata akan
memberi makna lebih terhadap pengetahuan tersebut.
Pada bentuknya yang paling sederhana, tahap ini tidak menuntut terjadinya proses
pemecahan masalah, melainkan hanya peningkatan pemahaman peserta didik pada isu
yang diangkat. Guru dapat mengajukan permintaan sederhana kepada peserta didik
untuk mencoba menjelaskan isu tersebut berdasarkan pengetahuan baru yang telah
diperoleh pada pembelajaran yang dilakukan.
6. Integrasi: membangun keterkaitan antar konsep dan prinsip sain, serta antar
konsep/prinsip tersebut dengan spektrum terapannya dalam kehidupan.
Tahap penerapan dilanjutkan dengan usaha membangun keterkaitan antar konsep dan
prinsip sain yang diajarkan. Wawasan terapan yang diperoleh pada tahap sebelumnya
akan memperkaya cara pandang terhadap keterkaitan antar konsep dan prinsip
tersebut. Wawasan tersebut juga akan memberi gambaran keterkaitan yang jelas antara
konsep/prinsip sain dengan spektrum terapannya dalam kehidupan.
Untuk memperkaya tahap ini, guru dapat mengajak peserta didik untuk berdiskusi
tentang kemungkinan penerapan konsep/prinsip baru yang dipelajari pada konteks
selain isu atau masalah yang diangkat pada pembelajaran berbasis SETS ini.
Pengayaan ini akan memberi kemampuan kepada peserta didik untuk menerapkan
suatu prinsip pada situasi yang berbeda.
7. Perangkuman: merangkum kompetensi yang seharusnya telah dimiliki peserta didik,
termasuk kemampuan menerapkannya pada kasus tertentu
Akhirnya, guru atau peserta didik dapat merangkumkan hasil pembelajaran bervisi
SETS yang telah dilakukan. Lewat tahap perangkuman ini, ditegaskan berbagai
kompetensi dasar yang telah dimiliki peserta didik, dan wawasan terapan yang telah
dimiliki. Tahap ini harus dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan kepercayaan diri
peserta didik dalam mempelajari sesuatu yang baru, dan dalam memecahkan atau memahami
masalah yang relevan dengan kehidupannya.
Alternatif lainnya dalam pelaksanaan pembelajaran SETS adalah dengan menggunakan
metode siklus. Siklus pembelajaran bervisi SETS dapat dilakukan melalui kegiatan yang
terdiri atas lima tahap kegiatan untuk setiap pokok bahasan atau kompetensi dasar, sebagai
berikut:
1. Tantangan (Challenge)
Tahapan tantangan merupakan proses untuk melihat permasalahan lingkungan yang
terkait dengan materi yang dibahas dan tujuan pencapaian kompetensi dasar sesuai
dengan indikator yang ditetapkan. Pada bagian ini peserta didik diminta untuk
membaca sinopsis yang membawa mereka pada tujuan dari siklus kegiatan tersebut.
Diakhir sinopsis ini ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab peserta pada lembar
kegiatan pemikiran awal (Initial Thoughts)
2. Jawaban awal (Initial thoughts)
Tahap ini merupakan jawaban atas permasalahan yang diberikan dalam tahap tantangan
(Challenge). Jawaban merupakan hasil pemikiran individual peserta didik dari
pengetahuannya sendiri, yang tergantung pada keluasan dan kedalaman pengetahuan
dan pengalaman peserta dalam kegiatannya sehari-hari dan pandangan peserta didik ke
depan.
3. Sumber (Resources)
Pada tahap ini peserta didik diuji berpikir kritisnya dan ketrampilan membacanya,
dengan membaca sumber-sumber yang diberikan yang terkait langsung dengan
masalah yang diberikan pada tahap tantangan (Challenge) atau hanya sebagai
pendukung yang dapat membawa peserta didik pada pemikiran-pemikiran baru untuk
Sumber
Informasi
Revisi
Jawaban
Kerja
Kelompok
Jawaban
Awal
Tantangan
menjawab masalah-masalah pada tahap pertama. Pada kegiatan ini peserta diberikan
dua macam sumber. Pertama berupa bahan bacaan yang diperoleh dari berbagai
sumber, baik melalui CD SPM, maupun dari internet. Kedua berupa dialog langsung
dengan guru sebagai fasilitator.
4. Revisi jawaban (Revised thinking)
Tahap ini masih merupakan kerja individual peserta didik yang merupakan respon atas
sumber-sumber yang diperoleh dari tahap ketiga, baik dari sumber tertulis maupun
dialog interaktif dengan guru atau fasilitator. Pada tahap ini peserta didik diberi
kesempatan untuk memperbaiki hasil pemikiran awalnya pada tahap kedua. Pada tahap
ini peserta didik diuji tingkat keterbukaan berpikirnya dengan mempertimbangkan
masukan informasi tertulis, guru atau fasilitator pada tahap ketiga.
5. Kerja kelompok (Group work)
Setelah melakukan kegiatan individual, peserta didik diminta dalam kelompoknya
untuk membandingkan hasil-hasil pemikirannya, dengan pemikiran kelompok. Dan
diharapkan terdapat kesepakatan yang diwujudkan dalam hasil pemikiran kelompok
untuk menjawab permasalah dalam tahap tantangan (Challenge). Hasil pemikiran
kelompok ini selain dituliskan pada lembar kegiatan sendiri, juga diminta untuk
dituliskan dalam kertas post it untuk ditempel pada bidang tempel yang telah
disediakan. Kemudian setiap kelompok melakukan perbandingan antar pemikiran
kelompok (Gallery Walk) dengan membaca hasil pemikiran kelompok lain. Fasilitator
akan memberi kesempatan pada peserta didik untuk menuliskan dan menyampaikan
hasil pemikiran seluruh kelompok jika dapat dilakukan, atau membuat membuat daftar
keragaman berpikir kelompok sebagai hasil dari siklus kegiatan hari itu.
B. Peralihan Menuju Pembelajaran Bervisi SETS
Karena pembelajaran bervisi SETS akan terus berkembang, maka akan terus hadir
berbagai pendekatan yang berbeda untuk meningkatkan efisiensi dan ketercapaian
pembelajaran bervisi SETS. Pendekatan yang digunakan bisa amat beragam, dari mulai
penyederhanaan terhadap tahap-tahap di atas untuk awal peralihan menuju pembelajaran
berbasis SETS hingga penambahan tahap pengayaan dengan mengundang pakar yang
berkompeten dalam bidang yang relevan dengan isu/masalah yang diangkat. Untuk yang
terakhir ini, pakar diundang untuk turut berdiskusi dengan peserta didik setelah peserta
didik mendapat pembekalan pemahaman konsep dan prinsip dasar yang diperlukan. Yang
diharapkan adalah terciptanya suasana diskusi yang saling mengisi: peserta didik
mendapat tambahan kompetensi dari pakar yang diundang, sebaliknya pakar tersebut bisa
saja memperoleh gagasan-gagasan segar dari peserta didik.
Untuk mulai beralih menuju pembelajaran bervisi SETS, guru perlu merasa bebas untuk
bereksperimen. Tahap-tahap di atas bisa disederhanakan, disesuaikan dengan keadaan
yang dihadapi (peserta didik, prasarana, sumber belajar, dan lain-lain). Pada tingkatan
yang paling sederhana, guru harus mengenal ciri minimal berikut yang membedakannya
dari pembelajaran tradisional. Pembelajaran tradisional mulai dengan pembelajaran
konsep dan prinsip, diikuti dengan contoh-contoh terapan, sedangkan pembelajaran yang
baru ini memulai dengan isu atau masalah yang dekat dengan kehidupan peserta didik,
diikuti dengan pembelajaran konsep dan prinsip, untuk akhirnya kembali ke isu/masalah
untuk difahami atau dipecahkan dengan menerapkan konsep atau prinsip yang dipelajari.
Pada keadaan dimana guru belum siap dengan pembelajaran bervisi SETS, guru bisa tetap
mulai mengumpulkan gagasan isu atau masalah melalui peserta didik, yang dapat
digunakan untuk pembelajaran SETS di kemudian hari. Tahap brainstorming ini bisa
dengan pertanyaan sederhana kepada peserta didik tentang peristiwa atau isu apa saja
yang menarik perhatiannya akhir-akhir ini, di lingkungan terdekatnya atau dalam berita,
dan lain-lain. Untuk sedikit memperkaya isu/topik/masalah, bisa dilakukan diskusi kecil
tentang beberapa isu tersebut. Guru bisa mencatat isu-isu yang kira-kira dapat digunakan
untuk merancang pembelajaran berbasis SETS suatu saat nanti.
Akhirnya, tidak ada peralihan yang sempurna dari pembelajaran tradisional. Kita tidak
mungkin menghadapi kondisi ideal dimana seluruh kompetensi dasar yang dituntut oleh
kurikulum atau standar isi dapat ditumbuhkan melalui pembelajaran bervisi SETS. Guru
perlu mencatat kompetensi apa saja yang telah ditumbuhkan lewat pembelajaran bervisi
SETS, dan melakukan pembelajaran non-SETS untuk mencapai kompetensi-kompetensi
dasar yang belum disentuh.
C. Implikasi
Implementasi model pembelajaran dengan menggunakan visi dan pendekatan SETS,
menuntun peserta didik untuk mengaitkan konsep sain dengan unsur lain dalam SETS.
Cara ini memungkinkan peserta didik memperoleh gambaran lebih jelas tentang
keterkaitan konsep tersebut dengan unsur lain dalam SETS, baik dalam bentuk kelebihan
ataupun kekurangannya.
Setiap peserta didik memiliki kemampuan dasar berbeda-beda, melalui penerapan
konstruktivisme peserta didik dapat melakukan pembelajaran dari berbagai titik awal yang
mereka kenal dekat dengan konsep sain yang akan dipelajari. Model pembelajaran bervisi
dan berpendekatan SETS dengan sain sebagai titik awal yang disesuaikan dengan minat
dan bakat peserta didik diharapkan mendorong keingintahuan dan memperkuat inisiatif
peserta didik untuk mengaitkan dengan unsur-unsur SETS lainnya. Tanggung jawab
pendidik yang terutama adalah tidak hanya sadar akan prinsip umum mengenai
pengalaman belajar sain sesuai dengan kondisi lingkungan keseharian peserta didik, tetapi
juga mengaitkan dengan teknologi, lingkungan, masyarakat yang terus berkembang untuk
memperoleh pengalaman yang membawa ke arah pendidikan untuk pembangunan
berkelanjutan.
Implikasi terkait dengan penerapan model pembelajaran bervisi dan berpendekatan SETS
adalah:
a. Diperlukan penurunan silabus mata pelajaran berdasarkan standar isi dan kompetensi
yang bervisi dan berpendekatan SETS.
b. Diperlukan pengembangan perencanaan pembelajaran yang subjeknya bervisi dan
berpendekatan SETS
c. Diperlukan pengembangan atau penyediaan bahan pembelajaran yang bervisi dan
berpendekatan SETS.
d. Diperlukan pengembangan instrumen penilaian bervisi dan berpendekatan SETS untuk
pembelajaran topik pada subyek yang diperkenalkan.